Bab 20 Kesalahan di Masa Lalu

250 9 0
                                    

Berita kebersamaan Mahira dan Andra di media sosial berhasil menyita perhatian Zahra. Foto yang tersebar jelas sekali menampilkan keduanya. Bentuk klarifikasi yang dilakukan Andra malah membuat Zahra bingung sendiri. 

Bagaimana bisa mereka bersama tapi Andra menyatakan kalau mereka putus?

Mungkinkah foto tersebut hanya editan orang iseng?

“Sayang, bau gosong apa ini?”

Zahra buru-buru menyelipkan ponselnya ke dalam saku celemek. Kemunculan Galang mengejutkannya. Apalagi ketika ia baru menyadari ada aroma aneh tiba-tiba tercium. 

“Astagfirullaah!”

Zahra spontan memegang gagang panci yang tampak berasap. Ia berteriak ketika telapak tangannya menyentuh pinggiran panci itu. Galang spontan mematikan kompor. Lalu menyeret Zahra yang tengah memegangi tangannya menjauh dari sana.

“Kamu gak apa-apa?” Galang tampak khawatir.

“Aku gak apa-apa, Lang.”

“Gak apa-apa gimana? Tangan kamu merah nih!” omel Galang sambil memegangi telapak tangan Mahira erat. “Diobatin dulu.”

“Tapi, aku belum selesai masak, Lang. Buat makan malam kita.”

“Beli di luar aja. Sekalian nanti aku ajak Mamah, Papah, sama Nando juga.”

Zahra menurut saja dengan isi pikiran yang terus memikirkan Andra dan Mahira. Sampai acara makan malam tiba pun, Mahira tak bisa berhenti memikirkan mereka. 

Galang yang memerhatikan Zahra merasa ada yang ganjil dari sikap diam istrinya itu. Ia pikir karena ini acara makan malam pertamanya dengan keluarga Galang, makannya Zahra mungkin gugup. Sudah beberapa kali Galang mencoba mengumpulkan seluruh anggota keluarga intinya dengan Zahra di satu meja, baru berhasil malam ini setelah Galang menceritakan kecelakaan kecil yang dialami Zahra.

“Gimana makanannya, Mah? Enak?” Galang memberanikan diri membuka percakapan. Papah dan Mamah memilih mengobrol berdua saja sejak tadi, itu juga seperti orang saling berbisik. Beda lagi dengan Nando yang tak melepaskan perhatiannya dari layar ponsel sejak di mobil tadi.

“Enak. Lumayan.” Mamah menjawab sekenanya.

Galang mendengkus kesal. Ia merasa kalau reaksi Mamah Lia tak begitu tulus. Raut wajahnya saja tiba-tiba kusut. Melirik padanya pun tidak.

“Mamah biasanya jawabnya panjang lebar. Kok irit banget komentarnya? Keluarin dong ciri khas ala Chef Renatanya,” goda Galang pantang menyerah. Berharap situasi di tempat makan ini menghangat.

“Mamah tadi udah masak banyak makanan di rumah, Kak. Tapi Kak Galang malah ngotot ngajakin kita makan di luar.” Nando tiba-tiba ikut bicara. Tahu-tahu adiknya itu sudah menyantap habis makanannya. “Kasihan kan Mamah udah capek-capek masak. Kalau emang Kak Zahra gak masak, apa susahnya sih makan di rumah aja dengan masakan Mamah? Sama enaknya kok kayak masakan di Restoran.”

Mendengar namanya disebut, Zahra jadi gak enak hati.

“Kan masakan Mamah bisa diangetin, disimpen dulu di kulkas, terus besok bisa di makan lagi. Makanan Mamah masih bisa disantap juga nantinya, kan?” Galang tak mau disudutkan. “Untuk malam ini, aku mau kita menikmati acara makan malam di luar. Aku mau bikin kalian seneng. Kalau ada tempat yang mau kalian tuju setelah ini, boleh kok!”

“Papah pulang aja deh, Lang. Udah kenyang segini juga.”

“Mamah juga udah kenyang.”

“Nando juga.”

“Bisa gak sih kalian bikin Zahra nyaman kalau lagi ngumpul gini? Tolong sambut kami dengan baik.”

Zahra memegang lengan Galang untuk membuat suaminya itu berhenti bicara. Karena suasana malah semakin tak nyaman akibat ucapan Galang barusan.

Tentu saja Zahra juga berpikiran yang sama seperti suaminya. Namun ia tak berpikir untuk mengungkapkannya selantang itu, sedalam apa pun rasa tidak nyaman Zahra menyandang status istri Galang.

“Mau sampai kapan Mamah sama Papah bersikap kayak gini ke kita?” Galang memilih mengabaikan kode isyarat daei Zahra. “Apa salahnya kami menikah? Apa pernikahan itu sebuah kesalahan? Mamah sama Papah pengen aku pacaran terus sama cewek dan gak nikah-nikah, gitu? Aku bukan lagi cowok yang ingin menjalin hubungan tanpa kepastian. Umurku juga udah bukan lagi masanya main-main. Maka dari itu aku memilih Zahra karena dialah yang siap diajak serius sama Galang.”

“Zahra minta maaf kalau kehadiran Zahra di sini membuat Mamah dan Papah tidak nyaman. Kami menikah dengan niat yang baik, bukan untuk main-main. Tolong beri Zahra kesempatan untuk bisa akrab dengan Mamah dan Papah seperti halnya Mahira dulu.”

Mamah dan Papah saling melirik mendengar perkataan Zahra. Beda halnya dengan Nando yang memilih membanting punggungnya ke badan kursi, lalu kembali memusatkan perhatiannya dengan bermain ponsel. Sikap tak acuhnya itu kontan saja membuat Galang kesal. Ia sampai merebut ponsel adiknya itu dengan kasar. 

“Kak!” Nando memekik nyaring. Kesal karena ponselnya diambil paksa saat ia sedang menggunakannya. “Itu ponselku!”

“Kalau ada yang ngomong tuh dengerin dong! Bukan malah main hape aja terus. Kakak ipar kamu lagi ngomong!”

“Dia ngomongnya sama Mamah dan Papah, Kak. Ngapain juga aku ikut dengerin?”

Nando berhasil merebut ponselnya kembali sebelum kemudian berjalan pergi dari tempat itu. Zahra menggigit bibir dengan wajah kusut. Mamah dan Papah tak mencoba sama sekali untuk menghentikan Nando. Galang jelas semakin kesal dibuatnya. 

“Udah, Lang. Gak apa-apa. Aku yang salah kok gak ngajak dia ngobrol.” Zahra berusaha tak menangis meski inginnya meraung keras. Ia terpojok. Merasa semakin bersalah karena sudah berada di tempat yang tak mengharapkan kehadirannya.

“Beri kami waktu juga untuk menerima kehadiran kamu.” Suara Mamah terdengar bergetar. Matanya juga tampak berkaca-kaca. “Bukan hal mudah juga bagi kami menerima situasi ini! Ayo, Pah! Kita pulang sekarang.”

Galang bangkit dari kursinya. “Ayo, Zah. Kita juga pulang.”

“Kami pulang naik taksi saja.” Papah berhasil mencegat niatan Galang untuk pulang bersama dengan orang tuanya.

Kebersamaan itu nyatanya belum juga berhasil membuat situasi membaik. Zahra merasa menyesal karena sudah angkat kaki dari rumahnya. Kalau tahu akan jadi lebih begini, mungkin Zahra akan lebih memilih bertahan tinggal di rumahnya saja. Toh sama-sama menghadapi orang tua yang tak sepenuhnya merestui keputusannya dan Galang untuk menikah. 

Sepanjang perjalanan pulang, Zahra dan Galang saling diam. Galang fokus menyetir, sementara Zahra fokus bermain ponsel. 

Zahra tak bisa menutup mata begitu saja. Ia kembali mencari berita tentang Andra dan Mahira sampai akhirnya ia tahu di mana tempat mereka berada sekarang.

“Pelabuhan Palapalove? Sedang apa mereka di sana? Ketemuan? Atau gak sengaja ketemu? Pelabuhan itu dekat dengan pulau Ampalove tempat Mahira kerja, kan? Kok bisa Andra ke sana? Sengaja ketemu Mahira?”

Banyak tanya bercokol di kepala Zahra selama ia terus berselancar mencari tahu tentang Andra. Karena mencari informasi tentang Chef yang punya banyak pengikut itu tak cukup sulit. Orang-orang yang berhasil membidik kebersamaan mereka pasti adalah orang yang mengenal Andra. 

Saking fokusnya mencari tahu tentang Andra dan Mahira, Zahra sampai tak menyadari kalau mobil yang ia kendarai telah sampai di rumah. Beberapa menit lamanya Galang memerhatikan Zahra yang begitu fokus menatap ponselnya. 

“Kamu ngeliat apaan sih, Yang?”

Gakang hendak mengintip apa yang dilihat Zahra. Tapi, Zahra lebih cepat menelusupkan ponselnya ke dalam tas.

“Gak ada apa-apa kok.”

Bohong!

Zahra tak mau Galang sampai tahu apa yang dia lakukan sejak tadi.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang