Bab 40 Mahira Cantik Sekali

192 9 0
                                    


“Assalamu’alaikum Kak Zahra.”

Zahra menelan salivanya yang tiba-tiba terasa kering mendengar suara Mahira di seberang telepon sana. Ia buru-buru bangkit dari sofa sambil melirik Bu Halimah dan Pak Wisnu. Galang juga ada di sana sedang menikmati waktu bersama keluarganya. Dengan sedikit gerakan tubuh, Zahra akhirnya menjauh dari ruang tamu. Sengaja ia masuk ke dalam kamar Mahira yang memang kosong.

“Wa’alaikum salam, Hira. Gimana kabar kamu? Sehat?”

Cukup lama tak ada jawaban dari seberang sana. Jantung Zahra pun rasanya nyaris copot karena tak sabar menunggu suara Mahira terdengar. Ia sudah memberanikan diri menelepon adiknya lebih dulu saat tahu kalau Mahira menghubungi Ibunya tadi, tapi tak pernah sekali pun meneleponnya.

Zahra tahu alasannya apa. Maka dari itu ia berinisiatif meneleponnya lebih dulu. Tapi, kenapa Mahira malah diam saja? Apa dia benar-benar tak ingin bicara dengannya? Mau sampai kapan mereka seperti ini?

“Hira? Kamu di sana?” Zahra harus memastikan kalau ia tak salah menghubungi orang. 

“Iya, Kak. Ini aku.” Terdengar jawaban dari seberang sana. Singkat. Namun cukup membuat hati Zahra seketika menghangat sampai matanya tiba-tiba basah.

“Kabar kamu gimana? Sehat? Kok gak pernah nelepon aku?”

“Aku sibuk, Kak. Alhamdulillah kabarku sehat. Kak Zahra gimana? Sehat juga?” balas Mahira dari seberang sana. 

Tak terdengar begitu antusias saat menjawab. Zahra dapat merasakan itu.

Imbasnya, percakapan yang terjadi lebih sering Zahra yang melemparkan tanya dan Mahira hanya tinggal menjawabnya. Terkadang cukup panjang lebar, tapi sering kali hanya jawaban singkat saja. Puas tak puas, Zahra mencoba memahami. Mungkin saja Mahira memang sedang benar-benar sibuk sampai sulit sekali untuk menghubunginya.

“Kapan mau pulang ke rumah?”

“Baru juga beberapa bulan aku kerja di sini, Kak. Nanti lah kalau ada libur panjang.”

“Emang tempat liburan kayak gitu ada jatah libur panjangnya kapan? Gak mungkin pas yang lain libur kan karena pasti pulau itu dijadiin tujuan berlibur.”

“Ya … begitulah. Lihat situasi dulu karena memang pulaunya lagi ramai dikunjungi. Jadi gak tahu juga mau pulang kapan.”

“Sempetin pulang. Ibu sama Bapak kangen pengen ketemu kamu.”

“Titip aja, Kak. Kak Zahra sering-sering tengokin Ibu sama Bapak.”

“Kamu tuh kalau kerja jangan lupa sama orang tua juga. Jangan mentang-mentang tempat kerjamu jauh, malah dijadiin alasan buat gak pulang. Sempetin! Itu risiko kamu yang kerja jauh. Tapi silaturahmi sama keluarga yah jangan sampai terputus dong!”

“Aku suka telepon mereka kok! Siapa juga yang mau mutus silaturahmi?”

“Kali-kali telepon Kakak juga dong!”

Tak ada jawaban lagi dari seberang saja. Terjeda cukup lama sampai membuat Zahra sedikit menyesal karena terlanjur membentak Mahira.

“Siapa, Sayang?” Kemunculan Galang jelas membuat Zahra terkejut. “Kamu lagi nelepon siapa sih?”

“Ini, Lang. Si—"

Sambungan telepon terputus. Galang menunggu jawaban Zahra tapi istrinya itu malah tampak kebingungan melihat ponselnya sendiri.

“Kenapa? Ponselnya ada masalah? Telepon siapa emang?”

Zahra dengan malas menjawab. “Mahira.”

Galang mendadak diam. Ia jadi salah tingkah hanya dengan mendengar nama itu saja. Ia tak lagi bertanya banyak sampai rasanya enggan melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar tempat Zahra sekarang berada. Canggung. Apalagi saat sadar kalau itu kamar Mahira.

“Hubungan kami merenggang, Galang. Mahira baru kali ini bisa dihubungi. Itu juga karena kebetulan kita di sini dan Mahira menghubungi Ibu.”

Galang serba salah harus menanggapinya seperti apa. Meski semuanya sudah berubah, ia juga butuh waktu untuk membiasakan diri mendengar nama Mahira disebut. Bukan lagi sebagai kekasihnya, tapi sebagai adik ipar. 

Galang kira semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya ada masalah beruntun yang nyaris seperti tak berujung terus mengekori. Ia tak pernah berpikir akan merasakan situasi secanggung ini dalam kehidupan pernikahan. Komitmen dalam sebuah pernikahan seperti tak cukup mengatasi masalah yang harusnya segera berlalu. Rasa masa lalu yang pernah ada seperti hantu yang terus mengintai, membuat situasi menjadi tak nyaman.

“Kalian bisa dekat kembali, Zahra. Aku yakin. Sekarang ini Mahira bekerja di tempat yang jauh. Sepertinya wajar kalau kamu merasa hubungan kalian merenggang.”

Zahra menggeleng pelan. “Enggak, Lang. Mahira pasti sengaja ingin menjauh dariku.”

“Kalian bersaudara. Sampai kapan pun, kalian akan terikat meski jarak sejauh apa pun memisahkan.”

“Aku tahu! Tapi Mahira tak sehangat dulu. Dia biasanya akan menghubungiku jika sempat. Mau dalam kondisi apa pun. Sekarang? Udah sebulan lebih, tapi dia gak menghubungiku juga. Kalau bukan aku yang nelepon dia duluan barusan, mungkin dia gak bakalan nelepon aku.”

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Zahra.”

Jika menilik masalah yang sudah terjadi, ini seperti bukan hanya tentang perasaannya saja.

Rasa bersalah pada diri Zahra terasa semakin menganga. Apalagi jika ingat kalau hubungannya dengan sang mertua belum juga menemukan titik temu. Mereka masih seperti orang asing mau seberapa keras Zahra mencoba berbaur.

Sering Zahra bertandang ke rumah. Sendirian tentu saja. Atas inisiatifnya sendiri. Menemui Mamah Lia yang memang selalu berada di rumah.

Ya Tuhan ... Satu jam rasanya seperti seharian. Nyaris tak ada percakapan yang membuat Zahra betah lama-lama di rumah. Mamah Lia selalu sibuk sendiri. Menonton televisi, membereskan rumah, memasak, sampai tak sekali pun mengajaknya bicara kalau bukan Zahra yang lebih dulu bertanya. Zahra masih terasing di tempat itu.

“Aku gak mau pulang ke rumah kita, Lang. Aku mau di sini dulu untuk beberapa waktu. Kamu gak keberatan, kan?” pinta Zahra yang masih duduk di bibir ranjang yang ada di kamar Mahira.

Galang melangkah perlahan memasuki kamar Mahira. Desiran aneh menusuk secara beruntun. Ia sekuat tenaga tak melirik ke mana pun. Hanya lurus menatap Zahra yang duduk bibir ranjang.

Sayang, Galang sempat menangkap potret Mahira di atas nakas. Perempuan itu tersenyum tampak cerah. Juga ada beberapa foto kecil di salah satu sudut, menggantung dengan rapi. Galang tak dapat melihat jelas foto di sana siapa saja. Tapi ia yakin kalau itu menyangkut Mahira.

“Karena Mamah, yah?” terka Galang. Ia tak bisa bersikap pura-pura tak tahu atau tak mengerti situasi.

Zahra mengangguk malas. Tak enak memang terus membicarakan hubungan tak baik antara dirinya dengan mertuanya, tapi Zahra juga enggan berbohong.

“Aku butuh waktu buat istirahat, Lang. Kalau emang Mamah sama Papah kamu belum mau menerimaku, lebih baik aku tinggal di sini aja dulu.” Zahra menatap manik mata Galang yang lurus menatapnya. “Aku gak kuat kalau kayak gini terus, Lang. Aku capek dan aku juga sakit hati. Seburuk itukah aku di depan orang tua kamu? Belum lagi tetangga kamu juga menggunjingku. Aku capek, Lang!”

“Kalau itu mau kamu, ya udah gak apa-apa. Kamu boleh tinggal di mana pun, Zahra. Aku ke sini pas weekend berarti karena akhir-akhir ini kerjaanku menumpuk. Gak apa-apa kan kalau ketemunya cuma seminggu sekali?”

Galang menarik tangan Zahra ke dalam pelukannya. Zahra tergugu. Bersamaan dengan itu Galang menangkap potret Mahira dalam sebuah figura besar. Foto Mahira dan Zahra yang tengah mengenakan gaun pernikahan terpampang nyata di sana. 

Zahra menganggukkan kepalanya yang terbenam di pelukan Galang. Sementara Galang tetap lurus menatap foto Mahira dan Zahra di dinding sana. 

Mahira cantik sekali.

Zahra juga.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang