Bab 126 Cukup, Mahira!

205 5 0
                                    

Mahira dan Andra bergegas keluar dari mobil ketika melihat Bu Halimah dan Pak Wisnu berada di teras sebuah rumah. Tampak tengah berbicara sengit dengan Mamah Lia yang ada di ambang pintu masuk.

“Lebih baik Bapak dan Ibu keluar dari rumah ini jika kedatangan kalian hanya untuk menyalahkan anak saya. Zahra juga salah sejak awal!” Mamah Lia sampai menunjuk wajah Bu Halimah dengan mata melotot.

“Anak kamu juga salah! Mereka berdua salah! Tapi, kita tidak boleh membuat mereka mengulang kesalahan yang sama!” Bu Halimah membalas tak kalah sengit.  

“Ibu! Bapak!”

Mahira spontan berteriak, setengah berlari menghampiri Bu Halimah dan Pak Wisnu yang seketika itu juga menoleh padanya. Tak terkecuali Mamah Lia yang juga tampak terkejut melihat kemunculan Mahira di depan rumahnya.

“Ada apa ini?” Ia buru-buru merangkul Ibu, menariknya agar menjauh dari Mamah Lia yang tadi sampai menunjuk wajahnya. “Mamah ngapain nunjuk-nunjuk wajah Ibu kayak gitu?” sengitnya tak terima/

“Mereka menolak membantu Galang dan Zahra agar tidak sampai bercerai, Hira.” Pak Wisnu dengan wajah serius menyela dengan cepat. “Mereka lebih memilih Galang dan Zahra bercerai ketimbang membantu membuat hubungan mereka utuh kembali. Orang tua macam apa yang berpikiran seperti itu? Huh! Benar-benar tak masuk akal!” tuduhnya dengan raut wajah mengeras.

“Maaf yah, Pak!” Mamah Lia menyahut penuh emosi. “Jangan asal menuduh saya tidak masuk akal. Justru karena ini terlalu masuk akal, maka dari itu kami memilih menyetujui keputusan anak kami. Galang mengambil keputusan ini dengan alasan yang jelas!”

“Mana Galang? Saya harus mendengarkan penjelasannya langsung dari dia!” tantang Pak Wisnu dengan mata nyalang.

Andra memilih tak mendekat. Ia berdiri di kejauhan memerhatikan percekcokan dua keluarga itu dengan perasaan bingung. Tak mengira jika kedatangannya kemari dengan Mahira rupanya disambut percekcokan kedua keluarga.

“Anak saya kerja. Penjelasan saya tadi sudah mewakili apa yang Galang pikirkan kok! Dia sendiri yang mengatakannya demikian. Kalau dia sudah tidak bisa mempertahankan hubungan pernikahannya dengan Zahra karena Zahra susah diatur!” Mamah Lia bersikeras. Ia sampai memberikan penekanan pada tiap-tiap kalimat yang terlontar.

“Karena Zahra susah diatur?” Mahira menyela cepat. Mengerutkan kening sambil berjalan mendekati Mamah Lia. “Alasan macam itu? Alasan seperti itu tidak bisa dijadikan alasan kuat untuk Galang menceraikan Zahra. Semua harus jelas! Harus gamblang! Di mana letak kesalahan Zahra sampai Galang menceraikan dia. Meskipun perceraian itu ada dalam agama dan Tuhan membenarkannya, tapi itu bukan solusi yang dapat dengan mudah diambil. Galang harus tegas mengambil sikap dan keputusan! Ini jelas-jelas tidak benar!”

Mahira tersulut emosi. Ia sampai lupa kalau kedatangannya kemari bukanlah untuk menambah situasi menjadi rumit, apalagi ikut cekcok dengan Mamah Lia. Ia kehilangan kesabaran. Tak terima atas penuturan Mamah Lia barusan yang menurutnya tak masuk akal.

“Mana Galang? Dia kerja di mana? Dalam situasi seperti ini, dia masih bisa bekerja?” Bapak semakin naik pitam. “Anak saya tidak keluar dari kamarnya sejak kemarin memikirkan masalah ini. Tapi, Galang? Dia bisa leluasa bekerja? Cih! Dasar tak punya hati!”

“Bapak jangan asal nuduh anak saya tak punya hati! Dia bekerja karena tanggungjawab. Urusan pribadi dan pekerjaan tidak bisa dicampuradukkan begitu saja. Masa iya anak saya sampe gak harus kerja hanya gara-gara masalah rumah tangganya? Toh istrinya juga pergi gitu aja dari rumah. Tanpa pamit. Tanpa izin. Bukannya menyelesaikan masalah dulu dengan suami, tapi malah kabur!”

Percekcokan dua keluarga itu semakin sengit. Andra yang tak tahan mendengarkan apalagi menyaksikan memilih untuk kembali ke dalam mobil saja. Menyaksikan Mahira begitu bersikeras membela kakaknya sendiri bahkan sampai menyudutkan Galang, sudah cukup membuat Andra lega kalau memang niatan Mahira ikut campur urusan Zahra murni karena kepedulian terhadap saudaranya.

Entah bagaimana caranya percekcokan itu bisa berakhir. Tahu-tahu Mahira membawa Ibu dan Bapak keluar dari rumah itu dengan wajah yang sama-sama kusut. Andra bergegas keluar mobil, menghampiri mereka.

“Bu … Pak ….”

Andra tak berani bicara banyak selain menyapa kedua orang tua Mahira. Gelengan kepala Mahira saja sudah ia anggap sebagai jawaban kalau Andra lebih baik menutup mulutnya saja. Alhasil, sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil hanya diliputi kesunyian. Tak ada yang berani angkat suara. Satu orang pun.

Begitu juga ketika Andra akhirnya mengantar Mahira pulang. Kekasihnya itu terus melemparkan pandangan keluar jendela. Lengkap dengan wajah tertekuknya. Genggaman tangan Andra untung saja tak ditolak perempuan itu, tapi tak cukup membuat Mahira mau berpaling padanya lama-lama.

“Ra, kamu gak apa-apa, kan?” tanya Andra khawatir. “Aku tadi liat kamu sampe bentak-bentak ibunya Galang. Apa … gak masalah?”

“Tentu saja masalah, Dra. Tadi itu aku kehilangan kontrol! Kesel! Marah! Kamu tahu kan gimana rasanya kalau di situasi terdesak begitu?”

Andra mengangguk mencoba mengerti. “Ya, udah. Itu artinya kamu udah luapin emosi kamu, kan? Senyum dong ….”

Mahira menoleh pada akhirnya, tapi raut wajahnya tetap kusut. Bukan senyuman yang didapat Andra, tapi malah bibir melengkung perempuan itu.

“Mana bisa aku senyum mikirin kakakku sendiri, Dra.”

“Kamu tuh … yah.” Andra mencubit pipi Mahira cepat. “Masih mikirin kakak kamu yang udah nyakitin kamu? Kamu ini terlalu baik atau bodoh sih? Huh!”

“Aku saudaranya dia.”

“Dia juga saudaranya kamu tapi udah pernah tega nyakitin kamu.”

“Dra ….”

“Oke. Oke. Ya. Kamu saudaranya dia dan kamu peduli sama dia. Oke. Aku anggap begitu. Lantas selanjutnya apa? Kamu mau bantu Zahra dan Galang biar gak jadi cerai? Gimana caranya? Kamu mau resign dari kerjaan kamu? Gitu?”

“Ya, enggak sampe segitunya juga sih. Aku cuma kepikiran aja gimana Zahra sekarang. Apa dia udah makan? Masih nangis? Masih marah? Atau gimana? Ibu sama Bapak pasti kerepotan. Kak Zahra itu kalau udah ngambek, marah, kesel, bisa tahan gak makan berhari-hari, terus ujungnya masuk rumah sakit.”

“Aku tahu. Tapi, itu bukan urusan kamu. Biar Zahra sendiri yang ngatasin masalahnya, Ra. Mau dengan cara yang sama, tahan gak makan berhari-hari, atau mungkin sekarang dia berubah, itu urusan dia. Tugas kamu sekarang itu cuma doain dia aja. Semoga Tuhan ngasih jalan dan solusi terbaik buat dia. Oke?”

“Tapi, Dra ….”

“Mahira, cukup! Kamu boleh peduli dan sayang sama Zahra. Kamu boleh maafin kesalahannya dia. Aku gak akan larang. Tapi untuk sekarang, berhenti nyiksa diri kamu sendiri dengan mikirin dia yang sama sekali gak bisa kamu tolong. Ini bukan urusan kamu, Hira! Kamu ngerti kan maksudku? Ini urusan Galang dan Zahra juga keluarganya.”

Ada hal yang membuat Andra jengkel dari cara Mahira menyikapi permasalahan kakaknya sendiri, tapi juga di sisi lain ia merasa bangga pada kekasihnya ini. Ia sendiri pun tak bisa membayangkan jika berada di posisi Mahira sekarang. 

Kalau Andra mungkin akan senang. Tapi, Mahira tidak demikian. Caranya menyikapi masalah Zahra sungguh di luar dugaan.

Setelah memastikan Mahira benar-benar pergi dengan kapal menuju Pulau Ampalove, Andra baru bisa pergi dari sana. Tapi, mobilnya bukan berhenti di rumah atau bahkan tempat kerjanya. Melainkan kembali ke rumah Galang tadi. Andra berada di sana pagi buta. Entah untuk apa. 

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang