Bab 68 Kamu Cantik, Hira

225 8 0
                                    


“Kita mau ke mana, Dra?” 

Mahira mulai merasa risi oleh genggaman tangan Andra. Laki-laki itu bahkan tak menoleh sejak mereka berhasil turun dari bukit tadi. Mahira berulang kali melirik Yogi dan Andra yang mengekori. Memasang raut wajah iba untuk meminta bantuan. Tapi keduanya malah memberikan isyarat gelengan dengan jari telunjuk menyentuh bibir seolah meminta Mahira diam saja.

Langkah Andra tak tampak akan melambat. Mereka sudah melewati restoran bahkan sampai menuju bibir pantai. Yogi dan Randu mulai panik. Mereka yang tadinya bersikap tak acuh dan hanya mengekori kini berusaha menyejajarkan langkah dengan Andra yang masih menggenggam tangan Mahira erat.

“Dra, lo mau ke mana?” Yogi melirik Mahira yang tampak kepayahan berjalan diseret oleh Andra.

“Kasihan Mahira. Dia kecapean diseret sama lo!” Randu mempertegas.

Seketika langkah Andra terhenti. Ia langsung menoleh pada Mahira yang sudah memasang wajah jengkel. Segera setelah itu Mahira melepaskan diri dari genggamannya.

“Tinggalin gue sama Mahira. Gue mau ngobrol penting sama dia.”

Tanpa mendengar persetujuan keduanya, Andra kembali menggenggam tangan Mahira dan menyeretnya lagi hingga nyaris terjatuh. 

“Andra! Lepasin! Kalau kamu emang mau ngobrol sama aku, kita bisa bicara baik-baik. Gak perlu pake cara kayak gini!” protes Mahira yang tak terima diperlakukan seperti itu oleh Andra.

Tapi, genggaman tangan Andra malah semakin kuat atas protes Mahira barusan. Keduanya sudah berjalan sampai dermaga. Mahira memandangi speedboat Pak Supri yang tengah terombang-ambing tak jauh darinya. Sayangnya langkah Andra tak kunjung melamban. Sampai tiba-tiba lelaki itu mendorongnya masuk ke dalam speedboat lain yang berada tak jauh dari speedboat milik Pak Supri tadi.

Mahira tak punya cukup banyak waktu untuk menanyakan siapa pemilik speedboat ini sampai Andra mendudukkannya di kursi dalam kapal. “Ini kapal siapa, Dra? Ngapain kita di sini?” protes Mahira takut-takut. “Kamu mau ngobrol apa sampe harus ke kapal orang segala kayak gini? Kita bisa ngobrol di Rumah Ampa atau di ruang kerjaku mungkin? Gak enak kalau kita berduaan doang di tempat sepi kayak gini. Gimana kalau orang salah paham?”

Sebentar Andra menarik napas sebelum kemudian malah bangkit menuju kursi kemudi.

“Mau ngapain kamu? Katanya mau ngobrol, kan? Jadi gak? Kalau emang gak ada yang penting, aku mau balik ke Rumah Ampa!” tantang Mahira.

Selagi Mahira bicara, Andra tampak sibuk di area kokpit. Peringatannya tak digubris, Mahira sudah siap mengambil langkah untuk pergi dari sana. Tapi, baru saja ia hendak bangkit dari tempat duduknya, suara perahu menyala secara tiba-tiba yang berhasil membuat Mahira menoleh pada Andra dengan cepat.

“Andra! Kamu mau ngapain?”

Andra membalik kepalanya sambil melemparkan senyum dari kursi kokpit. “Duduk lagi. Kecuali kalau kamu mau jatoh ke laut tanpa pelampung.”

Belum sempat Mahira mencerna baik-baik peringatan Andra, perahu malah melaju perlahan. Ia sempat tersentak kaget, buru-buru berpegangan pada apapun yang dapat dijangkau tangannya. Sebelum kemudian Mahira duduk kembali di kursi penumpang.

“Dra, kita mau ke mana?” Mahira takut-takut memandangi area luar kapal yang gelap gulita. “Maksudku, sejak kapan kamu bisa nyetir kapal? Dan ini kapal siapa? Gimana kalau yang punya kapal ini nyariin? Kita haus balik ke pulau, Dra. Kita gak boleh pergi kayak gini tanpa meminta izin!”

Andra terlalu fokus memandangi lautan yang gelap gulita. Tapi untuk menghentikan laju kapal dan kembali ke dermaga pun ia enggan. Rasanya jika kembali ke pulau itu artinya ia sudah kalah telak. Meski barusan ia meninggalkan Zahra dan Galang lebih dulu secara sukarela, tetap saja rasanya seperti ia baru saja mendapat kekalahan.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang