Bab 87 Bersikap Profesional

113 4 0
                                    


Ini yang membuat Mahira kadang bingung dengan perasaan Andra. Lelaki itu bisa bersikap baik sewaktu-waktu, di waktu lain berubah drastis menjadi sosok menyebalkan. Mungkin itu sebabnya Mahira tak pernah bisa akur terus-menerus dengan Andra. Selalu saja ada hal yang membuat mereka cekcok sengit. Itu juga seperti pertanda bagi Mahira kalau ia dan Andra memang tak COCOK!

“Kok lo nanyanya kayak gitu sih, Dra?” protes Yogi yang langsung menendang tungkai kaki Andra dengan keras. “Tugas lo itu yah jangan biarin si Mahira dipecat dong! Katanya suka, tapi kok gitu sih lo nanyanya? Pengen emang cewek lo ketiban masalah sampe dipecat dari kerjaannya kayak gini?”

“Emang ada yang salah dengan pertanyaan gue?” Andra tak terima disudutkan demikian. “Kan gue cuma nanya barusan. Dan pertanyaan gue juga ada tujuannya. Biar apa? Biar si Mahira gak gampang ngambil keputusan kalau emang itu rugiin dia. Kita juga gak ngajak dia ikut, kan? Alias dia inisitatif sendiri pengen ikut.”

“Emang dengan aku gak ikut kalian, aku gak bakalan rugi gitu?” Mahira bersikeras. “Sama aja kali!”

“Ya, enggaklah!” Andra bersikeras. “Aneh juga kalau sampai si kakek tua itu ngamuknya ke kamu sementara yang salah itu kita? Iya gak, bro?”

Yogi dan Randu mengangguk bersamaan. Sepakat dengan pendapat Andra barusan. 

“Kalian bisa kena pecat kalau beneran kabur!” ancam Mahira. Ia merasa dikucilkan begini jadinya oleh Andra. 

“Gak bakalan sih kalau kita kena pecat,” kata Andra penuh percaya diri. “Soalnya kalau juru masak di pulau ini dipecat semua, bisnis di pulau ini bisa langsung gulung tikar. Nyari chef yang mau kerja di tempat terpencil begini kan gak semudah nyari karyawan di posisi lain. Bener gak, bro?”

Andra menoleh pada Randu dan Yogi untuk meminta persetujuan. Satu matanya berkedip yang spontan ditingkahi keduanya dengan anggukan kepala.

“Y—ya. Begitulah! Bener banget!” Yogi tergagap mengiakan meski tak yakin.

“Tanpa adanya juru masak atau chef kayak kita, apalagi kalau posisinya sampai kosong lama, selama itu pula pulau gak bisa nerima pengunjung. Itulah yang bikin bisnis di pulau ini bisa terancam gulung tikar seketika kalau sampai semua juru masaknya dipecat semua!” Randu juga ikut-ikutan mengiyakan. Malah seperti menantang Mahira.

“Oh … kalian ngerasa dibutuhkan banget di sini sampe ngerasa gak bisa tergantikan? Begitu?” sudut Mahira.

“Iyalah! Kalau kita gak ngerasa dibutuhin, kita gak akan percaya diri buat ambil kerjaan sesuai keahlian kita. Karena kita bukan orang yang kerjanya ngikutin kebutuhan orang lain, tapi orang lain yang harus merasa ngebutuhin kita.”

Mahira tak menanggapi lagi. Ia memilih menghabiskan sisa makanan di piring sebelum kemudian pergi dari sana lebih dulu dengan wajah kusut. Yogi, Randu, dan Citra berusaha keras melarang perempuan itu pergi. Berbeda halnya dengan Andra yang malah diam saja.

“Kok elo gitu sih sama si Mahira, Dra? Beneran suka atau gimana sih lo? Bukannya bersikap baik ke dia, kok elo kesannya malah ngajakin dia ribut. Gimana dia bisa suka kalau elonya kayak musuh dia?” protes Yogi.

“Lo kayaknya udah putus asa yah, Dra. Ini tandanya lo mau nyerah?” Randu ikut mengompori.

“Kalau aku digituin, pasti kesel juga sih kayak Mbak Mahira. Kalau sambil mikirin Mas Andra suka, duh … jauh deh. Aku pasti mikirnya Mas Andra itu bukannya suka, tapi benci.” Citra juga angkat bicara.

“Tenang aja. Mahira pasti paham kok! Kan dia sendiri yang minta gue profesional di tempat kerja. Kapan ngomongin hal pribadi dan kapan kerjaan. Tadi itu kan kita lagi ngomongin kerjaan. Tentang pentingnya keberadaan juru masak atau chef di bisnis penginapan dan tempat wisata kayak gini. Salahnya gue apa coba? Jahatnya gue di mana?” terang Andra membela diri.

“Tapi, lihat Mbak Mahira barusan wajahnya jadi kusut gitu loh, Chef. Apa beneran gak apa-apa?” Citra memperingatkan.

Andra berpikir sejenak. “Kalau dia marah gara-gara ucapanku barusan, itu artinya ….” Ia tersenyum lebar yang membuat Randu, Yogi, dan Citra bingung.

“Artinya?” Randu tak sabar ingin mendengar kelanjutan dari perkataan Andra barusan.

Sayang, Andra tak melanjutkan kalimatnya. Ia malah memilih pergi meninggalkan tempat itu. Menyisakan segudang rasa penasaran pada diri teman-temannya.

***

“Maksudnya apa coba tadi?” Mahira menendang-nendang udara dengan perasaan jengkel. “Dia sengaja mojokin aku atau apa sih? Mentang-mentang anak orang kaya! Ternyata dia sama arogannya kayak anak-anak Pandawa itu! Dibutuhkan orang lain? Cih! Dia pikir dia itu siapa? Memangnya chef yang hebat itu cuma dia doang? Lihat aja nanti! Aku bakalan cari chef pengganti dia yang lebih baik lagi!”

Sesekali Mahira menoleh ke arah restoran yang sepi. Menyeringai sinis dengan tekad penuh akan kata-kata yang ia lontarkan barusan.

Tapi, raut wajah kusutnya itu seketika lesap ketika ia mendapati sosok Andra berjalan ke arahnya. Buru-buru Mahira berpaling. Takut ketahuan kalau ia saat ini tengah sibuk mengumpati Andra.

“Duluan yah, Hira!” teriak Andra sambil mengelus puncak kepala perempuan itu.

Mahira sudah siap protes, namun yang keluar dari mulutnya hanya berupa decakan sebal. Melihat Andra malah pergi begitu saja, perasaan Mahira tiba-tiba mencelos. Dua matanya lekat memerhatikan langkah lelaki itu yang ternyata malah menuju Ruang Kerja Ampa. Terang saja Mahira malah mempercepat langkahnya. Hendak mencari tahu apa yang sebenarnya Andra lakukan di tempat kerjanya itu.

Tapi, baru saja ia tiba di Ruang Kerja Ampa, tahu-tahu Andra sudah berjalan keluar dari tempat itu. Lengkap dengan wajah semringah tentu saja. Disambut tatapan sinis Mahira yang tentu saja penuh curiga.

“Ngapain kamu? Habis curi apa di dalam sana?” tuduh Mahira tanpa tedeng aling-aling.

“Jangan nuduh sembarang gitu dong! Aku masuk ke sana buat ketemu Pak Satya, bukannya mencuri.”

Mahira tentu saja tak percaya. Tapi ia juga tak mau sampai berdebat panjang lebar dengan Andra. Kalau sampai ketahuan Pak Satya lagi, mereka bisa-bisa kena omelan lelaki tua itu. 

Mahira buru-buru melangkahkan kakinya masuk ke Ruang Kerja Ampa. Tak sekali pun menoleh lagi pada Andra apalagi memedulikannya. Tapi, ketika Mahira baru saja duduk di kursi ruang kerjanya, Pak Satya tiba-tiba muncul di ambang pintu.

“Semua karyawan boleh pergi liburan pekan ini!” kata lelaki tua itu tiba-tiba.

Mahira sampai terperangah mendengarnya. Bukan karena tak senang, tapi bingung atas keputusan Pak Satya yang terkesan tiba-tiba.

“Pak Satya serius? Yang jaga pulau siapa nanti?”

Pak Satya diam sejenak. “Itu urusan kalian! Seperti yang sudah-sudah saja. Harus ada karyawan yang berjaga di sini sementara yang lainnya liburan. Saya tak mau jatah liburan yang saya kasih ini mempengaruhi aktivitas kedatangan pengunjung.”

Mahira tentu saja senang mendengar hal ini. Sudah lama sekali ia ingin keluar dari pulau, sekedar menghirup napas segar sebagai langkah untuk meyakinkan diri bahwa ia masih hidup di dunia nyata. 

Maklum saja, tinggal di tempat ini tanpa liburan nyatanya memang seperti berada di dalam penjara. Ia terkekang dan tak bisa bernapas dengan tenang. Kalau bukan karena berusaha keras menghabiskan waktu dengan bekerja, mungkin Mahira akan mati karena bosan jadinya.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang