Langkah Andra melamban bersama dengan suara derit pintu yang baru saja ia buka. Lantai rumah yang tengah ia masuki sekarang tampak jelas tak terawat. Ruangan pertama yang menyambut kedatangannya itu dipenuhi banyak potongan kayu yang entah untuk apa fungsinya. Sarang laba-laba bertebaran di mana-mana.
Dengan hati-hati Andra melangkah. Baru saja ia tersadar jika kakinya tak beralas. Sejenak ia menoleh pada Mahira yang masih berdiri di ambang pintu. Kepalanya tertunduk, tampak menatap kakinya yang juga sama-sama telanjang dengan air mengucur dari bajunya.
Andra masih tak bicara mengenai hijab Mahira yang sepertinya terlepas saat tenggelam tadi. Perempuan itu pun tampak tak menyadari hal itu karena tak protes seperti dulu saat Arjuna dan kawan-kawan pandawa melepas hijabnya secara paksa.
“Hira,” panggil Andra lembut. “Maafin aku.”
Wajah Mahira langsung kusut. “Telat!” sinisnya.
Tapi Andra malah senang dengan reaksi itu. Ini lebih baik ketimbang mendapati Mahira bengong saja.
Mata Andra bergerilya ke sekeliling. Ia tersenyum lebar ke salah satu sudut dan cepat-cepat berjalan ke arahnya. Ada kain putih kumal menggantung di salah satu jendela. Ia menariknya dengan paksa dari jepitan gorden.
Mahira yang memerhatikan hanya memasang wajah serius. Entah untuk apa Andra mengambil gorden kumal itu. Sementara Andra berjalan ke arahnya lagi, Mahira mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang lebih mirip sebagai rumah hantu. Entah siapa yang memiliki rumah ini, termasuk pulau ini juga, sampai membiarkan begitu saja rumah besar tanpa jendela ini terbengkalai begitu saja.
“Pakai ini!”
Mahira berjingkat kaget ketika tiba-tiba Andra melilitkan kain usang tadi di kepalanya. “Apaan sih? Kotor tahu!” protesnya tak terima. Mahira jelas-jelas melihat tadi bagaimana kotornya kain gorden yang entah sejak kapan sudah berada di sana.
Saat Mahira hendak melepas kain gorden yang Andra lilitkan sebarang di kepalanya, buru-buru Andra bicara. “Kerudung kamu gak ada.”
“Hah? Apa?”
Mahira meraba-raba kepalanya di balik kain yang masih menutupi. Ia buru-buru mengeratkan lilitan kain gorden itu di kepalanya sambil berpaling dari Andra. Malu bukan main. Bisa-bisanya ia tak sadar kalau kerudungnya terbawa arus lautan saat tadi tenggelam.
“Pakai itu untuk sementara. Nanti kita coba cari kain yang lebih bersih lagi.”
“Emang ada? Rumahnya aja kotor begini. Jendelanya juga gak ada. Kain gorden ini mungkin lupa dibawa sama pemiliknya.” Mahira malah mengomel.
“Gak ada salahnya coba nyari dulu. Masih ada satu ruangan lagi yang belum kita lihat. Mau ikut atau diem di sini?”
“Ikutlah!” Mahira nyolot. Ia menatap sekeliling dengan wajah takut. Meski masih siang hari, tetap saja rumah tak berpenghuni ini tampak begitu mengerikan.
Andra yang menangkap ketakutan di wajah perempuan itu tak bisa menahan diri untuk tersenyum. “Jangan jauh-jauh. Nanti setan penunggu tempat ini culik kamu! Aku nanti yang repot harus laporin setan mana yang culik kamu ke Polisi. Polisi juga bakalan bingung nangkap pelakunya.”
“Kamu tuh yah!”
Mahira sudah siap memukul Andra jika lelaki itu tak spontan menjauhkan diri. Berjalan cukup cepat meski dengan kaki telanjang, tampak tak takut menginjak lantai kotor rumah itu. Beda halnya dengan Mahira yang susah payah mencoba menyusul, berjalan berjinjit dengan penuh hati-hati karena takut menginjak sesuatu yang mungkin saja akan melukai telapak kakinya.
“Tungguin, Dra!”
Andra sejenak menoleh dengan seulas senyum mengembang melihat Mahira susah payah menyusulnya. Kepalanya lebih sering tertunduk menatap dasar lantai yang hendak diinjak. Andra tiba-tiba mengulurkan tangannya yang membuat langkah Mahira spontan terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomansaMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...