Zahra tak mengira jika keinginannya untuk bekerja akan berbuntut panjang seperti ini. Galang sampai muncul di rumah malam itu juga padahal ini bukan hari di mana ia harus datang menemuinya.
"Kamu kenapa gak bilang dulu kalau mau ke sini, Lang?" sergap Zahra ketika melihat Galang sudah ada di teras rumah.
Wajah Galang tampak kusut. Kemeja yang dikenakannya menyisakan dua kancing paling atas yang terbuka asal-asalan beserta dasi yang ikatannya sudah melonggar. Rambut Galang tak kalah acak-acakan. Kentara sekali kalau ia begitu kelelahan.
"Aku dari kantor langsung ke sini. Karena kita punya banyak hal yang harus diobrolin."
Galang menyerahkan tas hitam dari tangannya ke arah Zahra. Setengah menjejalkannya dengan paksa. Zahra mengekori dari belakang sampai ke lantai atas.
"Soal omonganku tadi pagi?" Zahra menaruh tas hitam itu di atas meja. Tak berniat berpura-pura tak mengerti ucapan Galang barusan.
Galang menjatuhkan dirinya di bibir sofa sambil melepas dasinya asal-asalan. "Kamu milih buat menghindari orang tuaku daripada berusaha dekat sama mereka? Itu maksudnya, kan?"
Zahra batal menarik gagang pintu lemari mendengar perkataan Galang. Ia diam sejenak. Berpikir cukup lama akan kata apa yang pantas ia lontarkan saat ini. Karena sepertinya percakapan ini bisa berbuntut panjang jika Zahra salah bicara dan membuat situasi semakin rumit.
"Aku bukan menghindari mereka, Lang," kata Zahra sambil menarik sesuatu dari dalam lemari yang baru saja ia buka. "Aku juga udah berusaha sejak kemarin buat berbaur dengan keluarga kamu. Mau mereka gak nganggep aku ada pun, aku coba buat tetep bertahan. Tapi mereka tetep gak nerima aku, kan? Aku harus berusaha kayak gimana lagi? Kepalaku udah buntu, Galang!"
"Tapi, kenapa harus kerja? Aku masih bisa nafkahin kamu. Semua kebutuhan dan keinginan kamu pun aku coba penuhi."
Zahra balik badan menghadap Galang dengan selimut yang sudah ada di tangan. "Ya kalau bukan kerja, terus aku mesti gimana lagi? Ngekorin kamu ngantor? Malu dong! Masa istri ngikutin suaminya kerja sih? Diem doang di rumah? Lama-lama aku juga bete tahu, Lang!"
"Kamu kan bisa pergi ke mana gitu buat ketemu temen kamu, Ra. Aku gak mau kamu kerja karena aku gak mau kamu repot dan capek menjadi istriku."
"Temen siapa? Siapa temen yang bisa aku ajak ketemuan setiap hari kalau temen-temenku itu kebanyakan sibuk kerja. Mereka cuma punya waktu ketemu pas weekend aja. Sementara pas weekend, itu jadwal kita ketemu, kan? Masa iya aku milih ketemu temen-temen ketimbang kamu sih?"
"Perawatan kulit, ngegym, atau apa gitu, Ra. Kamu bebas nikmatin uang yang aku kasih. Buat diri kamu bahagia dan seneng. Kenapa malah milih kerja? Kamu lebih suka capek-capekan di luar rumah ketimbang hambur-hamburin uang suami kamu?" sinis Galang.
"Terus nanti aku kena omel Mamah kamu. Bilangnya istri gak tahu diri yang bisanya cuma hambur-hamburin uang suami. Enggak deh! Aku mending kerja aja!"
"Aku yang kasih kamu izin buat pake uangku. Gak semua hal yang Mamah aku omongin tuh harus kamu dengerin, Ra. Sama kayak aku yang gak harus selalu nganggep omongan atau sindiran Ibu sama Bapak soal pernikahan kita."
"Ini bukan soal uang juga, Galang." Zahra jadi gemas sendiri. Galang seperti lupa alasan sebenarnya ia ingin bekerja. "Tapi, soal ...."
"Iya. Aku tahu! Aku tahu! Maksudku, pasti ada solusi selain bekerja. Kamu tahu sendiri kan kalau aku gak mau istriku bekerja? Aku mau kamu ada di rumah aja. Hanya mengerjakan pekerjaan rumah. Fokus pada suami dan anak. Itu saja!"
"Tapi sekarang kita belum punya anak, Galang. Aku punya banyak waktu luang. Gak ada salahnya kan kalau aku kerja?"
"Terus kalau nanti kita udah punya anak, gimana dengan kerjaan kamu? Kamu gak bisa dong seenaknya masuk-resign pekerjaan, Zahra. Kecuali kalau tempat kerjamu itu milik kamu sendiri! Atau ...," Galang tiba-tiba semringah, "gimana kalau begini? Kamu jadi content creator masakan aja, gimana? Banyak kan akun-akun yang menyediakan tutorial masakan sehari-hari. Kamu bisa coba jajal itu juga! Kamu kan bisa masak, Ra. Masakan kamu juga enak. Resep yang kamu bagi pasti cocok untuk ditiru!"
Zahra menggeleng. "Masak tuh bukan kerjaan sepele, Galang. Ditambah lagi jadi content creator masakan. Harus bisa ambil video, edit ini dan itu juga. Itu pekerjaan berat, Galang!"
"Terus kamu mau kerja apa emang?"
"Yaaahhh ... kerja. Pokoknya kerja yang bisa bikin aku keluar dari rumah!"
Kening Galang saling bertaut keras. "Gimana kalau pekerjaannya itu pekerjaan berat? Kamu masih yakin mau kerja?"
"Cari kerjaan yang ringan aja dong!"
"Emang ada kerjaan yang ringan di zaman sekarang?"
Zahra berpikir cukup lama. Membicarakan keputusannya yang ingin bekerja dengan Galang malah membuat keinginannya itu hilang-timbul. Padahal niatnya hanya agar tak perlu bertemu dengan mertuanya setiap waktu, tapi ia tetap bisa tinggal dengan Galang tanpa harus terpisah seperti sekarang.
"Tugasnya perempuan, apalagi yang udah jadi istri itu, cuma di rumah, Zahra. Kalau kamu mau kerja, kamu bisa mencari pekerjaan yang bisa dilakuin di rumah. Zaman sekarang kerjaan kayak gitu banyak, kan?"
Zahra mendengkus kesal. "Aku nyesel nikah sama kamu, Galang! Kamu gak suka liat istri kamu seneng dengan caranya sendiri, kan?" umpat Zahra jengkel. "Tahu bakalan kayak gini, harusnya aku gak terima ajakan kamu buat nikah!"
"Apa? Kamu nyesel?" bentak Galang dengan nada tinggi.
"Iya! Bukannya bantu istri dengan nyari solusi dari permasalahannya, kamu malah nambahin masalah. Aku pengen kerja karena sikap orang tua kamu yang belum bisa nerima aku. Aku capek di rumah terus! Ngebatin! Stress! Kamu lebih suka aku jadi gila ketimbang waras rupanya?"
"Kita udah pernah bahas ini, Zahra. Sejak awal aku udah bilang kan kalau istriku nanti gak perlu kerja. Solusi untuk permasalahan kamu bukan hanya dengan bekerja, Zahra. Kita bisa cari solusi lain!"
"Apa? Solusi macam apa yang kamu punya emangnya? Perceraian?"
"Zahra!"
"Kamu gak bisa ngerti posisi aku, Galang! Kamu tuh cuma mikirin diri kamu sendiri! Kamu gak ngobrol dulu pas awal kalau rumah kita sama orang tua kamu tuh dampingan. Kamu egois! Kamu cuma mikirin kenyamanan diri kamu sendiri!"
"Aku pemimpin di keluarga ini, Zahra. Bukannya aku egois. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai pemimpin yang menyediakan tempat tinggal yang layak buat keluargaku. Justru dengan kita hidup berdampingan dengan orang tuaku, bukannya itu malah bikin tugas kamu makin ringan biar bisa berbaur dengan keluargaku?"
"Yang ada tuh stress, Galang! Buktinya sekarang apa? Aku gak kuat tinggal dampingan sama mereka. Udah usaha ini dan itu buat coba berbaur, aku gak pernah dianggap ada oleh mereka. Mereka masih bersikap dingin, tak acuh, seolah-olah aku tuh gak ada. Mereka maunya Mahira! Bukan aku!"
"Cukup, Zahra! Berhenti sangkut-pautin Mahira dalam rumah tangga kita."
"Tapi faktanya memang itu, kan? Orang tua kamu gak bisa nerima aku sampe detik ini karena mereka maunya Mahira!"
"Zahra, cukup!"
"Aku nyerah, Galang! Aku nyerah buat berbaur di keluarga kamu! Aku capek! Aku stress! Mulai sekarang, aku gak mau lagi dengerin kata-kata kamu buat aku diem di rumah lah, jadi istri yang baik lah, atau apa lah. Terserah! Aku bisa gila kalau diem di rumah terus dengan keadaan rumah kayak gini! Terserah kamu mau marah, larang, atau cerain aku sekalian, aku gak peduli! Kamu egois sejak awal, maka jangan salahkan aku kalau aku juga sekarang egois."
"Zahra!"
Galang sudah siap mengangkat satu tangannya ke udara ketika Zahra balas melotot padanya. "Apa? Mau pukul aku? Pukul! Pukul aja kalau berani! Dasar suami egois!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
Storie d'amoreMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...