Bab 83 Tak Boleh Ada Pacaran!

117 4 0
                                    


“Kasihan banget Chef Andra. Padahal dia udah kerja keras bikin kejutan buat Bu Mahira. Di hari ulang tahunya lagi! Eh … malah kena tolak!”

“Kok bisa sih ada cewek setega itu? Mana nolaknya pake cara kasar lagi! Masa bilang gak sudi sih?”

“Chef Andra juga sih! Kok mau-mau aja ngajakin nikah mantannya sendiri?”

“Ceweknya gak punya perasaan sih!”

Sejak penolakan yang dilakukannya malam itu, Mahira kembali harus berhadapan dengan gunjingan. Ada yang terang-terangan membicarakannya, ada pula yang diam-diam melakukannya. Bagaimana Mahira bisa tahu?

Itu karena ia sering sekali tak sengaja mendengar dirinya menjadi bahan pembicaraan para karyawan. Tuhan seperti ingin sekali membuat telinganya mendengar apa yang tersembunyi. Sampai Mahira terbiasa dengan perubahan situasi yang lagi-lagi menjadikannya pusat perhatian.

Lebih menjengkelkannya lagi, Andra sama sekali tak terpengaruh oleh gunjingan itu. Seperti yang sudah pernah terjadi. 

Ketika Mahira memilih Ruang Kerja Ampa menjadi satu-satunya tempat aman baginya untuk bersembunyi. Bukan karena ia sudah membuat kesalahan, tapi lebih tepatnya menghindari kisruh dan desas-desus yang tak mengenakkan hati. Andra muncul membawa beberapa wadah berisi makanan. Muncul begitu saja dari jendela tempat Mahira berada.

“Kenapa gak pernah ke restoran lagi?” tanya Andra yang kemudian loncat dari luar jendela.

Mahira yang melihatnya sampai melongo kaget. 

“Heh! Ada pintu di depan sana!” teriaknya sambil menunjuk pintu masuk ke ruang kerjanya. “Gak sopan yah masuk ke sini lewat jendela! Kamu mau maling?”

“Iya. Maling hati kamu yang kerasnya melebihi batu akik.”

Mahira membuang napas kasar. “Mulai lagi deh.” Malas-malasan ia meladeni Andra. “Udah sana pergi! Mau ngapain ke sini lagi? Gak malu apa deketin cewek yang udah nolak kamu terang-terangan?”

“Ngapain malu? Jadi cowok itu, kalau punya keinginan, yah … gak boleh malu buat ngedapetin keinginannya. Sekali dua kali ditolak udah biasa!” kata Andra enteng. Ia bahkan sampai terkekeh seolah kata-katanya itu hal yang lucu.

“Ada yah cowok tebal muka kayak kamu!”

“Ada dong! Ini contohnya!” timpalnya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Dan cuma satu-satunya yang kayak gini di muka bumi. Kamu harusnya merasa beruntung karena dikejar-kejar cowok pantang menyerah kayak aku.”

“Kamu udah gila, Dra!”

“Kamu tuh yang bikin aku gila!”

“Udah deh gak usah ngajakin ribut. Pergi sana! Aku mau kerja! Gak usah gangguin mulu!

Pergi! Pergi!”

Mahira sampai mendorong tubuh Andra sampai ke ambang jendela yang terbuka. Lelaki itu buru-buru menaruh wadah yang sejak tadi ada di tangannya.

“Oke. Oke. Aku keluar sekarang! Tapi, kamu harus janji bakalan habisin makanan itu!” Andra menunjuk wadah yang sudah ia taruh di meja.

Mahira mencebik. “Emang kapan aku gak habisin makanan yang kamu kasih? Huh!”

Andra mesem-mesem sendiri. “Iya juga, yah? Itu artinya kamu suka sama aku, kan?”

Satu pukulan mendarat di lengan Andra. “Bisa gak sih kalau ada apa-apa tuh gak usah disangkut-pautin sama suka suka suka? Bosen tahu dengernya!”

“Makannya, terima aku aja jadi pacar kamu! Jadi calon suami pun boleh!”

“Ogah! Sana pergi!”

Wajah Andra kusut. “Susah amat sih bilang ‘ya’ doang. Dasar cewek berhati batu!”

“Bodo amat! Sana pergi! Sana!”

Andra loncat dari jendela. Keluar dengan cara yang sama diiringi tatapan tajam Mahira. Setelah memastikan Andra benar-benar pergi, Mahira menatap wadah yang baru saja diberikan Andra cukup lama. Dengan gerakan cepat, ia membuka penutup dari wadah-wadah itu satu per satu.

Tanpa sungkan Mahira menyantapnya. Seorang diri. Fokus sekali sampai makanan di dalam wadah itu nyaris tak bersisa.

“Aku mana bisa nyisain makanan enak kayak begini?” gumam Mahira. “Terlebih cuma masakan dia aja yang bisa diterima lidah ini.”

Mahira terus menjejalkan sisa makanan di wadah ke mulutnya tanpa menghentikan gerutuan dalam hatinya.

“Gimana dong? Aku suka banget sama masakannya sampe gak bisa nolak. Harusnya gak kayak gini, kan? Ya Tuhan …,” gerutunya dengan mulut tak berhenti melahap makanan yang tersaji. “Cukup makanannya aja yang disuka, ke orangnya jangan sampai jatuh hati. Ingat itu, Mahira! Ingat itu!”

Suara ketukan tiba-tiba terdengar. Mahira terkesiap dan buru-buru bangkit dari kursi ketika melihat Pak Satya berdiri di ambang pintu. Ia berjalan cepat menghampiri lelaki tua itu sambil tetap mengunyah makanannya.

“Pak Satya, selamat siang.” Mahira jadi ikut celingukan melihat ruangannya sendiri ketika melihat mata Pak Satya tampak memindai ruang kerjanya ini. “Ada yang bisa saya bantu?”

Mata Pak Satya yang sudah  keriput tampak semakin menyipit hingga dua bola matanya tak lagi dapat Mahira lihat. “Tadi saya denger suara ribut di sini. Ada maling dateng?”

Perasaan Mahira mendadak serba salah mendapat pertanyaan itu. “Oh? Itu … bukan maling,

Pak. Tadi itu ada Chef Andra.”

Pak Satya terdengar berdecak. “Kalian ini sebenarnya mau kerja atau pacaran? Huh!” tegur lelaki itu tiba-tiba. “Saya perhatikan, makin ke sini, tingkah kalian makin kurang ajar. Seperti tidak tahu saja kalau posisi kalian di tempat ini tuh hanya karyawan! Tapi lagaknya seperti yang punya pulau sendiri.”

Mahira berpikir keras. Tersinggung oleh kata-kata Pak Satya yang sepertinya memang ditujukan untuknya dan juga Andra. Tapi, ia merasa perkataan lelaki tua itu keliru. Selama ini ia melakukan tugasnya dengan baik kok!

“Maaf, Pak. Tapi … di mana letak kekurang ajaran saya, yah? Karena selama ini saya sudah bekerja dengan maksimal dan tak pernah lalai melaksanakan tugas. Dari hal kecil sampai hal rumit sekalipun.”

“Alasan!” potong Pak Satya cepat. “Harusnya sejak awal saya buat peraturan saja kalau tidak boleh ada karyawan yang bekerja di Pulau Ampalove, dari yang jabatannya tinggi sampai rendah untuk pacaran. Kelakukan kalian itu ditiru banyak karyawan di sini!”

“Kalian?” Mahira tak yakin siapa yang dimaksud Pak Satya ini. “Maksudnya saya dan siapa?”

“Memang siapa lagi kalau bukan si Andra itu!”

Lagi-lagi masalah menyangkut dirinya dan Andra. Mahira bosan sekali menghadapi situasi macam ini. Seolah setiap hal itu pasti ia dan Andra harus disangkutpautkan.

“Kalau bukan karena dia keluarga dari kenalan Pak Prawira, sudah saya depak sejak dulu! Cobalah bersikap profesional kalau memang kalian ingin bekerja di sini. Lama-lama, saya bisa adukan kelakukan kalian ini ke Pak Prawira. Biar beliau saja lah yang menangani masalah ini. Saya capek! Kelakukan anak muda emang ada-ada saja! Tak punya sopan santun! Si Andra tuh sampe masuk ke ruangan saya juga tanpa permisi segala. Manusia macam apa yang tak punya attitude seperti itu? Huh!”

Gerutuan Pak Satya tak sepenuhnya menyalahkan Mahira. Itu yang Mahira tangkap sejauh ini. Lebih banyaknya ini seperti kekesalahan Pak Satya pada Andra.

Mahira diam bukan berarti sependapat dengan Pak Satya sepenuhnya, tapi ia hanya tak mau percakapan ini semakin panjang dan rumit. Mahira berusaha keras bersikap bijak dengan mengambil keputusan yang tak memberatkan satu pihak. Akan ia anggap keluhan Pak Satya sebagai kritik untuk meningkatkan kualitas karyawan di tempat ini.

“Jadi, Pak Satya mau bikin peraturan untuk karyawan agar tak boleh pacaran?” tanya Mahira ingin memastikan.

“Ya! Secepatnya akan saya buat aturan seperti ini untuk semua karyawan di pulau!”

Harusnya Mahira senang mendengar hal ini. Karena mungkin dengan aturan ini, Andra akan berhenti mengganggunya. Tapi semakin lama Mahira memikirkannya, ia jadi ingat perasan aneh waktu ia tak diekori oleh Andra saat liburan beberapa waktu lalu.

Rasanya ada yang aneh ketika berjauhan dengannya. Sangat aneh!

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang