Andra dan Mahira berdiri bersisian di depan resto, memerhatikan motor yang tadinya mereka sewa melaju menjauh di bawah kemudi para pemilik yang baru datang setelah Andra menelepon mereka. Sesekali Andra melambai, membalas senyuman para pemilik sebelum lesap dari pandangan.
“Beneran bakal ada yang jemput kita?” tanya Mahira curiga. Karena ia pikir pertemuan itu akan begitu rumit.
“Iya. Kebetulan emang sekarang mereka lagi gak jauh dari sini. Kita bakalan ketemu sama mereka di hotel tempat mereka nginep.”
Tangan Mahira berpilin rancu. Perasaannya tak tenang. Melirik kanan kiri jalan dengan tatapan waspada.
“Aku cuma perlu setor muka doang sama jelasin kalau kamu beneran kerja, kan?” Mahira butuh kepastian. Takut jika dipertemuan nanti malah membuat kekacauan.
“Nyantai aja kali, Ra. Ngobrol kayak biasa aja. Wajahnya kok tegang begitu? Grogi, yah?” goda Andra yang senang sekali melihat wajah Mahira yang tampak tegang begitu.
Ucapan Andra benar-benar berhasil membuat Mahira jadi salah tingkah. Bohong kalau Mahira mengaku tak grogi karena sudah sejak tadi ia tak bisa merasa tenang. Sudah sejak tadi matanya awas mencari mobil yang hendak menjemput mereka itu sudah tiba atau belum. Mahira belum sepenuhnya siap menghadiri pertemuan mendadak ini.
Aneh sekali. Ia merasa seperti akan menemui marabahaya saja sampai membuat Mahira merasa harus membawa senjata lengkap sebagai perlindungan. Sayangnya ia tak memiliki apa-apa selain keberanian yang semakin lama malah semakin surut.
“Itu mobilnya!” tunjuk Andra pada sebuah mobil hitam yang melaju dari kejauhan ke arah mereka.
Mahira makin tak bisa berdiri tenang. Berulang kali tangannya saling berpilin, merapatkan bibir, atau mengembuskan napas pendek dengan kasar. Tentu saja Andra tak menyadari hal itu karena ia sibuk berbicara dengan pengemudi mobil tadi. Tampak akrab sekali.
“Ayo berangkat!” teriak lelaki itu dari kejauhan. Melambai pada Mahira memberikannya isyarat agar mendekat.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Mahira hanya mendengarkan percakapan Andra dengan si sopir yang tampak akrab. Seperti teman lama yang baru saja bertemu. Banyak bercerita tentang kehidupan pribadi masing-masing, terutama Andra yang tampak tak sungkan bercerita tentang kisah cintanya.
“Susah banget ngejar cewek yang sekarang, Pak. Tapi mungkin karena terlalu fokus berjuang buat dapetin yang baru ini, saya jadi gampang lupa sama yang lama,” tutur Andra bercerita.
“Wah! Beneran, Mas? Hebat yah cewek barunya berarti. Bisa memberikan pengaruh baik buat si Mas. Karena kan kadang ada tuh kalau kita baru putus, deketin cewek cuma buar pelampiasan. Bukannya move on, tapi malah susah lupain mantan plus nyakitin cewek lain juga.” Si sopir membalas tanpa sungkan.
“Nah, kan? Itu dia! Makannya sayang banget tuh kalau lepasin cewek kayak begitu. Jarang-jarang kan ada cewek yang bisa ngasih pengaruh baik ke kita.”
“Patut diperjuangkan sih kalau ada cewek kayak gitu, Mas. Jangan sampai lepas!”
Wajah Mahira terasa panas sekali. Meski Andra tak menyebutkan siapa nama cewek yang tengah dibicarakan, ia bisa menerka kalau yang dimaksud itu adalah dirinya.
Bukan geer yah, tapi ini berdasarkan rangkaian cerita yang diurai oleh Andra. Itu jelas persis seperti menceritakan dirinya yang memang sampai sekarang selalu menolak pernyataan cinta Andra.
Ketika Andra menyebutnya sebagai cewek dengan pengaruh baik, Mahira cukup terkejut mendengar fakta itu. Ucapan Andra tentang ia yang hanya mempermainkannya saat bicara di depan Zahra juga dengan saat ini begitu bertolak belakang, bukan? Ia tak tahu harus percaya yang mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomansaMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...