Bab 82 Kepikiran Jadinya!

122 7 0
                                    


Giliran jauhan … kepikiran. Pas deketan … maunya ngejauh. 

Jarak duduk antara Mahira dan Andra di kapal bisa dibilang tak terlalu jauh, tapi tak terlalu dekat juga. Seperti biasa saja karena memang Mahira selalu menolak duduk di samping laki-laki, mau itu Andra atau siapa pun itu. Anehnya, mata Mahira sulit sekali berpaling dari Andra. Sepanjang perjalanan pulang kembali ke pulau, ia macam mata-mata yang mencuri pandang ke arah targetnya.

Sempat satu kali matanya dan mata Andra bersirobok. Lalu lelaki itu melemparkan senyum dari kejauhan. Ya Tuhan … manis sekali sampai membuat Mahira kesulitan berkedip. Kalau bukan karena interupsi dari Pak Supri kalau kapal akan segera berlabuh, mungkin Mahira akan terus menatap Andra sampai tak sempat berkedip macam orang bodoh.

“Loh? Pada ke mana nih yang lain? Kok gelap-gelap begini?” tanya seseorang yang sudah lebih dulu keluar dari kapal menuju dermaga.

Mahira baru menyadari keanehan itu setelah ia keluar dari kapal juga. Lampu-lampu cottage tak menyala yang membuat pulau tampak gelap gulita. Tak ada satu cahaya pun tampak baik dari kejauhan maupun dari dekat. 

Para karyawan yang baru saja turun dari kapal serempak menyalakan senter dari ponsel mereka. Berjalan beriringan satu sama lain termasuk Mahira yang baru sadar kalau Andra berjalan di sampingnya. 

Terkejut bukan main tentu saja. Sampai Mahira tak bisa berkata apa-apa ketika lelaki itu berbisik, “ini mirip kayak adegan horor gak sih, Ra? Setuju gak kalau tempat ini jadi lokasi syuting film?”

“Kenapa? Takut?”

“Idih! Enak aja! Kamu kali yang takut kegelapan. Aku sih biasa aja. Tapi … kok aneh, yah? Ke mana orang-orang? Kalau mati lampu begini harusnya mereka ribut dong? Atau ngumpul di dermaga gitu buat nyari bantuan? Iya, gak?”

Mahira jadi ikut-ikutan merasa aneh setelah mengamati sekitar pulau. Memang begitu sepi. Padahal ada beberapa karyawan yang memang tinggal di pulau sementara yang lain menikmati jatah liburan mereka. Ini terlalu ganjil sampai membuat Mahira ketakutan untuk terus melangkah.

“Serem deh! Aku gak mau lanjut jalan ah. Coba teriak atau apa gitu buat manggil yang ada di pulau. Mereka pada ke mana coba?” kata seseorang yang entah siapa.

“Gimana kalau kita tunggu aja sampe lampunya nyala? Kali aja mereka udah tidur gitu sampe gak sadar kalau lampu di pulau mati.” Yang lain juga ikut menyahut. Memberikan pendapat.

“Masa sih sampe segitunya? Ini kan baru pukul tujuh malam. Gak mungkin lah semua orang tidur sampe gak ada yang nyadar mati lampu massal begini.” 

Suasana semakin tegang ketika yang lain juga ikut-ikutan bersuara.

“Ya, terus gimana dong! Masa iya kita cuma diem doang begini di sini?”

“Ada yang berani teriak, gak?”

Hanya bisik-bisik yang terdengar. Masing-masing hanya berani berbicara pelan pada orang di dekat mereka, termasuk Mahira yang memilih bungkam juga. Sama-sama takut.

“Ra!” tegur Andra sambil menyenggol lengan perempuan itu. “Ayo teriak!”

“Kok aku sih?” protes Mahira tak terima diperintah begitu oleh Andra.

“Kan kamu manager di sini. Kamu harus beresin masalah ini sekarang juga. Masa iya mau diem kayak karyawan lain? Kasihan tuh mereka!”

Mendengar perkataan Andra, spontan orang-orang yang berada di sana melirik pada Mahira. Nyaris semuanya. Nyala dari senter ponsel mereka pun serempak menyorot padanya yang tentu saja membuat Mahira begitu terintimidasi. Ditumbalkan secara paksa untuk mengambil tindakan sementara hati kecilnya berteriak ketakutan juga.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang