Bab 129 Apanya Yang Ribet Coba?

156 4 1
                                    

“Gagal! Semuanya gagal total!”

Muel mengangguki gerutuan Andra dengan senyum tipis. “Jangan gitu dong, Mas Chef. Mending positif thingking aja dulu. Namanya juga persiapan pernikahan. Bukan hal yang mudah. Apalagi Mas Chef sama Mbak Mahira sendiri yang ngurusin. Pastinya pusing banget!”

“Gimana gue bisa positif thingking kalau jadinya ribet begini? Mana baju aja belum pasti mau pake yang mana.”

Kalau mengingat kejadian tadi, rasanya Andra ingin sekali mengomeli kekasihnya itu. bukan tanpa alasan, tapi karena Mahira terlalu banyak protes ketika disodorkan beragam model baju pernikahan. Ada saja hal yang tak sesuai keinginannya. Memang dia mau model baju seperit apa sih?

“Cewek tuh ribet yah! Maunya apa coba? Segitu banyaknya model baju pengantin yang bagus, adaaaa … aja yang gak sesuai. Kekecilanlah, kegedeanlah, inilah, itulah, aaarrrrggghhh!!! Repot pokoknya! Untung cinta. Kalau enggak, udah gue tinggal tuh si Mahira di butik.”

“Mungkin Mas sama Mbak butuh waktu buat liburan dulu tanpa mikirin persiapan pernikahan. Coba deh ngobrolnya pas situasi yang lagi tenang. Ketemu bukan cuma buat ngurusin pernikahan, tapi juga ngobrol dari hati ke hati.”

“Apa hubungannya coba persiapan pernikahan sama ngobrol dari hati ke hati?”

“Ada dong! Coba aja deh! Percaya sama gue. Gue punya banyak cerita dari orang-orang yang udah nikah, Mas Chef. Dan itu juga alasan gue lebih betah ngejomblo daripada punya pasangan. Persiapan nikah itu menguras mental dan fisik, Mas!”

Andra tak menampik karena itu juga yang tengah dirasakan olehnya sekarang. Masalahnya terlihat sepele, tapi entah kenapa sulit sekali memecahkannya. Baju pernikahan untuk acara akad, resepsi, sampai pesta malam harinya belum juga mendapatkan titik terang. Menu makanan, souvenir, bahkan sampai akomodasi untuk para tamu yang diundang rupanya bukan hal yang mudah untuk diselesaikan. Belum lagi karena tempat acara berada di Pulau Ampalove. Bukan hanya Andra saja yang repot, tapi juga Mahira. Keduanya memiliki tugas masing-masing dalam persiapan ini, tapi persiapannya masih saja terkendala banyak masalah.

“Apalagi kalian mau nikah di Pulau Ampalove. Iya sih acara nikahannya emang bakal privasi banget. Tapi, mikir aja deh gimana repotnya ngurusin semua hal itu, Chef. Gue sih ngebayangin gimana repotnya mikirin menu makanan buat para tamu aja udah ngeri. Belum lagi tempat nginep sampai tek-tek bengek lainnya. Kasihan Mahira loh, Mas Chef! Dia itu manager di pulau, kan? Secara otomatis dia ngurusin lebih dari lima puluh persen dari persiapan pernikahan! Mana dia harus bolak-balik keluar-masuk pulau cuma buat fitting baju dan ngurusin souvenir nyampe seserahan. Itu bukan hal yang mudah loh, Mas! Gue malah kasihan sama Mahira. Dia pasti stres banget!”

Andra termenung mendengarkan penuturan Muel. Seolah tersadar jika ada hal penting yang terlewat olehnya. 

“Anjir! Kenapa gue gak kepikiran ke sana, Mu? Sumpah! Gue bener-bener gak kepikiran!” umpat Andra.

“Karena elonya terlalu senang bisa nikah sama orang yang lo kejar-kejar. Sampe lupa kalau tindakan lo itu udah nyakitin dia. Makannya gue bilang tadi juga apa. Kalian berdua perlu ngobrol berdua dalam situasi yang tenang. Ngobrol dari hati ke hati. Kalau ketemu itu jangan cuma ngurusin persiapan nikahnya gimana, apanya yang kurang, tapi coba obrolin juga kesiapan kalian menghadapi pernikahan itu kayak apa. Itu yang paling penting, Mas Chef! Kesiapan lo sama Mbak Mahira. Bukan persiapan mewahnya gedung, resepsi, atau seberapa banyak tamu undangan yang bisa kalian undang.”

Ah, sialan! Andra jadi merasa bersalah seperti ini jadinya. Mana tadi ia dan Mahira berpisah dalam keadaan yang canggung sekali. Fitting baju batal semuanya. Persiapan pernikahan di pulau pun tak sempat Andra tanyakan. Ia sudah kepalang jengkel karena Mahira yang tak menemukan gaun pernikahan yang cocok. 

Belum lagi masalah bagaimana mereka akan hidup setelah menikah nanti. Akan hidup bersama atau terpisah? Kalau bersama, mereka akan tinggal di mana? Masa iya Andra beneran tinggal di pulau dan jadi pengangguran? Begitu?

“Ah! Sial! Kenapa juga sih dia gak mau resign setelah menikah?” gerutu Andra. “Itu artinya dia ingin kita berhubungan jarak jauh setelah menikah, kan? Gue gak mau LDM setelah nikah. Mana mau gue ngalamin hubungan pernikahan jarak jauh begini. Pacaran jarak jauh saja sudah menyiksa, apalagi udah nikah terus harus berhubungan jarak jauh? Yang bene raja dong! Buat apa nikah kalau kayak gitu?” 

Semua serba ambigu. Sampai rasanya Andra tak tahu lagi harus bagaimana mengatasi masalahnya dengan Mahira yang seolah tak berujung. Pernikahan sudah di depan mata, namun masalah demi masalah malah terus bermunculan. Malah semakin bertambah kalau Andra boleh jujur.

Ah, sial! Apa Andra batalkan saja pernikahannya dengan Mahira? Kenapa rumit seperti ini sih jadinya?

***

Mahira menangis tergugu dengan Citra berada di dekatnya. Mengelus punggungnya demi membuatnya tenang. Ia tak tahu sejak kapan Mahira seperti itu di ruang kerjanya. Mungkin kalau bukan karena keisengan Citra ingin mengajak Mahira makan bersama untuk mencari tahu sejauh apa persiapan pernikahannya dengan Andra, Citra juga tak akan pernah tahu apa yang sedang dialami Mahira sekarang.

“Udah, Mbak. Udah. Percuma nangis juga. Gak akan bisa balikin Mbak ke toko gaun pengantin itu lagi kok. Sekarang udah malem. Mbak bisa balik ke kota besok. Minta izin sama Pak Satya.”

“Aku gak mungkin izin terus keluar pulau buat ngurusin ini, Cit? Malu! Pak Satya bisa ngira kalau aku lalai mengerjakan tanggungjawabku sebagai manager di sini. Aku gak mau sampai kena pecat dengan cara tak terhormat!”

“Terus maunya Mbak sekarang gimana? Kenapa juga sih Mbak bikin ribet diri sendiri? Gaun pengantin yang sempurna itu gak akan pernah ada. Segala sesuatu itu selalu ada kelebihan dan kekurangan. Bukan cuma kelebihannya aja. Mbak juga bukan Putri kerajaan ini kok! Gak usah sok perfect makannya! Mentang-mentang dapetinnya Chef ganteng,” sudutnya.”

Mahira langsung mendongak mendengar perkataan Citra barusan. “Kok kamu ngomongnya gitu sih?”

“Ya … karena Mbak emang ribet.” Citra berkata jujur tanpa takut. “Menu makanan gak boleh ginilah, akadnya harus gitulah, tamu undangan cowok dan cewek yang bukan mahrom harus diisolasilah, dan maaasih banyak lagi aturan Mbak yang menurutku ribet!  Bikin pusing karyawan juga tahu! Mending kayak pernikahan yang udah-udah aja kali, Mbak. Gak neko-neko! Yang penting akad terlaksana dan tamu undangan nyaman. Udah! Gitu juga beres! Gak usah tambahin aturan ini dan itu lagi. Bisa kali Mbak berkaca sama pelanggan yang ngadain pernikahan di sini? Ribet, gak?”

“Tapi, aku maunya beda, Citra. Aku gak mau acara nikahanku sama kayak pelanggan yang udah-udah!” Mahira bersikeras. Usulan Citra tak sesuai dengan apa yang diinginkannya.

“Ini nih yang bikin ribet! Mbaknya sih yang udah ribet! Ya udah sih terserah Mbak. Kalau kayak gini terus, aku jamin pernikahannya Mbak gak akan terlaksana. Terancam batal!” Citra sampai mengancam segala saking jengkelnya.

“Kok kamu doainnya gitu sih?”

“Habis Mbaknya susah dikasih tahu! Ribet!”

Mahira sampai terperangah kaget mendengar gerutuan Citra. Ia yang tadinya menangis bukan malah terhibur, tapi malah semakin ingin menangis.

Aaaarrrrggghhh!!!

Rasanya ingin sekali Mahira berlari kencang dan menghilang saja dari dunia ini. Seharian ini perasaannya kacau balau karena Andra. Sekarang Citra malah menyudutkannya juga. Seolah Mahira membuat kesalahan yang begitu besar saja.

Memang apa salahnya kalau ia ingin mewujudkan pernikahan sesuai impiannya selama ini?

Apa ribetnya sih?

Toh semua keinginannya sudah sangat terperinci. Entah itu masalah konsumsi selama acara, berlangsungnya harus seperti apa, sampai hal-hal kecil seperti tempat bagi para tamu pun sudah Mahira rancang dengan terperinci. Karyawannya hanya tinggal melaksanakannya saja kok.

Apa ribetnya coba?

Enggak, kan?

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang