Mahira dan Zahra duduk saling berdampingan, berpose sesuai arahan fotografer yang tengah mengarahkan kamera pada mereka. Gaun merah muda yang dikenakan Mahira tampak senada dengan warna dekorasi ruangan itu. Selama sesi pemotretan itu pula, perempuan berhijab itu harus mati-matian menahan gemuruh di dadanya setiap kali Zahra bicara.
“Jangan salahkan kakak kalau Galang lebih memilihku, Hira. Kamu pasti tahu alasannya kenapa dia berpaling darimu, kan?” sudut Zahra tanpa ampun. Ia tampak begitu semringah telah membuat adiknya mati kutu seolah Mahira telah melakukan kesalahan besar.
“Kamu juga jangan godain Galang, yah. Dia udah jadi milik kakak!” ancam Zahra.
Mahira sampai menahan napasnya beberapa saat, menoleh pada kakaknya yang tengah melemparkan senyum lebar padanya.
“Aku ikut bahagia kalau Kak Zahra bahagia,” kata Mahira sambil memaksakan bibirnya terangkat.
Tepat setelah itu, fotografer memberikan isyarat sesi foto telah berakhir. Tanpa membuang waktu, Mahira langsung angkat kaki dari sana. Keluar dari ruang tunggu bagi pengantin.
Sebuah tangan tiba-tiba mencengkeramnya saat Mahira hendak menutup pintu ruangan itu. Wajah seorang wanita penuh garis kerutan menyambut dengan tatapan sayu.
“Mau ke mana, Hira?” tanya wanita itu, –Ibunya– Halimah. “Mempelai pria sudah sampai. Kamu harus dampingi kakakmu ke pelaminan.”
Suara Halimah terdengar berat. Tangannya tampak menyeka sudut mata dengan tisu, begitu hati-hati sekali. Mencoba menghalau air mata yang nyatanya tetap luruh juga
Mahira menghela napas berat lagi. Ia menoleh ke dalam ruangan lagi, melihat Zahra tengah tertawa lebar bersama teman-temannya. Berfoto bersama berbalut gaun pengantin yang begitu cantik.
Harusnya aku yang memakai gaun itu, Kak. Harusnya aku yang ada di sana, racau batin Mahira.
Mahira menoleh pada Bu Halimah dengan mata basah. “Harus Mahira yah, Bu?” tanya Mahira. Terlalu berat tugasnya ini untuk ia laksanakan. Enggan rasanya terlalu dekat dengan Zahra meski hanya beberapa menit sekali pun. Kalau bukan karena terpaksa, Mahira juga enggan berfoto bersama dengan Zahra tadi.
Halimah memeluk Mahira, mengelus punggung anaknya itu dengan penuh penekanan. “Maafkan Ibu, Hira. Maafkan Ibu ….”
Mahira menutup mata sejenak. Sudah ke sekian kalinya ia mendengar ucapan maaf dari ibunya. Kalau tak salah, sejak sebulan yang lalu. Setiap kali Mahira bertemu Halimah, hanya kata maaf yang meluncur dari mulut wanita itu. Menyesakkan dada mendengarnya. Bukan kata maaf yang ingin Mahira dengar.
“Bukan salah Ibu.” Mahira menarik tubuh Ibu agar pelukan mereka terlepas. “Semua yang terjadi adalah takdir Allah.” Mahira berusaha tetap terlihat tegar meski isi hatinya nyatanya begitu tercabik-cabik.
Halimah semakin tak bisa menahan tangisannya mendengar perkataan Mahira. Besar rasa sesal yang menumpuk di dadanya, tapi ia juga tak bisa mengulang keputusan yang sudah diambil.
“Kamu pasti tahu, Nak. Ibu juga terpaksa merestui pernikahan Zahra dengan Galang. Mau bagaimana lagi?” Halimah bukan bermaksud membela diri, tapi juga memberikan penjelasan masuk akal pada Mahira agar pernikahan ini tak menjadi bumerang di kemudian hari. “Kamu harus merelakan Galang. Dia sudah memilih Zahra. Ibu yakin! Kamu pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Galang, Hira.”
Halimah jelas tak bisa membenci Zahra meski ia sudah merebut kekasih adiknya sendiri. Entah bagaimana ceritanya semuanya bisa terjadi. Mau bagaimana pun, Zahra juga anaknya. Mahira juga anaknya. Dua-duanya ia sayangi.
Mahira hanya mengangguk, mengamini dalam hati. Meski di sudut hatinya yang lain ia tak berhenti merutuk kesal. Putus asa. Tak berdaya rasanya.
Panggilan untuk mempelai pengantin memutus percakapan itu. Halimah diantar seseorang ke ruang acara utama, sementara Mahira dengan berat hati harus kembali ke dalam ruangan tempat Zahra berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
عاطفيةMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...