Bab 95 Aku Mau Dirindukan Juga

127 8 0
                                    

Tangan Andra mengetuk-ngetuk badan meja ketika seorang wanita susah payah berjinjit-jinjit mencoba menyentuh setiap helai ujung rambutnya. Ia yang tadinya hanya bergeming, melirik sekilas pada si wanita yang tampak mendongakkan dagunya cukup tinggi. Ia menatap tak acuh dengan spontan menekuk dua kakinya. Si wanita tampak terkejut karenanya, berhenti menyisir anak-anak rambut Andra yang menurutnya berantakan.

“Te—terima kasih,” kata wanita itu tergagap sambil tersenyum malu. Lalu ia kembali menyisir rambut Andra mulai dari area depan sampai belakang.

“Saya lebih suka berpenampilan apa adanya, Mbak. Sepertinya dari tadi rambut saya ini sudah Mbak Yuni rapikan? Kenapa sekarang malah dirapikan lagi? Rambut saya gak lari-lari kok!”

Wanita yang akrab disapa Mbak Yuni itu terkikik. “Bukan karena rambutnya lari-lari Chef, tapi agar Chef bisa terlihat tampan nanti di depan layar.”

Andra mendesah berat. “Saya pikir pekerjaan di depan layar televisi hanya cukup siap memasak saja. Ternyata harus tampan juga, yah? Apa jangan-jangan saya terpilih menjadi pengisi acara ini karena ketampanan saya, bukannya bakat saya dalam memasak?”

Andra melirik Yuni yang sudah berhenti menyisir rambutnya, menatap penuh sinis. Yang ditatap jelas salah tingkah, langsung mengerlingkan mata untuk menghindar.

“Itu … saya tidak terlalu tahu, Chef. Tugas saya hanya di bagian makeover artis saja.”

Yuni ketakutan sekaligus salah tingkah. Baru kali ini ada orang yang mau menatapnya begitu dekat. Meski tatapannya sinis, tapi ini langka. Karena kebanyakan mereka menghindari kontak mata dengannya yang sering diejek ‘si gendut.

“Syuting akan segera dimulai!” 

Teriakan lantang itu memaksa Yuni menjauh dari Andra. Sesekali mencuri pandang, setelah itu buru-buru berpaling. Andra yang dari kejauhan memerhatikan hanya mampu membalas tatapan wanita itu dengan wajah kusut. Bukan karena benci atau tak suka diperhatikan, tapi kesal.

Orang asing saja yang baru pertama kali bertemu dengannya, pasti menunjukkan gelagat tertarik. Jelas! Itu karena ketampanan yang ia punya. Tapi, entah kenapa, ini tak berlaku untuk Mahira yang sudah hampir satu minggu ini tak ditemuinya. Kenapa sejak awal bertemu Mahira nyaris tak menunjukkan ketertarikan pada ketampanannya seperti wanita lain?

“Oke! Camera on … action!”

Andra menarik dua ujung bibirnya, menampilkan gigi-gigi putih dengan dua bola mata berbinar penuh bahagia. Matanya awas menatap aba-aba dari produser yang tengah mengarahkan jalannya syuting. Ia harus menunjukkan raut wajah baik-baik saja di depan kamera.

Memasak memang bukan hal aneh untuk Andra, tapi melakukannya di depan kamera adalah hal baru untuknya. Belum lagi acara ini akan disaksikan langsung oleh banyak pasang mata. Sudah pasti ada rasa gugup menyeruak sepanjang rekaman pertama dilakukan, meski ini bukan acara yang akan disiarkan secara live.

“Kau pasti bisa, Andra! Tetap tenang. Ini impianmu! Kamu tak boleh membuatnya kacau balau!”

Setiap ada kesempatan, Andra sering merapal doa itu. Sedikit bisa mengurangi rasa gugupnya. Mengingat Mahira pun jadi salah satu pemicu ia bisa mengatasi syuting pertamanya dengan baik. Masakan yang ia buat sukses membuat seisi ruangan menganga lebar, tergiur oleh tampilan masakan yang terpampang di layar, juga aroma yang tiba-tiba menguar di seisi ruangan itu.

“Sampai jumpa kembali di Andra Corner minggu depan! Bye!”

“Cut!”

Tepuk tangan meriah menggema diseisi ruangan. Andra menghela napas panjang karenanya. Berbondong-bondong staf di sana mengerubungi, satu per satu mulai mengelilingi hasil olahannya yang tersaji di meja.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang