Bab 74 Mereka Pasti Jadian!

168 5 0
                                    


“Semua gara-gara kamu, Hira! Gara-gara kamu kapal kita tenggelam!”

“Kenapa kamu malah nyalahin aku? Kamu sendiri yang salah malah bawa aku kabur begini!”

“Aku bawa kamu ke sini buat jauhin kamu dari si Galang sama si Zahra yang kamu bilang udah nyakitin kamu. Bukannya terima kasih karena udah ditolongin, malah bikin kapalku tenggelam! Ganti rugi!” Andra menengadahkan tangan ke arah Mahira. “Aku gak mungkin bilang ke kakek kalua kapal pemberiannya tenggelam setelah dipake sekali!”

“Enak aja! Salah kamu sendiri gak bisa bawa kapal yang bener.” Mahira jelas tak mau disalahkan, apalagi sampai harus ganti rugi segala. Ia juga sadar diri tak mungkin mengganti kapal Andra yang tenggelam itu. Gajinya sebagai manager di pulau beberapa bulan ini pasti tak cukup membayarnya. “Gara-gara kamu gak becus bawa tuh kapal, aku hampir saja mati tenggelam di tengah laut.”

“Tapi, kamu selamat kan sekarang? Kamu baik-baik saja kan sekarang? Kamu masih hidup kan?” bentak Andra dengan nada tinggi. “Lihat kapalku di sana! Dia udah tenggelam! Gak selamat! Gak baik-baik aja! Gak hidup lagi! Mati total!”

Mahira sampai berjengit karena bentakan Andra yang penuh nada penekanan. Ia hanya bisa memalingkan wajah sambil menelan rasa malu sekaligus jengkel pada Andra. Mahira tak menampik kalau kapal tenggelam itu juga kesalahannya juga. Tapi, Andra juga berkontribusi penuh dalam insiden ini. 

“Ya, terus mau kamu apa sekarang? Kamu pengen aku mengaku salah, kan? Ya, udah! Aku yang salah. Aku salah udah bikin kapal kamu tenggelam. Puas?” bentak Mahira dengan nada tak kalah tinggi. 

Andra jadi serba salah karena pengakuan Mahira barusan. Ia tak mengira jika Mahira akan menyerah begitu saja tanpa perlawanan lagi. Padahal Andra pikir perempuan itu akan susah payah membela dirinya agar tak disalahkan. Tahunya, Mahira malah mengaku salah secara sukarela.

Andra membuang napas jengkel. “Tahu ah! Terserah kamu saja! Percuma juga kamu mengaku salah karena itu gak akan bisa bikin kita keluar dari pulau ini.”

“Kamu duluan tadi yang nuduh aku ini dan itu. Daripada terus berantem yah mending aku ngaku salah aja.”

“Oh … jadi kamu gak tulus ngaku salahnya? Terpaksa? Gitu?”

“Udah ah! Kamu sengaja ngajakin aku berantem? Dengan kita berantem sekali pun, gak akan mengubah fakta kalau kita berdua terjebak di pulau ini sekarang. Sore hari! Artinya bentar lagi malem! Kamu mau kita nginep di sini? Huh!”

Andra mengacak-acak rambutnya frustrasi. Alih-alih mendapatkan solusi, pertengkaran itu malah berujung buntu. 

“Tolooong!!!” Tiba-tiba saja Andra berteriak nyaring. “Woooy!!! Tolooong!!! Di sini ada yang tersesaaat!!! Woooy!!!”

Wajah Mahira seketika kusut. “Kamu teriak sama siapa? Ikan paus? Kamu pikir mereka paham bahasa kamu kayak si ikan Dori?”

“Usaha dulu, Hira. Mana tahu di kejauhan sana ada kapal lewat mungkin?”

“Mana bisa suara kamu kedengeran sampe tengah lautan, Andra!”

“Sok tahu! Emang kamu pernah nyobain?”

“Enggak!”

“Jangan ngawur dong! Kalau belum pernah nyobain, jangan asal bikin pendapat. Itu tuh namanya ngarang bebas bukannya bicara fakta.”

“Yah mikir aja kali! Suara kenceng kamu emang bakalan kedengeran sejauh itu? Suara deburan ombak di tengah lautan aja kenceng banget. Mana bisa suara teriakan kamu kedengeran sampe lautan lepas sana! Mikir dikit dong pake logika!”

Bibir Andra manyun. “Yang penting aku udah usaha biar kita cepet-cepet keluar dari pulau ini! Ketimbang kamu cuma ngomel doang dari tadi.” Ia bangkit dari duduknya sebelum kemudian berjalan menuju jembatan.

Mahira yang tadinya enggan mengekori, seketika lari terbirit-birit saat sadar bahwa dirinya saat ini sedang sendirian di depan rumah tak berpenghuni itu. Belum lagi suasana senja semakin meredup saja. Semakin membuat suasa rumah itu menakutkan untuk ditinggali.

“Andraaa!!! Tungguiiin!!!”

Mendengar teriakan Mahira, Andra sengaja mempercepat larinya. Meninggalkan Mahira yang baru beberapa langkah menjauh dari rumah kosong itu. Ia tahu kalau Mahira pasti sedang ketakutan dan ingin menyusulnya. Maka dari itu ia sengaja membuat Mahira semakin takut sampai perempuan itu lari tunggang-langgang menghampirinya.

“Takut?” Andra hendak meledek Mahira yang semakin mendekat ke arahnya. Tapi, perempuan itu bukan malah berhenti di depannya melainkan terus lari melewatinya dengan cepat. “Hey, Hira! Mau ke mana kamu?”

“Heeeeyyy!!!” teriak Mahira lantang tiba-tiba. Perempuan itu berlari di atas jembatan kayu sambal mengangkat dua tangannya tinggi-tinggi ke udara. “Tolooong!!! Heeeey!!!”

Andra baru tersadar ke mana Mahira berteriak barusan. Samar-samar ada sesuatu dari tengah lautan sana bergerak-gerak dan yang pasti itu bukan lumba-lumba yang tengah beratraksi. Andra yang semula tak peduli akan benda apa yang bergerak secara perlahan mendekati mereka berubah antusias ketika menyadari bahwa itu sebuah kapal.

“Woooyyy!!! Kita di siniii!!!” Andra tak mau kalah. Ia ikut berteriak dengan semangat pada kapal yang mulai menampakkan diri sore itu.

“Ada kapal, Dra ….” Mahira berkaca-kaca dengan perasaan lega. Ia sampai tak sadar sudah menggamit lengan Andra begitu erat sampai lelaki itu termangu karenanya.

“I—iya, Hira. Mungkin itu Pak Supri,” kata Andra tergagap.

“Terserahlah! Siapa pun itu, aku bener-bener lega pokoknya. Kita akan pulang, Andra! Kita pulang!”

Mahira tampak begitu bersemangat. Wajahnya yang kusut tadi kini tampak lebih berbinar dan penuh rona bahagia. Andra tak protes pada Mahira yang masih betah menggamit lengannya cukup erat. Ia malah bersyukur melihat perempuan itu tampak bahagia sekarang.

Dan benar saja. Ternyata itu kapal milik Pak Supri yang akhirnya berhasil menemukan keberadaan Andra dan Mahira setelah tak menemukan mereka di Pulau Palapalove. Kalau bukan karena Pak Satya yang ngamuk sampai mengancam akan memecat mereka, mungkin Yogi dan Randu juga tak akan mau susah payah mencari. Mereka lega tapi juga khawatir bukan main melihat dua orang hilang itu rupanya ada di pulau tak berpenghuni yang tak jauh dari Ampalove.

Andra dan Mahira bersamaan mendekat. Begitu juga Yogi dan Randu yang turun dari kapal yang ternyata ada Citra juga di sana. Mereka berlari menghampiri dua orang yang tampak tertatih mendekat. Susah payah melangkahkan kakinya yang sudah kepayahan.

“Bro, lo tuh—“

Kalimat Yogi terhenti tepat ketika dua bola matanya menangkap Mahira yang tengah menggamit lengan Andra saat mereka saling mendekat. Yogi jadi salah tingkah sendiri. Ia jadi batal mendekati Andra dan Mahira yang tentu saja membuat Randu dan Citra yang berada di belakangnya keheranan.

“Kok lo malah berhenti sih, Yo?” protes Randu yang langsung mendorong Yogi untuk minggir.

“Yogi! Randu!” Andra memanggil nama dua sahabatnya dari kejauhan.

“Citra!” Mahira meneriakkan nama itu saja yang sudah cukup membuatnya bernapas lega saat melihatnya.

Tepat ketika Randu dan Citra hendak mendekat, langkah mereka juga sama-sama langsung terhenti ketika menangkap Mahira yang menggamit lengan Andra.

“Gue bertaruh kalau mereka jadian!” bisik Yogi dari arah belakang.

“Aku juga.” Citra ikut-ikutan sampai membuat Randu menatap keduanya bergantian dengan wajah heran.

“Kok malah jadi taruhan begini sih?”

“Kalian tahu kalau kita di sini?” 

Andra mengeterupsi percakapan ketiganya. Ia berhasil mendekat dengan masih membiarkan Mahira menggamit lengannya. Wajahnya tampak begitu semringah yang begitu kontras dengan pakaiannya yang dipenuhi pasir pantai. Kotor dan lusuh.

“Akhirnya kalian dateng juga. Aku pikir kalian gak bakalan nemui kita di sini. Iya gak, Dra?”

Mahira mendongakkan kepalanya ke arah Andra dengan senyum mengembang.

Yogi, Randu, dan Citra yang melihat hal itu hanya bisa terbengong-bengong dengan isi pikiran yang sama.

Mereka pasti jadian.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang