Cilla berdecak. Setiap kakinya melangkah, akan ada mata-mata yang mengamatinya serta bisik-bisikan kecil yang membuat Cilla yakin mereka sedang membicarakan dirinya. Sialan! Malu! Malu! Malu! Entah sampai kapan Cilla harus menanggung rasa malu ini, masalahnya ini sudah seminggu setelah semuanya terjadi tapi sepertinya ketenarannya bukannya meredup malah meluap.
Saat ini video yang dibagikan mengenai dirinya didalam sudah di share sebanyak empat puluh tiga ribu kali dengan satu koma lima juta tayangan dan tiga ratus ribu komen. Sial! Bukan hanya berhenti disana, netizen-netizen kreatif mulai menjadikan remix suara tangisannya. Orang-orang sudah gila, atau malah Cilla yang akan segera menjadi gila?
Cilla menutup wajahnya dan berjalan menuju lift. Ia membuang nafas lega saat dilihat, Lift sedang dalam keadaan kosong.
Cilla langsung menggeser dirinya saat lift kembali terbuka, sungguh. Bukankah biasanya kita akan jarang bertemu dengan seorang direktur? Kenapa Cilla sering sekali bertemu dengan Januar?
“Selamat pagi, pak!” Ujar Cilla dengan senyuman kapitalisnya. Januar mengangguk. Menoleh sekilas ke Cilla dan masuk kedalam lift, bersama dengan Zachri di sisinya.
“Sudah sarapan pak?” Basa-basi Cilla. Bukan Januar yang membalas, malah Zachri yang menjawab. “Kenapa mba? Mba mau traktir?” Tanya Zachri. Cilla tersenyum, “Boleh kalau bapaknya mau.” Ujar Cilla.
Januar menggeleng, “Terima kasih. Saya sudah sarapan tadi. Kamu tidak turun?” Cilla mengangguk dan turun di lantai tempatnya bekerja. Sebelum bisa mengatakan apapun, lift sudah tertutup kembali. Cilla bingung, Januar yang terlihat hangat kemarin mendadak menjadi dingin kepadanya. Apa yang terjadi? Apa es krim yang mereka makan kemarin juga membekukan sikap Januar terhadapnya?
Cilla meraih ponselnya yang kerap berdering sejak tadi. Mama Ningsih lagi. “Halo ma?”
“Sayang, kamu gimana kabarnya?” Tanya Ningsih dari seberang. Cilla memijat pelipisnya pusing. “Mama baru aja nanya kabar aku semalam ma, puji tuhan pagi ini dan seterusnya pun cilla berniat baik-baik saja.” Jawab Cilla. Bukan ketus, tapi ini sudah panggilan ke empat puluh dua pada minggu ini.
Setelah mengetahui Cilla putus dari Devan, Ningsih khawatir sekali makanya ia kerap menelepon Cilla, Cilla berterima kasih tentu saja karena Ningsih mengkhawatirkannya tapi yang benar saja? Cilla lelah sendiri jadinya.
“Sudah sarapan nak?” Tanya Ningsih. Cilla tersenyum. Ya bagaimanapun, Ningsih menelponnya terus karena tidak ingin Cilla sedih.
“Bentar lagi ma. Mama sudah?”
“Uda sayang. Papa panen selada jadi sama bi ayi di tumis deh. Sudah sampai kantor?” Tanya Ningsih.
“Uda panen ya. Cepet juga. Ini cilla udah dikantor ma, cilla tutup ya.” Ucap Cilla.
“Yauda, jangan lupa harus tetap sarapan ya sayang. Makan ya. Mama sayang kamu!” Cilla mematikan ponselnya setelah menyelesaikan percakapan dengan ucapan yang sama kepada Ningsih. Cilla tersenyum melirik layar ponsel.
“Pagi.” Ujar Cilla berjalan menuju kubikelnya. Aneh. Suasana kantor hari ini kurang menyenangkan. Mereka terlihat melirik satu sama lain dengan tidak nyaman.
“Pada kena--” Kalimat yang ingin di lontarkan Cilla terpotong saat ia melihat seorang pria yang sedang duduk di kursinya. Pria itu berdiri. Cilla menatap pria didepannya ini dengan tatapan murka.
“Ngapain kamu kesini?” Cilla menyilangkan kedua tangannya didepan dada dan menatap Devan yang tersenyum teduh. Sebuah senyuman yang pernah membuat Cilla jatuh cinta sejatuh-jatuhnya itu kini terasa tidak begitu spesial lagi. Kenapa ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. & Mrs. Brijaya ✔️
عاطفية[[E N D!]] Dijuluki Gadis Tangisan Aspal karena menangis seperti anak kecil di depan umum agar pria dihadapannya ini mau merelakan pacarnya membuatnya menjadi bual-bualan dan meme nasional. Hah? Maksudnya? Cecilla Kinanti. Gadis berumur dua puluh...
