Mesin Waktu

539 110 12
                                    

Most requested, Nicole. Karena cerita Kinal-Nicole di lapak sebelah cukup berat, jadi kita bikin yang santai aja dulu. Semoga cerita di lapak sebelah segera berlanjut.
_____________________________

Samar-samar kudengar suara di sekitar, membuatku perlahan membuka mata. Semuanya masih terlihat samar beberapa saat, sampai kulihat sebuah tangan melambai tepat di depan wajahku. Perlahan penglihatanku mulai jelas.

"Dia udah sadar!" Satu persatu, wajah-wajah asing mulai berdatangan. Ada dua, ah tidak, tiga orang perempuan sedang menatapku bingung.

"Lo nggak apa-apa?" Tanya salah satu di antaranya. Pikirku, kenapa ia menanyakan itu padaku? Memangnya aku kenapa? Lalu sesaat kusadari aku sedang tergeletak, di samping sebuah mobil yang barangkali milik salah satu di antara mereka.

Mereka menuntun begitu aku hendak duduk, masih sama bingungnya dengan tadi. "Lo baik-baik aja kan?" "Lo abis dicopet? Atau diculik trus dibuang di sini?" Lagi-lagi aku dihujani pertanyaan konyol. Tapi melihat ekspresi mereka, apa benar aku diculik lalu dibuang di sini? Kulihat seluruh tubuhku, tak ada yang salah, tak ada juga tanda-tanda aku telah dianiaya atau semacamnya. Apa aku pingsan? Atau aku benar-benar habis dicopet? Tak ada dompet dan ponsel di saku celanaku.

"Gue nggak tau kenapa bisa tiba-tiba di sini," kataku akhirnya. "Bisa pinjem hp lo nggak? Gue mau telpon bokap, minta jemput."

"Hp? Maksud lo wartel? Kita bisa anterin lo kalau mau, di deket sini ada kok." Perempuan yang memakai baju hitam itu menanggapi.

Aku terkekeh, lucu juga perempuan ini, padahal kami baru bertemu, sempat-sempat saja ia bercanda. "Emang masih ada wartel jaman sekarang? Ada-ada aja lo pada."

"Ya emang ada, kan orang-orang komunikasinya lewat telpon. Kalau buat umum ya wartel." Perempaun berbaju biru menanggapi.

Kali ini aku tertawa. "Kalau gitu minta tolong pesenin gue taksi online aja deh. Gue langsung balik ke apartemen aja."

"Maksud lo taksi online apa? Kalau mau taksi ya tunggu di pinggir jalan dulu, stop kalau ada yang lewat."

Kali ini aku berdecak, lama-lama candaan mereka tak lucu. Aku sudah ingin cepat-cepat kembali ke apartemen, tidur dengan nyaman. "Guys, please stop becanda deh. Lo pikir ini tahun sembilan enam apa. Come on, gue cuma mau minta tolong doang."

Ketiganya saling menatap bingung, lalu perempuan berbaju hitam itu menyentuh dahiku, dengan senyum kikuk ia berkata, "ini masih tahun sembilan tiga."

***

Berkali-kali aku mencubit diriku, berharap ini hanyalah sebuah mimpi, tapi nyatanya aku masih di sini. Terjebak bersama tiga orang asing yang menemukanku tergeletak di samping mobilnya. Kupikir mereka hanya bercanda, sampai akhirnya mereka bersedia mengantar ke apartemenku, dan tebak apa yang kutemukan. Lahan kosong. Benar-benar kosong.

"Serius deh.... Siapa nama lo?"

"Kinal."

"Ya, Kinal. Serius ini alamat apartemen lo? Itu yang ada cuma toko kelontong doang. Lo salah kali."

"Masa gue salah sih? Gue udah tiga tahun nempatin apartemen gue. Nggak mungkinlah alamatnya salah."

Aku turun dari mobil, coba bertanya pada laki-laki tua di toko kelontong itu.

"Bener kok neng, alamatnya ini. Mau cari aprtemen apaan? Di sini kaga ada apa-apa neng, cuma toko saya sama pangkalan ojek aja tuh," katanya, menunjuk pangkalan ojek tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku terpaku, mengamati segala hal yang ada di sekitarku. Radio tua milik laki-laki itu, jalanan yang tak begitu ramai, bentuk-bentuk motor dan mobil lalu berlalu lalang. Apa benar....

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang