Paid Love 18

830 150 28
                                    

"Emang harus banget pergi sepagi ini?" Rebeca memeluk tubuh polos Kinal lebih erat, membuat perempuan itu terkekeh karena pertanyaan yang terhitung sudah lima kali ia lontarkan.

Kinal tak menjawab, hanya mengusap lembut lengan kekasihnya itu. Mereka sudah bangun sejak setengah jam lalu, tapi tak juga beranjak dari kasur. Kasur yang nyaman dan cuaca mendung di luar membuat keduanya semakin betah berlama-lama.

"Aku bayar dua kali lipat gaji kamu, tapi hari ini kamu izin aja nggak usah kerja."

Kali ini Kinal tertawa, melepaskan paksa tangan kekasihnya itu. Tentu saja hal itu membuat Rebeca langsung berdecak kesal. "Kamu kan bukan lagi client-ku, ngapain harus bayar buat ngabisin waktu sama aku." Kinal memakai bathrobe miliknya. "Lagian kalau bisa milih juga aku pasti bakal milih ngabisin waktu sama kamu di sini seharian, jarang-jarang kamu ngambil libur tiga hari. Tapi kan aku harus kerja, nggak bisa dong ninggalin tanggungjawabku gitu aja."

Ucapan Rebeca tadi membuat Kinal tersadar hubungan mereka sudah sejauh ini. Hingga saat ini Kinal kadang masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Hubungan yang diawali dengan pertemuan kurang mengenakkan, hingga berkembang menjadi hubungan "kerja" yang membuat perasaan keduanya tumbuh tanpa disadari seiring dengan berjalannya waktu.

"I can find you another job yang lebih flexible dan lebih baik. Kamu nggak perlu pergi kerja lebih awal karena barang yang baru dateng atau pulang lebih larut karena harus lembur."

Kinal kembali duduk di kasur, membuat Rebeca menggeser tubuhnya lebih dekat dengan kekasihnya. "Kalau aku mau kayaknya aku udah minta ini dari dulu sama kamu. Tapi aku mau apa yang aku dapatkan merupakan hasil kerja kerasku sendiri, Re. Bukannya aku nggak hargain tawaran kamu, tapi aku ngerasa ini udah cukup. Selain itu, aku juga udah nyaman banget kerja sama bang Leo, Abim sama Fajar. Mereka udah kaya saudara buat aku."

Rebeca tak bisa mengelak hal-hal seperti ini membuatnya semakin jatuh hati pada perempuan di hadapannya itu. Ia yang tadinya memandang Kinal sebelah mata, akhirnya luluh. Perempuan itu kembali membangkitkan perasaan yang sudah lama tak dirasakannya. Perasaan yang ia pikir tak akan lagi bisa ia rasakan.

"Aku mandi duluan ya. Hari ini aku yang bikin sarapan, aku baru liat resep makanan kesukaan kamu di youtube kemarin." Kinal mengecup dahi Rebeca lalu masuk ke dalam kamar mandi.

"Can I join?" Teriak Rebeca saat pintu kamar mandi baru saja tertutup.

"Nggak boleh, nanti lama!" Samar-samar suara Kinal terdengar dari dalam kamar mandi, membuat Rebeca tertawa.

***

Kopi dan waffle dengan taburan berry sudah terhidang di meja makan saat Rebeca keluar dari kamar. Ia tersenyum melihat Kinal sedang  membuat nasi goreng dengan porsi cukup besar.

"Aku bikin nasi goreng sekalian buat makan siang nanti bareng Abim sama Fajar. Bawa bekal biar irit."

Lagi-lagi Rebeca tersenyum dibuatnya. Ia bisa saja membeli makanan apa pun untuk kekasihnya itu, bahkan untuk teman-temannya, tapi Rebeca tau Kinal suka memasak, jadi ia biarkan perempuan itu berkreasi di dapur.

Ia masih sangat ingat pertama kali Kinal datang ke apartemennya—saat mereka masih belum terlalu akrab dan hubungan "kerja" mereka baru saja dimulai. Kinal tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya melihat setiap sudut apartemen Rebeca. "Kapan-kapan aku boleh masak di dapur kamu nggak? Aku pengen nyobain masak di dapur dengan peralatan bagus dan mahal gini." Suatu hari Kinal pernah bertanya pada Rebeca. Sejak saat itu dapur menjadi daerah "kekuasaan" Kinal di apartemen Rebeca. Saat itu pula Rebeca tau Kinal bisa memasak, walau masakan yang selama ini ia buat hanya masakan rumah sederhana.

"Aku nggak tau ada pembuat waffle di sini," kata Rebeca saat mulai memotong waffle-nya.

Kinal terkekeh, "emang nggak ada. Semalem aku minta Andra bawa yang ada di rumah kamu."

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang