Your Smell (Kinal x Naomi)

24.9K 652 33
                                    

Kinal's POV

Sudah satu jam aku terjebak dalam kemacetan yang entah kapan usai, ditemani lagu dari band indie yang akhir-akhir ini sering kudengarkan Cigarettes After Sex. Sangat enak di dengarkan apalagi jika sedang sendiri. Smartphone di dalam saku celanaku bergetar tanda panggilan masuk, segera ku rogoh dan benar saja dugaanku bahwa Daniel yang menelpon. "Hallo bos ? " sapaku

"Nal lo udah dimana? Meeting bakal dimulai 30 menit lagi," ucapnya dengan nada khawatir.

"Iya ini bentar lagi mau sampe, tenang aja deh. Gausah parno gitu."

"Yaudah nanti kalo sampe lo langsung masuk ruang meeting aja ya, ini client besar nggk main-main. Makanya gue percayain sama lu."

"Iya bos, gue bakal berusaha semaksimal mungkin," tutupku.

***

Aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fotografi, sebagai fotograper tentunya. Di bawah kepemimpinan Daniel, pemilik perusahaan sekaligus teman SMA ku dulu. Perusahaan ini memang sudah terkenal dan biasa dipakai untuk pemotretan majalah atau photoshoot artis-artis terkenal.

Daniel mengutusku sebagai fotograper di sebuah majalah yang kontraknya baru ditanda tangani satu minggu lalu. Pekerjaanku agak santai memang, tapi jika sudah kontrak seperti ini, maka sebulan penuh aku akan sibuk mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan foto di majalah.

Sebenarnya aku baru pertama kali datang ke kantor ini, hanya sering lewat. Tapi siapa yang tak tau Style Magazine, salah satu majalah fashion yang menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Dan untuk edisi bulan ini, ia bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.

"Selamat siang Kinal, mari saya antar ke ruang meeting," ucap Nat, wanita yang ku ketahui sebagai sekertaris dari pimpinan redaksi majalah ini. Wanita ini cukup hangat dan humble, terbukti dari obrolan kami yang selalu nyambung di sepanjang jalan menuju ruang meeting. Ketika sampai di depan ruangan, Nat membisikan sesuatu

"Nanti kamu jangan kaget ya liat Pimrednya, rada galak orangnya," ucapnya sambil melirik kanan kiri, mungkin takut ada orang yang mendengar. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, kemudian kami masuk ke dalam ruangan yang sudah dipenuhi beberapa staff, hanya tiga kursi yang kosong. Seketika semua mata tertuju pada kami berdua.

"Selamat siang semuanya, kenalkan ini Kinal. Dia yang akan jadi fotograper majalah edisi bulan ini." Nat membuka pembicaraan "Bu Shinta akan datang 10 menit lagi," tambahnya.

***

Rapat berlangsung cukup lancar, beberapa staff mengeluarkan ide yang cukup bagus menurutku. Tak heran majalah ini menjadi nomor satu, aku hanya menimpali sekenanya ketika dimintai pendapat.
Sesekali aku mencuri pandang pada pimpinan redaksi yang terkenal galak ini, tak jarang pandangan kami bertemu, namun aku selalu menghindar.

Tertawa aku dalam hati mengingat keterjutanku ketika beberapa saat melihat bu Shinta masuk ke dalam ruangan ini. Tatapan tajamnya berhasil mengintimidasi semua orang yang ada di sini, tak terkecuali aku.

"Untuk tiga hari ke depan, saya sudah harus menerima nama-nama dan sample foto dari model yang akan kita gunakan di edisi bulan ini," ucap bu Shinta yang diangguki oleh seluruh orang di ruangan ini.

"Untuk fotograper, saya mau kamu stay di kantor ini untuk satu bulan ke depan," tambahnya tanpa melihat ke arahku. Membuat aku otomatis terkejut dengan kata-katanya.

"Maaf bu, tapi saya rasa itu nggak perlu. Saya bisa datang kesini jika ada pemotretan aja," protesku. Reflek ia menatapku dengan sangat tajam ketika mendengar jawaban dariku, membuat suasana menjadi tegang.

"Saya sudah bicarakan ini dengan Daniel, dan dia menyetujui. Jarak dari kantor kamu kesini 45 menit, itupun jika tidak macet. Tim akan butuh kamu sewaktu-waktu, dan saya tidak suka keterlambatan," ucapnya dengan suara ketus.

Hampir saja aku tersulut emosi jika saja Nat tidak menenangkan dengan menggenggam tanganku. Shit, I hate this situation. Harusnya Daniel memberitahuku terlebih dahulu, atau mungkin dia lupa. Entahlah, aku hanya bisa pasrah dan tetap harus menjalani pekerjaan di kantor ini selama satu bulan ke depan. Tidak mungkin membantah client, aku tidak mau nama perusahaan Daniel tercemar hanya karena ketidak profesioanalanku. Lagian aku rasa bekerja dengan tim ini tidak terlalu buruk, mereka semua ramah. Kecuali si bos galak ini.

***

Rapat selesai setelah dua jam, para staff mulai membereskan barang bawaan. Aku masih sibuk dengan beberapa file yang harus aku pelajari demi kelancaran pekerjaan ini, lalu memasukannya ke dalam tas yang berisi kamera dan peralatan lain.

"Nal, lunch bareng yuk di kantin," ajak Nat. Seketika aktivitasku berhenti, aku lihat ruangan sudah sepi. Hanya tersisa aku, Nat dan bu Shinta yang masih sibuk dengan Ipad-nya.
"Emmm bol..."

"Kinal, ada beberapa hal yang harus saya bicarakan dengan kamu," bu Shinta memotong ucapanku ketika hendak menjawab ajakan Nat.

"Baik bu, Nat duluan aja deh," jawabku.

"Oke, good luck yaa Nal." Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala.

"Saya permisi dulu bu," pamit Nat ketika hendak keluar dan hanya diangguki oleh bu Shinta.

***

Sudah 15 menit kami berdua berada di ruangan ini, padahal AC tidak dimatikan namun aku merasa gerah dari tadi. Tak satupun diantara kami yang membuka pembicaraan.

"Maaf bu, jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi saya izin kembali ke kantor untuk mengambil beberapa barang," ucapku akhirnya karena tak tahan dalam keheningan ini, Ia lagi-lagi diam dan hanya menatapku dalam dan membuatku salah tingkah.

Aku berdiri dan berjalan menuju pintu hendak keluar dari ruangan ini. Langkahku terhenti dan membeku ketika sepasang tangan halus nan putih melingkar di perutku. Genggaman tanganku di tuas pintu terlepas seketika, aku merasakan kepala bersandar di punggunggku. Terpejam mataku merasakan hangat yang tiba-tiba menjalar di hatiku.

" Gini dulu please, just a moment." Suara manja yang sudah lama tak kudengar, bahkan sangat berbeda ketika sedang rapat tadi. Pelukannya semakin erat ketika aku memegang tangannya hendak melepaskan pelukan.

"Ini kantor, kita nggk boleh kayak gini," ucapku, berusaha menahan gejolak dalam diri.

"I miss your smell," gumamnya.

Runtuh sudah pertahan yang sejak tadi aku bangun untuk menghadapinya, aku kalah. Selalu kalah. Kubalikan tubuh dan menatapnya lekat-lekat, wajah yang selalu kurindukan. Sekalipun tak pernah luput dari pikiranku.

"Kita nggk boleh kayak gini, kamu udah nikah Naomi," kataku dengan lemah.

"Terus kenapa kalau aku udah nikah ? Aku nggk boleh peluk kamu ? Atau kamu udah punya pacar?! "

"Bukan gitu Naomi, aku cuma nggk mau orang lain salah paham kalau ngeliat kita begini," ucapku memberi pengertian padanya.

Cairan bening mengalir dari kedua mata indahnya, hal yang paling aku benci. Tak bisakah dia mengerti bahwa kesedihannya adalah kelemahanku. Ku rengkuh tubuhnya ke dalam dekapanku, berharap dapat mengurangi kesedihannya.

"Maaf karena udah ninggalin kamu, aku dijodohin sama papa dan nggk mungkin bisa aku tolak. Itu permintaan terakhir papa sebelum meninggal." Aku hanya diam mendengar penjelasannya. Ia melepaskan pelukanku kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajahku.

"Kamu adalah milikku, nggk boleh ada yang miliki kamu selain aku," ucapnya sambil menatapku tajam, membuatku tenggelam di dalamnya. Tenggelam hingga tak bisa keluar lagi, sekali lagi aku kalah. Dan aku rasa tak akan pernah bisa menang darinya.











Revisi 23 feb 2020.

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang