Affair 8.0

1.5K 264 78
                                    

Kinal's POV

"Jadi berangkat jam berapa Mel?"

Melody mematikan hairdryer-nya, menoleh padaku.

"Jam sebelas aja kali ya. Kita mampir ke supermarket bentar buat beli buah, sama bahan-bahan buat masak nanti"

Hari ini kami ada janji piknik dengan Brandon dan Veranda. Janji yang sudah kami rencakan sejak jauh-jauh hari, baru bisa terwujud hari ini. Pekerjaan memang selalu menyita waktu.

Kulirik jam digital di side table, sudah pukul sepuluh rupanya.

"Mandi gih, aku siapin sarapan. Kamu mau sarapan apa?" Tanyanya, seraya merapikan rambut.

"Roti aja, pake nutela"

***

"Zayn, awas jatuh" teriak Veranda.

Aku tersenyum melihat anak kecil itu berlari kesana-kemari, membawa serta robot-robotan yang baru kuhadiahkan padanya siang tadi. Lelah berlari, kini ia ikut duduk bersama kami.

"Ampun deh, gemes banget sih kamu" ucap Melody, ia mendudukkan Zayn di pangkuannya. Mencium pipinya berkali-kali, membuat aku, Veranda, dan Brandon tertawa. Zayn yang memang sudah sangat dekat dengan Melody tak terlihat risih sama sekali, ia malah tertawa karena kegelian.

"Eh makanannya keluarin dong"ucap Brandon

Veranda mengeluarkan kotak makan berisi taco yang tadi dibuatnya dengan Melody, terlihat sangat menggiurkan. Aku meraih botol jus di sampingku, membukanya lalu menuangkannya ke dalam empat gelas plastik.

"Udah lama banget ya kita nggak piknik gini" ucap Brandon, dengan mulut yang masih penuh dengan taco.

"Makanannya ditelen dulu, baru ngomong" timpal Veranda, seraya membersihkan ujung bibir Brandon dengan tisu.

"Terakhir pas Veranda masih hamil deh kayaknya" ucapku tak yakin.

"Iya bener, waktu itu Veranda masih hamil lima bulan" timpal Melody.

Kuperhatikan sekeliling taman. Udara di taman komplek ini begitu sejuk, mungkin karena banyaknya tanaman dan danau buatan yang ada di depan kami. Ini pertama kalinya aku ke sini, biasanya hanya sekedar lewat.

Beberapa keluarga juga sedang piknik, sama seperti kami. Ada juga pasangan yang sekedar duduk-duduk di atas rumput.

"Ma, mau main itu" Zayn menunjuk trampolin di play area.

"Yaudah yuk ke sana sama tante Mel aja" Melody langsung berdiri, menggendong Zayn. Diikuti Veranda di belakangnya, mereka bertiga berjalan ke area bermain itu.

Kuperhatikan Melody dan Veranda yang dengan sabar menemani Zayn bermain. Sesekali mereka tertawa melihat Zayn yang kesusahan berdiri di atas trampolin, tak bisa menyeimbangkan tubuh.

"Nggak nyangka ya kita udah punya keluarga masing-masing"

Aku menoleh pada Brandon yang tersenyum, masih memperhatikan Veranda, Melody, dan Zayn.

"Lo tau nggak, dulu awal kenal, gue sempet naksir sama lo" ucapnya, kini menatapku.

"Jangan ngaco deh"

"Serius. Tapi lama kelamaan lo malah jadi sahabat gue" ucapnya, lalu terkekeh.

"Rasanya baru kemaren ya kita kenalan. Waktu cepet banget berlalu"

"Iya" sahutku singkat

"Sejak ada lo, hidup gue jadi lebih berwarna. Mungkin karena sebelumnya gue nggak pernah sepercaya dan senyaman itu dengan orang lain, jadi gue hanya menganggap mereka temen, bukan sahabat"

"Gue jadi tersanjung" celetukku

"Hahaha serius. Mungkin karena gue anak tunggal juga kali ya. Jadi ketika ketemu orang yang pas, gue jadi nyaman banget. Lama kelamaan gue merasa semakin nyaman sama lo, kita bahkan punya banyak kesamaan. Lo selalu ada buat gue, pun sebaliknya, gue selalu berusaha ada buat lo. Itulah kenapa gue nggak lagi nganggep lo sahabat. Lebih dari itu, lo itu sodara gue. Lo sangat berarti, Nal"

Aku hanya tersenyum menanggapinya, belasan tahun berteman dengannya, ini pertama kalinya Brandon mengucapkan kalimat "romantis" padaku.

Kami kembali melempar pandangan pada Zayn yang kini tak lagi bermain trampolin, tapi sedang berada di area mandi bola. Bersama seorang anak perempuan yang terlihat seumuran dengan Zayn, mereka terlihat begitu asyik.

"Gue sayang banget Nal sama lo. Saking sayangnya gue bahkan nggak bisa benci sama lo. Padahal seharusnya begitu"

Aku langsung menoleh cepat, menatap Brandon yang juga menatapku. Jantungku berdegub sangat cepat, pikiranku tak karuan. Ucapannya tadi bagaikan tamparan untukku. Tatapan kecewanya membuatku seperti tengah mendapat hantaman yang begitu keras.


"Sebelum rasa kecewa gue berubah jadi rasa benci. Tinggalin Veranda, Nal"

















The End

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang