Untold Story

682 98 14
                                    

Aku menatap tangan yang terulur di hadapanku tepat saat aku sampai di ujung kolam. Aku tak juga meraihnya, hingga si pemilik tangan akhirnya berjongkok. Wajahnya jadi semakin jelas saat kubuka kacamata renangku. 

"Masih mau renang?" Tanyanya. Diamku rupanya tak membuatnya kesal, kini ia berjalan mengikutiku dari sisi kolam. Sebeleah sepatunya basah oleh cipratan air yang kubuat,  tapi ia terlihat tak peduli, tetap mengikuti hingga ujung kolam.

Ia kembali mengulurkan tangan, walau ragu, kali ini kuraih uluran tangannya. Senyumnya langsung mengembang, membuatku semakin heran dengan keberadaannya di sini. Ini bukan kali pertama ia menghampiri ketika aku berenang, satu bulan terakhir, ia bahkan jadi lebih sering ke tempat ini. Awalnya aku tak suka dengan keberadaannya di sini. Bukan apa-apa, aku sengaja memilih waktu saat kolam tak digunakan kelas apa pun, agar aku bisa leluasa berenang. Lebih nyaman jika sendiri, tempat ini bahkan sudah kulabeli sebagai markas, konyol. Tapi jika dipikir lagi, ini adalah fasilitas sekolah, tentu aku tak punya hak melarangnya ke sini.

Ia ikuti aku duduk di bench, lagi-lagi tak peduli seragamnya bisa saja basah terkena cipratan air dari tubuhku. Sering aku berpikir, untuk apa ia di sini. Padahal kuyakin lebih banyak hal-hal penting yang bisa ia lakukan bersama teman-temannya. Bukan malah diam menyaksikanku berenang dari bench—yang sudah pasti tak ada manfaatnya untuknya.

"Besok berenang lagi nggak?" Tanyanya.

"Enggak."

"Yaaah kok enggak sih? Padahal aku udah izin nggak latihan tennis biar bisa nontonin kamu."

Sebelah alisku otomatis terangkat. "Jangan konyol. Kamu nggak perlu bela-belain nggak latihan tennis cuma buat ngeliat aku berenang."

"Ya nggak apa-apa. Aku seneng liat kamu renang."

Ucapannya tak kutanggapi. Satu dari banyaknya hal yang tak kusukai dari orang kaya. Terlalu mengentengkan sesuatu. Berapa juta yang harus dibayar orang tuanya untuk membayar pelatih tennis untuknya—yang kuyakin ia lakukan secara private di lapangan indoor mewah, atau barangkali halaman rumahnya yang super luas. Tapi ia malah memilih melakukan hal-hal tak berguna.

Bukan urusanku sebenarnya, toh itu uangnya. Tapi kadang menyaksikan hal seperti itu membuatku meringis. Di saat banyak orang berusaha keras mengumpulkan uang, banyak juga orang yang membuang uang secara cuma-cuma seolah itu tak berarti.

"Kamu kenapa selalu di sini?" Tanyaku akhirnya.

"Kamu sendiri ngapain di sini terus? Padahal bukan jam olahraga."

"Buat renang."

"Kalau gitu aku di sini buat nontonin kamu renang."

Aku tersenyum, mengusap-usapkan kedua telapak tangan yang memutih dan sedikit mengkerut karena dingin. "Kamu aneh."

Ia tertawa, mengeluarkan sebuah botol minum dari dalam tas, menyerahkannya padaku. "Itu cuma teh hangat, bukan racun. Tenang aja, aman kok," katanya saat kutatap ia penuh tanya.

Aku menikmati teh hangat pemberiannya dalam diam, ia pun tak bersuara. Beberapa kali kudapati ia menatapku, seperti banyak pertanyaan di benaknya, tapi tak berani ia ungkapkan.

"Aku nggak pasang tarif untuk setiap pertanyaan yang kamu lontarin, kok. Tanya aja," kataku. Kali ini tawanya cukup kencang, bahkan menggema ke seluruh area kolam yang hanya diisi oleh kami berdua.

Beberapa saat tawanya reda. "Aku tau keberadaan aku di sini mungkin udah cukup buat kamu nggak nyaman. Jadi aku nggak mau aja kamu semakin nggak nyaman karena aku cerewet nanya-nanya."

Aku mengedikkan bahu. "Selama pertanyaan kamu masih wajar dan nggak banyak, aku oke-oke aja."

Ia mengangguk, tersenyum lebar. "Kamu emang suka banget renang ya?"

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang