Selfish ( Kinal x Stella )

2.3K 357 16
                                    

Kinal's POV

"Beneran nih nggk mau balik bareng?" Rama terus memaksaku untuk pulang bersamanya. Bukan tak ingin, tapi aku merasa tak enak hati. Hampir setiap hari ia selalu mengantarku pulang, padahal arah rumahku dengannya berbeda jauh.

"Iya, udah sana balik. Ntar Emak lo nyariin"

"Yaudah gue duluan ya Nal"

"Hati-hati"

Aku kembali melanjutkan langkah menuju halte di depan kampus, sambil menunggu bis dengan jurusan yang paling dekat dengan rumah.

Tinn...tiiinnn

Aku bergeser, memberi jalan pada mobil yang terus membunyikan klakson. Kini mobil itu berhenti di sampingku, membuatku menghentikan langkah. Kaca hitam itu turun perlahan, menampakan sang pengendara yang tersenyum ke arahku.

Ia memberi isyarat agar aku masuk, ku turuti saja. Satu kecupan singkat mendarat di pipi kananku, lalu si pengendara mulai menjalankan mobil.

"Kita ke show room ya?"

"Kamu mau beli mobil?" Tanyaku heran, pasalnya ia sudah memiliki tiga mobil.

"Iya, tapi buat kamu"

"Kok buat aku?"

"Aku nggk mau pacar aku bolak-balik kampus pake kendaraan umum"

"Emang apa salahnya?"

"Yaa aku nggk mau aja kamu capek nunggu dan desek-desekan di dalem bis"

"Aku udah biasa, jadi nggk masalah"

"Tapi aku yang nggk mau"

"Kamu mending gunain uang kamu buat sesuatu yang lebih berguna. Aku udah dewasa, bisa jaga diri. Sekarang mending anter aku pulang" ia mengembuskan napas berat, melajukan mobil dengan kecepatan lebih tinggi.

Di sepanjang jalan aku hanya melamun, sampai tak sadar mobil ini sekarang berada di parkiran apartemen Stella.

"Kok ke sini?" Tak menjawab, Stella keluar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Menyusulnya masuk ke dalam gedung apartemen, wanita itu tak pernah berubah.

***

Sudah sekitar dua tahun aku menjalin hubungan dengan Stella, entah mengapa ia bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya mahasiswa biasa yang berasal dari keluarga sederhana. Kuliah pun karena mendapat beasiswa. Berbanding terbalik dengannya yang hidup dengan harta berlimpah, berkuliah di kampus swasta elit yang hanya diisi oleh anak-anak pejabat atau pengusaha.

Pertemuan tak sengaja di kafe tempatku dulu bekerja membuat kami bisa menjadi dekat. Jujur saja, hingga saat ini kadang aku selalu merasa tak pantas berada di sampingnya.

Stella selalu berusaha memenuhi segala kebutuhanku, namun ku tolak. Bukan tak menghargai, tapi aku ingin apa yang kunikmati merupakan hasil dari kerja kerasku. Aku sangat menyayangi wanita ini, tapi kadang sifat egoisnya membuatku ingin pergi darinya. Bahkan kini ia mulai mengatur kehidupanku, melarangku bekerja dan memintaku selalu bersamanya.

Sampai malam tiba, aku masih berada di apartemen miliknya. Sengaja ku biarkan ia menenangkan diri dengan tak mengajaknya bicara. Jika ku tinggalkan begitu saja, ia akan semakin marah.

Aku berjalan menuju balkon, menikmati pemandangan gedung pencakar langit yang terlihat indah di malam hari.

"Aku suka banget ngeliat kemacetan dari atas sini, lampu-lampu mobil itu terlihat indah" aku menoleh, tersenyum tipis pada Stella yang kini berdiri sejajar denganku.

"Nggk semua hal yang terlihat indah itu menyenangkan " kali ini Stella yang menoleh

"Sama kayak hubungan kita" kerutan langsung tercetak di dahinya

"Awal aku mulai jatuh cinta sama kamu, aku selalu berangan-angan kita jadi sepasang kekasih. Walaupun kemungkinan itu terjadi sangat kecil"

"Aku nggk ngerti maksud kamu Kinal" selanya

"Sampai akhirnya kita beneran jadian. Aku bener-bener merasa beruntung dan rasa cinta aku semakin besar buat kamu. Awalnya semua terasa indah, tapi semakin kesini, aku merasa nggk nyaman"

"Kinal kamu ngomong apa?!" Aku mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat agar ia diam

"Hubungan kita sama aja dengan kemacetan itu, terlihat indah. Tapi ketika berada di dalamnya, rasanya aku ingin ini segera berakhir"

"Kinal stop !!"

"Jadi untuk terakhir kalinya aku mohon sama kamu, kita lebih baik jalanin hidup masing-masing. Aku nggk akan pernah bisa jadi bagian hidup kamu, begitupun sebaliknya. Terimakasih untuk semuanya, aku pergi" aku berbalik, mengambil tas di sofa

"Aku nggk jamin besok kamu masih bisa liat aku hidup" langkahku terhenti, ancaman yang dilontarkan selalu sama. Dan hal itulah yang selalu membuatku mengurungkan niat untuk berpisah dengannya selama ini. Masih dalam posisi yang sama, aku tak berbalik

"Aku pikir kamu udah dewasa untuk menilai tindakan yang benar dan salah" aku berjalan keluar, tak menghiraukan Stella yang menangis, meneriakkan namaku.

***

Aku berlari, menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat sepi. Langkahku terhenti, di depan ruangan yang ku tuju, terlihat kedua orang tua Stella yang sedang berbicara dengan Dokter. Aku berjalan menghampiri setelah Dokter itu pergi.

"Permisi Om tante..." Ekspresi ayah Stella berubah begitu melihatku, ia terlihat begitu emosi.

"Berani kamu kesini anak nggk tau diri!" Ia mendekat, napasnya tak beraturan

"Maaf Om.."

Plaakk...

Pipiku terasa panas, tamparan itu sangat keras. Aku meringis, menahan rasa sakit.

"Mau kamu apa sih?! Udah sukur saya izinin Stella berhubungan sama orang miskin kayak kamu, sekarang kamu malah ngelunjak ya!!" Aku masih tertunduk, mencoba menahan emosi. Hinaan dan cacian seperti ini sudah sangat sering ku dapatkan.

"Pah udah, sekarang Stella cuma butuh Kinal" ucapan sang istri membuatnya sedikit tenang

"Kinal kamu masuk aja" aku mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangan.

Di sana Stella terbaring lemah, ia sedang tertidur. Matanya terlihat sembab. Pandanganku jatuh pada pergelangan tangan kirinya yang diperban. Ya, setelah malam dimana aku memutuskan hubungan dengannya, Stella nekat melukai dirinya sendiri.

Aku tak habis pikir ia bisa melakukan hal gila ini, ia memang selalu mengancam akan bunuh diri ketika aku meminta putus, namun hanya sekedar ancaman. Dan sekarang ia benar-benar melakukannya.

Stella kini terbangun, mulai terisak karena melihatku. Tak tega melihatnya, ku rengkuh ia dalam dekapanku. Isakannya semakin kencang

"Aku nggk mau putus" ucapnya di sela isakan, aku masih diam, mengusap punggungnya untuk menenangkan.

"Kinal jangan tinggalin aku"

"Sstttt udah, jangan nangis lagi. Aku di sini nemenin kamu" ku usap sisa air mata di pipinya

"Aku nggk mau putus Kinal"

"Stella tolong ngerti..."

"Nggk! Pokoknya aku nggk mau putus, please Nal... aku janji bakal berubah" kalimat yang sama, janji yang selalu diucapkan untuk ke sekian kali.

"Stella..."

"Please...."

"Oke, ini bener-bener terakhir. Kalau kamu nggk berubah, jangan salahin kalau aku ninggalin kamu" ia menghambur ke pelukanku.

Lagi, aku membiarkan diriku kembali padanya. Mengalah demi kebahagiaannya.

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang