Feeling 2.0 - Tears

1.9K 305 67
                                    

Kinal's POV

"Aku nggk mau kuliah bisnis Pah"

Plaakkk!!!

Pipiku terasa panas, sangat perih. Untuk pertama kali aku mendapat sebuah tamparan, dan itu dari Papah. Sungguh, aku tak pernah melihatnya semarah ini. Bahkan ketika mengetahui perselingkuhan Almarhum Mama dulu, ia tak semarah ini.

"Bisa-bisanya kamu ngomong gitu! Pokoknya bulan depan kamu tetap berangkat ke UK. Papah udah siapin semuanya buat kamu"

"Aku mau di Indonesia aja Pah, aku mau kuliah seni" ia tersenyum remeh, mengendurkan dasi yang menggantung rapi di lehernya. Ia mendekat, memegang kedua pundakku.

"Kamu pikir dengan jadi seniman, kamu bakal sukses, punya banyak duit gitu? Denger ya Kinal. Sejak kecil Papah ngedidik kamu dan Sonya untuk jadi penerus perusahaan Papah. Udahlah, kamu jangan neko-neko. Jangan berharap banyak dari impian kamu itu. Sekarang tugas kamu cuma turutin keinginan Papah dengan kuliah bisnis"

Entah keberanian darimana. Aku yang tadinya tertunduk kini berani menatap matanya.

"Selalu soal keinginan Papah. Kapan sih Papah bisa ngerti keinginan aku? Dari dulu aku selalu turutin apa yang Papah mau, tanpa tau sebenarnya aku nggk mau melakukan semua itu"

"Papah mau yang terbaik buat kamu"

"Terbaik? Dengan cara memaksakan kehendak, menurut Papah itu bakal jadi yang terbaik gitu" ia menutup mata, mencoba menahan emosi.

"Kamu masih labil, nggk tau mana yang baik buat masa depan kamu" aku menggeleng, melepaskan kedua tangannya di bahuku.

"Maaf Pah, tapi aku udah tau mana yang terbaik buat diri aku. Aku nggk mau ngejalanin kehidupan yang sama sekali nggk aku kehendaki"

"Kinal kamu jangan ngaco, mending sekarang kamu masuk kamar. Sebelum Papah semakin marah"

"Maafin aku, tapi aku bakal tetep milih kuliah seni Pah"

Plakkk!!!!

Lagi, sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku. Bahkan ini jauh lebih keras.

"Kalau kamu tetap nggk mau berangkat ke UK, mending kamu keluar dari rumah ini! Papah nggk mau punya anak pembangkang kayak kamu!" tanganku bergetar, dadaku terasa sesak. Tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padaku.

Dengan langkah cepat aku keluar dari ruang kerjanya. Baru saja akan menaiki tangga, sebuah tangan menahanku. Aku menoleh, mendapati Om Sandy dengan wajah khawatirnya. Om Sandy sudah bekerja selama dua puluh tahun sebagai personal assistant Papah, sebab itu aku juga cukup dekat dengannya.

"Kinal, bibir kamu berdarah" aku hanya diam, tak menanggapi ucapannya.

"Om hubungin kakak kamu ya"

"Jangan Om"

"Kenapa?" Sekali lagi aku menggeleng. Bukan bermaksud menolak tawaran Om Sandy, tapi aku tak mau membuat Sonya khawatir dengan keadaanku.

"Yaudah, kalau gitu Om panggilin Bi Anti aja ya buat obatin luka kamu" tanpa menjawab, aku melanjutkan langkah menuju kamar.

Ku keluarkan dua koper berukuran besar dari lemari, segera mengemasi barang-barangku. Mulai dari pakaian, hingga surat-surat penting yang akan kubutuhkan untuk kuliah nanti.

Setelah semua beres, aku memakai tas carrier yang telah berisi barang elektronik dan beberapa pakaian. Menggeret kedua koperku keluar dari kamar. Om Sandy yang melihatku membawa koper langsung menghampiri.

"Kinal kamu mau kemana? Ngapain bawa koper segede ini?" Tanyanya khawatir. Ku keluarkan dompet dari saku celana, mengeluarkan dua buah credit card dan sebuah ATM. Kusodorkan ATM dan credit card itu pada Om Sandy.

"Sampein maaf aku ke Papah, aku balikin semua fasilitas yang dia kasih" Om Sandy terlihat kaget mendengar ucapanku, ia mencoba mencegahku untuk pergi. Namun aku tetap berjalan, menggeret kedua koper keluar dari rumah. Beberapa asisten rumah tangga yang melihatku juga heran, tapi tak berani bertanya.

"Kinal, jangan pergi Nak" aku tetap berjalan menuju pintu depan.

***

Sonya's POV

Aku langsung membatalkan rapat yang seharusnya kuhadiri siang ini. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal, Kinal. Om Sandy menelpon bahwa Kinal tidak dalam keadaan baik ketika keluar dari ruang kerja Papah. Mereka pasti berdebat soal kuliah Kinal. Sifat mereka yang sama-sama keras memang selalu menjadi pemicu perdebatan keduanya. Tak ada yang mau mengalah.

"Bayu, kamu bisa lebih cepet lagi nggk?" Rasanya ingin cepat sampai di rumah

"Bisa Nona"

Sepanjang jalan aku terus memikirkan Kinal. Takut hal-hal yang tak kuinginkan terjadi padanya. Hingga sampai di gerbang rumah, aku mendapati Kinal dan Om Sandy yang tengah membicarakan sesuatu. Aku langsung turun dan berlari menghampiri mereka.

"Kinal!" Aku langsung memeluknya erat. Mataku memicing, menyadari dua buah koper berukuran besar di belakang tubuh Kinal. Kulepaskan pelukan, menatapnya penuh tanya.

Betapa terkejutnya aku melihat pipinya yang memerah, sudut bibirnya berdarah. Dengan tangan bergetar, aku mengusap sudut bibirnya. Ia hanya terdiam memandangku. Entah seperti apa perdebatan di antara Kinal dan Papah, tapi sepertinya ini adalah kemarahan terbesar Papah. Bahkan pertama kalinya ia berani menampar Kinal.

"Kamu mau kemana hmm?" Dengan air mata yang sudah mengalir, dada yang terasa sesak. Kucoba untuk tetap tenang.

"Aku harus pergi" lirihnya, ia menggenggam tanganku yang masih berada di pipinya.

"Kemana? Kamu mau ninggalin rumah? Kamu mau ninggalin Kakak?" Lagi, ia hanya menggeleng. Membuang pandangan ke segala arah, tak mau menatapku.

"Kamu tega ninggalin Kakak sendiri? Iya Nal?" Ia menunduk, tak menjawab pertanyaanku.

"Hei, Papah itu marah bukan karena benci sama kamu. Dia marah karena sayang, mau yang terbaik untuk anak-anaknya. Jangan dimasukin hati ya. Masuk yuk" kucoba untuk membujuknya, walau ku tau akan sangat sulit. Kinal bukanlah orang yang mudah goyah dengan pendiriannya. Kembali kurengkuh tubuhnya, berharap ia akan menuruti apa yang yang ku katakan.

"Kakak sayang banget sama kamu. Gimana bisa kakak hidup tanpa kamu" Kinal membalas pelukanku, ia mencium pundakku beberapa kali. Membuat air mataku mengalir lebih deras. Firasatku tiba-tiba saja tak enak. Ia melepaskan pelukan, mengusap sisa air mata di pipiku. Ditatapnya mataku dalam.

"Maafin aku, tapi aku harus lakuin ini. Aku nggk mau jalanin kehidupan yang nggk aku inginkan. Jangan pernah cari aku. Biar nanti aku yang datang nemuin kamu, saat aku udah siap dan bisa nerima kenyataan" ia meraih koper di samping Om Sandy, berjalan melewatiku yang masih mencoba untuk mengehentikannya.

***

Kinal's POV

Dengan cepat aku memasukkan barang ke dalam taxi yang baru saja aku hentikan. Sonya terus menangis, memegang tanganku agar tak pergi. Sakit sebenarnya, meninggalkan orang yang kusayangi, bahkan ku cintai. Tapi aku harus melakukan ini. Aku tak mau hidup dalam kendali orang lain, sekalipun itu Papah. Dan alasan terbesarku untuk keluar dari rumah ini adalah untuk melupakan Sonya. Berharap jika jauh darinya, aku bisa menghilangkan perasaan yang telah lama tumbuh. Perasaan terlarang yang seharusnya tak boleh ada.

"Jalan Pak" taxi ini mulai berjalan. Di luar Sonya terus mengetuk-ngetuk jendela, meneriakkan namaku sambil menangis. Sungguh aku tak tega melihatnya. Tanpa dikomando, air mataku luruh.

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang