Paid Love (Epilog)

883 127 22
                                    

Sepuluh tahun lalu, di malam pergantian tahun, aku duduk termangu di dalam rumah. Meratapi kesendirian setelah ayah dan ibu dikebumikan tiga hari sebelumnya. Kosong, aku merasakan kosong luar biasa. Aku ingat betul detik di mana pisau dapur yang tergeletak di meja makan tertangkap oleh indera penglihatanku. Saat itulah pemikiran untuk mengakhiri hidupku muncul.

Sialnya aku tak melakukannya, padahal kesempatan di depan mata. Jika tau hidupku akan sekacau dan semenyedihkan ini, harusnya aku tak pikir dua kali untuk mengakhiri hidup saat itu.

Angin malam terasa semakin kencang menerpa wajahku, seolah menampar dan menyadarkanku, menuntut tindakan selanjutnya. Langkah kakiku semakin dekat dengan ujung bangunan, lalu lintas di bawah terdengar semakin bising, suara klakson bersahut-sahutan, seolah menjadi musik pengiring kepergianku sebentar lagi.

Sebentar lagi. Apa yang kutunggu? Aku sudah di ujung bangunan, jika melangkah sekali lagi, aku sudah tak lagi di dunia. Atau barangkali, ragaku masih merasakan sakit luar biasa sebelum rohku meninggalkan raga.

Aku memejamkan mata, berharap bisa mengurangi rasa sakit yang sebentar lagi kurasakan. Tapi bukannya gelap, yang muncul malah wajah ayah dan ibu, juga diriku yang tengah bercanda di meja makan, hal yang selalu kami sempatkan di saat ayah sibuk dengan pekerjaannya, juga diriku yang sibuk dengan aktifitas di sekolah. Masakan ibu yang sangat enak terasa jelas di lidahku.

Lalu wajah bang Leo muncul, bersamaan dengan Abim dan Fajar yang terlihat begitu riang karena kami diberi bonus lebih oleh bang Leo. Wajah lembut Veranda kemudian hadir, dengan senyum jahil yang sudah kuhafal, dan makanan yang selalu ia bawakan untuk kami. Suara Chloe terdengar jelas, wajahnya cemberut karena keinginannya tak kuturuti, lalu detik berikutnya ia tertawa riang karena aku menjanjikan jalan-jalan dengan motor.

Lalu Rebeca hadir. Menatapku penuh kasih, seolah-olah aku adalah manusia yang paling dicintainya. Sentuhan lembutnya begitu terasa, selalu membuatku menginginkannya lebih dari apa pun.

Bayangan wajah-wajah itu kemudian pudar. Aku kembali pada kenyataan bahwa aku ditinggalkan. Seperti ayah dan ibu yang pergi meninggalkanku bersamaan bertahun-tahun silam, Chloe dan Rebeca juga melakukan hal yang sama. Aku meringis, air mataku kembali luruh mengingat surat yang baru saja kubaca. Aku bersyukur karena rasa cintaku ternyata terbalas. Tapi di apa gunanya jika pada akhirnya aku tetap ditinggalkan.

Mungkin Tuhan memang mentakdirkan begini. Aku selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang kucintai. Kurasa tak ada salahnya meninggalkan dunia, kan?

Dengan tubuh yang bergetar, kukepalkan tangan kuat-kuat, membulatkan tekad.

"Jangan egois."

Suara itu menghentikan langkahku. Aku berbalik, mendapati seorang wanita duduk di bench dekat pintu rooftop. Ia mengenakan pakaian pasien, sama sepertiku. Di bibirnya terselip sebatang rokok yang dengan santai ia embuskan asapnya.

"Kamu nggak berhak menilai aku," kataku akhirnya.

Ia tersenyum sinis, kembali menghisap rokoknya. "Aku cuma mengatakan apa yang aku lihat. Kamu emang egois," katanya lagi. Ia bangkit dari duduk, berjalan mendekat hingga aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas.

"Kamu pikir dengan bunuh diri masalah kamu akan selesai?"

"Setidaknya aku nggak lagi merasakan sakit," kataku.

Ia tertawa kali ini, memperhatikanku lama. "Kamu masih muda, jangan mati konyol dengan bunuh diri. Well, kalau pun tetep bunuh diri mungkin kamu bisa cari cara yang lain." Ia terkekeh. "Kalau kamu lompat dari sini, bayangin apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu akan merepotkan banyak orang. Pertama, bayangin betapa repotnya pihak rumah sakit memperbaiki image setelah kasus bunuh diri kamu. Mereka pasti dikira nggak becus ngurus pasien. Berapa ratus orang yang harus kehilangan pekerjaannya karena rumah sakit ini nggak lagi mampu bayar gaji akibat nggak ada pasien?" Ia semakin mendekat. "Kedua, betapa repotnya polisi dan wartawan meliput kasus kematian kamu. Udahlah, biarin aja wartawan itu fokus bikin berita pejabat-pejabat yang nggak becus kerja dan korup itu. Orang-orang juga akan kasih perhatian ke kasus kematian kamu hanya sementara waktu, setelahnya mereka pasti lupa. Kamu nggak mau dikenang seperti itu, kan?"

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang