Your Smell 17 - First and Last Kiss ( Naomi x Kinal x Carissa )

2.4K 377 87
                                    

Kinal's POV

Carissa tagged you in a post

Aku tersenyum melihat foto itu. Potret diriku, Carissa, dan kedua orang tuanya. Foto yang diambil tiga hari lalu, ketika kami dinner bersama di sebuah hotel.

'Everything 🖤'

Caption yang tertulis di bawah foto itu membuat senyumku semakin lebar. Sebuah langkah berani menurutku. Memang kami tak pernah berniat menyembunyikan ataupun mengumumkan bahwa kami adalah sepasang kekasih. Semuanya mengalir begitu saja.

"Ciee yang lagi jatuh cinta, senyam senyum mulu" aku menoleh pada Dimas yang kini duduk di depanku, entah sejak kapan lelaki cerewet itu duduk di sana. Ia mengeluarkan ponsel pintar miliknya, lalu memperlihatkan foto yang sama dengan yang tadi kulihat di ponselku.

"Sekarang gue paham kenapa lo nggak mau cerita banyak soal Carissa. Padahal gue udah mau saingan tuh sama pacarnya, gue siap melakukan segala cara untuk dapetin Carissa. Eh taunya pacarnya temen gue sendiri" aku terkekeh melihatnya yang terlihat frustasi, meratapi usahanya yang sia-sia selama ini.

"Jadi, lo masih mau usaha?"

"Yaelah, mau usaha gimana juga gue bakal tetep kalah. Lo aja udah direstuin sama orang tuanya"

"Hahaha, masih banyak yang lain Dim. Kalau mau, gue bakal comblangin lo sama model-model gue"

"Serius Nal?" Ekspresi sedihnya sirna seketika

"Iya"

"Lo emang temen yang baik hahaha"

Tengah asyik ngobrol dengan Dimas, Natalia datang dan berdiri di samping Dimas. Menghentikan obrolan kami.

"Kinal, kamu dipanggil Pak Andre" Aku mengerutkan dahi, sejak kapan Pak Andre datang ke sini? Untuk apa juga ia memanggilku? Jika ia meminta untuk perpanjangan kontrak kerja, maka sudah pasti akan kutolak. Ya, satu minggu lagi kontrak kerjaku dengan perusahaan ini berakhir. Artinya aku akan kembali ke kantor lama, meninggalkan teman-teman baru yang cukup asyik. Juga meninggalkan Naomi. Ah, mengingat itu membuat perasaanku menjadi tak enak.

"Pak Andre ngapain manggil gue Nat?" Kusetarakan langkah dengan Natalia, melewati cubicle para karyawan yang sedang sibuk bekerja.

"Nggak tau Nal, bentar ya" ia mengetuk pintu ruangan Naomi, lalu masuk ke dalam. Tak lama ia keluar.

"Nal, masuk aja" aku masuk perlahan, dengan perasaan tak menentu. Pak Andre langsung tersenyum begitu melihatku, di sampingnya Naomi hanya diam menatapku datar.

"Silahkan duduk Kinal" aku mengikutinya, duduk di single sofa yang bersebrangan dengannya dan Naomi.

"Jadi, saya mau ngundang kamu buat dinner di rumah orang tua saya besok malam" ucapnya to the point. Untuk apa ia mengundang karyawan biasa sepertiku untuk makan malam? apalagi di rumah orang tuanya.

"Dalam rangka apa ya Pak?

"Kelulusan Veranda. kami mengadakan semacam syukuran kecil untuk merayakan kelulusannya. Hanya dihadiri oleh keluarga saja" aku turut senang mendengar berita kelulusan Veranda. Namun kurasa hubunganku dan Veranda tak sedekat itu hingga ia mengundangku, apalagi acara itu hanya untuk keluarga saja.

"Maaf Pak, tapi itu kan hanya untuk keluarga. Kenapa saya..."

"Ini permintaan Veranda" potongnya, sebelum aku menyelesaikan kalimat.

***

Canggung, hanya itu yang kurasakan saat ini. Berada di antara sebuah keluarga yang begitu asing bagiku. Ada sekitar dua puluh orang di meja makan panjang ini. Semuanya sibuk bercengkrama, kecuali aku. Ya walau beberapa kali sepupu atau tante dari Pak Andre mengajakku mengobrol, tapi tetap saja aku sedikit gugup.

Veranda menjadi topik utama pembicaraan. Ternyata makan malam ini tak hanya untuk merayakan pencapaian dirinya sebagai lulusan terbaik di kampus, tetapi juga sebagai perpisahannya yang akan melanjutkan pendidikan di London.

Beberapa kali aku melirik pada Naomi yang begitu asyik mengobrol dengan sepupu Pak Andre yang kuketahui bernama Grace. Letak dudukku yang persis berhadapan dengannya, mau tak mau membuat tatapanku selalu tertuju padanya.

Lama kelamaan, rasa canggungku mulai hilang. Beberapa candaan yang dilemparkan Pak Andre membuat suasana menjadi semakin hangat. Aku bersyukur, Naomi berada di antara orang-orang yang hangat. Ya walau tak bisa mengawasinya setiap hari, setidaknya sekarang aku tau bagaiamana keluarga Pak Andre memperlakukannya. Apalagi melihat Ibu dari Pak Andre yang begitu perhatian kepada Naomi.

Sekitar pukul sepuluh, acara makan malam selesai. Kini hanya tersisa aku, Veranda, Pak Andre dan Naomi, duduk santai menikmati wine di barbeque area. Sebenarnya aku pamit untuk pulang sejak setengah jam lalu, namun Pak Andre menahanku. Mau tak mau aku mengikutinya kesini. Membicarakan hal-hal ringan di luar pekerjaan, Pak Andre juga beberapa kali mengejek Veranda yang katanya akan berpisah sebentar lagi dengan gebetan barunya.

"Kapan-kapan kamu main ke rumah saya ya Nal" hampir saja aku tersendak mendengar ucapan Pak Andre. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk datang ke rumahnya, sedangkan aku dan istrinya pernah memiliki hubungan di masa lalu. Ah tapi jika dipikir lagi, bukan salahnya, toh ia tak tau hal itu.

"Iya Pak, kapan-kapan" balasku, lalu menghabiskan sisa wine di tanganku dalam satu tegukkan.

"Ekhm, saya tinggal sebentar ya Nal. Kamu ngobrol sama Ve aja. Ayo sayang" Pak Andre beranjak bersama Naomi, meninggalkanku dan Veranda. Sempat aku melihat tatapan Naomi sebelum benar-benar pergi. Membuatku sedikit salah tingkah.

Tinggallah aku dan Veranda. Entah mengapa atmosfer yang tadinya santai, hilang, bersamaan dengan perginya Pak Andre dan Naomi. Kupikir hanya aku yang merasakan, namun dari gerak-geriknya, sepertinya Veranda juga merasakan hal yang sama. Ia hanya diam dan menunduk, seperti orang gugup.

"Makasih ya Nal udah mau dateng" Veranda menatapku, aku tersenyum tipis.

"Sama-sama. Sekali lagi selamat ya atas kelulusannya" bukannya tersenyum, ia kini terlihat tak bersemangat. Terdengar helaan napas berat darinya.

"Aku bingung, harus ngerasa seneng atau sedih"

"Kok gitu?"

"Ya, di satu sisi, aku seneng bisa lulus di Universitas yang sejak dulu aku impikan. Di sisi lain, rasanya berat ninggalin Indonesia" aku mengusap lembut bahunya, mencoba menguatkan.

"Aku paham, pasti berat rasanya ninggalin keluarga kamu. Tapi kesempatan nggak dateng dua kali Ve. Aku yakin kamu pasti bisa jalanin ini semua" Veranda memegang tanganku yang masih berada di bahunya.

"Ya, ninggalin keluarga memang berat. Tapi ninggalin seseorang yang mulai aku cintai, jauh lebih berat. Apalagi dia nggak pernah sadar, kalau aku jatuh cinta sama dia" genggaman tangan Veranda semakin erat, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang lain dari ucapannya. Ia kini menatapku lebih dalam, membuatku menarik tangan dari genggamannya.

"Eemm Ve, aku bawa hadiah buat kamu. Aku ambil dulu ya di mobil" aku beranjak, hendak mengambil hadiah yang kubeli untuknya tadi siang. Baru saja melangkah, Veranda menahan pergelangan tanganku.

"Aku boleh minta hadiah lain?" Baiklah, kini aku semakin bingung dengan sikap Veranda.

"Apa?"

Ia kini berdiri di hadapanku, mengikis jarak di antara kami.

"Maaf kalau aku lancang. Aku tau kamu udah punya Carissa, but let me do this. For the first and last time" Veranda semakin mengikis jarak di antara kami, hingga bibirnya kini menempel dengan milikku. Aku yang masih shock masih membeku, tak membalasnya yang kini mulai melumat bibirku lembut. Mataku terbelalak begitu melihat Naomi berdiri di pintu, menatapku dengan tatapan sendu.

"Thank you. That was the best gift I ever had" lirih Veranda, mengusap air yang mulai menetes dari matanya.






Seketika rasa bersalah langsung menghinggapiku. Entah karena merasa telah menghianati Carissa, atau melukai perasaan Naomi.




















Dadah Veranda 👋🏻









Revisi 30 Maret 2020

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang