It's you V 2.0

1.6K 248 56
                                    

Viny's POV

Kuperhatikan pantulan diriku di cermin. Wajahku yang tadinya terlihat polos, kini telah dihiasi make up. Beberapa orang di belakangku tengah sibuk mempersiapkan pakaian yang akan kukenakan. Kini seorang hair stylist tengah menata rambutku.

Seingatku ia memperkenalkan diri sebagai Boby. Tingkahnya yang lucu kadang membuatku tertawa, melupakan perasaan gundah di dalam hati.

Harusnya hari ini adalah hari bahagia untukku, namun sejak tadi aku bahkan tak merasakan apapun. Hampa. Ada sesuatu dalam diriku yang memberontak, menentang datangnya hari ini.

"Duh cantik banget deh mbak Viny." Aku tersadar dari lamunan, menatap diriku yang telah siap dengan make up dan tatatan rambut sederhana. "Tinggal pake kebaya aja mbak," lanjutnya. Risa—sepupuku kemudian menghampiriku, menyerahkan kebaya putih itu padaku. Kini lengkap sudah penampilanku.

"Ya ampun Vin, lo cantik banget sumpah!" Risa terlihat begitu antusias melihatku yang baru saja keluar dari kamar ganti.

Mama dan Papa baru saja masuk ke dalam ruangan ini. Mereka terlihat begitu bahagia. Tak hanya orang tuaku, semua orang yang sekarang berada di ruangan ini terlihat bahagia. Kecuali aku.

Aku menghampiri Mama dan Papa, memeluk mereka penuh kasih.

"Ini bakalan jadi hari terbahagia buat kamu." Mama mengusap kedua pipiku, lalu memberi kecupan di dahiku. Matanya mulai berkaca-kaca, menandakan rasa haru akan melapaskan aku, putri satu-satunya.

"Setengah jam lagi keluarga Gio dateng, kamu siap-siap ya Vin. Mama sama Papa tunggu di luar."

Aku mengangguk mendengar ucapan Mama. Semakin dekat dengan waktu acara, semakin tak karuan pula perasaanku. Rasa gugup dan sedih bercampur menjadi satu.

"Vin, foto dulu sini." Risa menggandeng lenganku menuju kursi yang telah disiapkan sang fotograper di dekat jendela. Lalu aku mulai berpose sesuai arahannya.

"Mbak Viny, senyumnya agak lebar dikit ya. Biar dapet feel bahagianya," ucap fotograper itu.

"Iya Vin, senyum lo yang tulus dong. Tegang banget sih, mentang-mentang bentar lagi dilamar. Relax aja," timpal Risa.

Seandainya mereka tau bahwa aku berharap hari ini tak akan pernah datang.

"Oke sip, fotonya udah dapet."

Aku beranjak dari kursi itu, kembali duduk di depan meja rias.

"Hai Nal!"

Ucapan Risa tadi membuatku menoleh cepat. Di sana, ia tengah berpelukan dengan Kinal. Rasa gugupku kini bertambah berkali-kali lipat. Ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung setelah kejadian satu bulan lalu di acara ulang tahun Veranda. Selama itu pula aku tak berkomunikasi dengannya.

Ia tersenyum tipis melihatku, lalu membisikkan sesuatu pada Risa. Kini ia berjalan ke arahku yang masih diam di tempat duduk.

"Semuanya tolong keluar dulu ya, kasi waktu sepasang sahabat itu buat ngobrol dulu,"teriak Risa. Semua yang ada di ruangan ini kemudian mulai keluar satu persatu, menyisakan aku dan Kinal.

"Selamat ya," ucapnya memecah keheningan yang terjadi beberapa saat di antara kami. Aku masih diam.

"Gue turut bahagia atas pertunangan lo." Matanya mulai berkaca-kaca, menyiratkan kesedihan. Aku yang sejak tadi menahan air mata kini juga mulai merasakan sesak di dada.

"Bukannya ini yang lo harepin? Lo pengen gue nerima Gio. Sekarang gue bakal lakuin itu," ucapku dengan bergetar, air mataku rasanya akan tumpah.

Kinal menundukkan kepala, bahunya bergetar. Suara isakkan tertahan darinya membuat air mataku tumpah dalam sekali kedipan. Demi Tuhan, rasanya sangat sakit. Tak ada yang lebih sakit dari ini. Fakta bahwa kami saling mencintai, namun tak bisa saling memiliki. Aku berbalik, tak kuasa melihat air matanya.

"Apa yang lo tangisin Nal hmm? Harusnya lo bahagia kan ngeliat sahabat lo tunangan." Dengan air mata yang masih mengalir, aku coba untuk menguatkan hati.

Ia meraih lengan kananku, namun dengan cepat aku menepisnya. "Liat gue sekali aja Vin."

"Enggak."

"Please."

Mataku terpejam mendengarnya memohon. Rasanya aku benar-benar tak sanggup. "Kalau sampai gue liat air mata lo jatuh. Demi Tuhan, detik itu juga gue bakal batalin pertunangan ini," ucapku dengan bergetar. Kupikir ia akan melakukan sesuatu, namun ternyata tidak. Kini suara langkahnya terdengar semakin jauh. Sepertinya ia akan keluar dari ruangan ini. Benar saja dugaanku, suara pintu tertutup menandakan ia benar-benar keluar dari ruangan ini.

Air mataku semakin deras. Sudah tak ada harapan lagi. Kami memang tak akan pernah bisa bersatu.

***

Kinal's POV

"Kalau sampai gue liat air mata lo jatuh. Demi Tuhan, detik itu juga gue bakal batalin pertunangan ini," ucapnya, masih dengan posisi memunggungiku.

Ucapannya membuatku mengurungkan niat kembali meraih tangannya. Bimbang. Itu kini yang kurasakan. Di satu sisi, ada rasa bahagia mendengar ucapannya tadi. Namun di sisi lain, aku juga bingung. Kalaupun Viny membatalkan pertunangan ini, apa yang harus kulakukan? Memintanya untuk bersamaku dan meninggalkan Veranda? Itu adalah hal yang mustahil. Jika pun itu terjadi, maka aku adalah manusia paling kejam di dunia. Akan ada banyak hati yang terluka jika aku benar-benar melakukan itu.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju pintu. Keluar dari ruangan meninggalkan Viny. Aku langsung menuju toilet, membasuh wajahku. Mataku kini bahkan terlihat sembab. Aku kembali ke ruang keluarga, sudah banyak orang berkumpul di sana.

Veranda melambaikan tangan begitu melihatku, kuhampiri ia yang duduk di kursi deretan paling belakang, tempat di mana pihak dari keluarga Viny duduk.

"Kok lama?" Abis nangis ya?" Tanyanya, aku hanya mengangguk kecil. Veranda mengusap keringat di dahiku dengan tisu.

Aku memperhatikan Gio yang duduk di kursi depan, ia nampak bahagia. Pembawa acara mulai membuka acara, membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Tak lama Viny turun dari tangga, didampingi mama dan sepupunya, Risa. Ia tersenyum begitu manis, namun tetap terlihat gugup.

Acara inti dimulai, pihak keluarga Gio dan Viny telah sepakat. Viny juga demikian, ia menerima lamaran Gio. Semua yang hadir di  mengucapkan syukur begitu mendengar Viny menerima lamaran itu.

Kini tiba saatnya bertukar cincin. Entah mengapa, tiba-tiba tanganku bergetar. Aku menunduk, tak sanggup melihat itu. Dadaku terasa begitu sesak. Mungkin menyadari keanehan sikapku, Veranda meraih tanganku. Mengusap lembut tanganku, lalu mengecupnya. Kuangkat wajahku untuk menatapnya. Senyum hangatnya membuat air mata yang sejak tadi kutahan luruh seketika. Aku tau, wanita ini tengah menguatkanku.

"Kamu kuat," bisiknya, kembali menggenggam tanganku lebih erat.

Dua kalimat yang dikatakan cukup membuatku sadar, bahwa ia mengetahui penyebab dari jatuhnya air mataku.

Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan, membuatku kembali menaruh fokus pada Viny dan Gio yang kini tengah tersenyum ke arah kamera. Mengangkat tangan yang kini dihiasi cincin.

Sampai saat di mana ia menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidupnya, di sanalah aku akan benar-benar melupakanya. Begitu pikirku dulu. Sekarang waktunya telah tiba, dan aku masih sama. Ternyata menghilangkan rasaku padanya sangat sulit. Aku tak bisa, dan tak akan pernah bisa.

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang