Feeling 12 - We Shouldn't

1.5K 282 50
                                    

Tasya's POV

"Lo gila ya? Dari tadi senyam senyum mulu"

Aku bahkan tak sadar tengah tersenyum jika Gina tak berkata demikian. Hei, apakah ini efek Kinal?

"Kenapa sih Sya? Lo jangan diem-diem trus senyum nggk jelas gitu deh. Gue jadi takut, jangan-jangan otak lo udah nggk beres. Apa perlu gue puter balik aja nih, kita ke rumah sakit jiwa aja dulu"

Reflek aku memukul lengannya, membuatnya tertawa melihatku kesal.

"Mulut lo minta diplester emang Gin, biar nggk ngomong sembarangan"

"Ya lagian, lo dari awal dateng senyam-senyum mulu. Bukannya minta maaf karena lupa janji sama gue"

Mobil Gina memasuki area parkir Mall. Rupanya hari ini pengunjung Mall cukup ramai, perlu waktu beberapa saat hingga kami bisa menemukan tempat yang kosong.

Saat hendak masuk ke dalam Mall, aku melihat sosok yang tak asing. Aku mendekat untuk memastikan, ternyata benar itu dia.

"Bang Ryan" panggilku, membuatnya menoleh.

Kutarik tangan Gina untuk mendekat ke arah Bang Ryan.

"Eh Hai Sya" sapanya ramah, lalu bersalaman dengan Gina.

"Lo sendirian aja Bang?"

"Iya, tadi ada urusan. Lo sendiri baru dateng nih?"

"Iya Bang, baru banget"

"Yaudah, gue balik duluan ya. Masih ada kerjaan, sampe ketemu Sya" pamitnya.

Belum sampai lima langkah Bang Ryan beranjak dari sini, Gina langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan.

"Siapa Sya? Kok gue nggk pernah tau lo punya temen gitu"

"Emang bukan temen"

Kami mulai berjalan lagi, menaiki eskalator ke lantai tiga.

"Terus?"

"Calon Kakak ipar gue"

"Seriusan lo. Emang pacar lo siapa? Kok lo nggk pernah cerita sih udah punya pacar? Ish emang resek lo Sya" kesalnya, membuatku terkekeh.

"Nanti lo liat aja sendiri"

"Kapan? Dimana?"

"Di undangan pernikahan gue"

***
Kinal's POV

"Aku boleh masuk?" Tanyanya.

Lagi-lagi aku hanya diam, membiarkannya masuk ke dalam kamarku. Benar-benar tak tau harus berbuat apa, karena kedatangannya yang tak pernah kuduga sama sekali.

Ia memperhatikan sekitar, mungkin bingung melihat ukuran kamarku yang bahkan tak lebih besar dari walkin closet di kamarnya. Atau bingung karena barang-barang di sini tak sebanyak barang di kamarku yang dulu.

Rasanya ingin memeluknya sekarang juga, karena sungguh, aku sangat merindukannya. Merindukan kehangatan yang selalu ia berikan. Tapi rasa sakit itu tak bisa hilang, mengalahkan rindu yang begitu besar, hingga aku enggan untuk berhadapan dengannya.

Kinal's One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang