Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.
Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu.
"Sudah bangun sekarang?"
Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya.
"Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.
Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.
Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya.
"Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pelan ketika melihat penunjuk waktu yang menempel di dinding kamar bercat putih dengan ornamen serta perabot yang terdiri dari serba kayu, menambah kesan alami namun tetap aesthetic.
Bahkan ranjang tempat dimana mereka berdua sekarang berada pun terbuat dari kayu jati kokoh terbaik, dengan ornamen minimalis dan kelambu putih tipis yang menguarkan vibes romantis sekaligus hangat.
Meskipun kini ranjangnya sendiri sudah tak berbentuk lagi, sangat berantakan bagai sehabis diterpa angin puting beliung.
Seprai putih yang telah tercerabut dari kasur empuk, selimut coklat muda yang mengumpul kusut di kaki Juliet, bantal yang kini posisinya malah menjadi guling untuk Juliet, membuat Matthew diam-diam memberikan bantalnya sendiri dan menyelipkannya di kepala gadis itu ketika Juliet telah terlelap.
Matthew tahu Juliet terbiasa tidur dengan memeluk guling, sementara benda itu tidak akan tersedia di hotel-hotel dan resort seperti ini.
Setelah ia puas menyentuh Juliet saat mereka masih berada di pantai, Matthew menggendong tubuh gadis itu memasuki resort menuju ke kamar VVIP terbaik yang telah ia pesan.
Karena butir-butir pasir pantai yang masih menempel di tubuh mereka, Matthew memutuskan untuk membawa Juliet ke dalam kamar mandi terlebih dahulu agar sama-sama membersihkan badan, sebelum kemudian akhirnya menarik tangan gadis itu ke atas ranjang.
Selanjutnya pun bisa ditebak, lelaki yang memang tak pernah merasa puas itu kembali melanjutkan untuk menjamah tubuh menawan, dari gadis yang selama ini ia simpan untuk dirinya sendiri.
Tidak peduli meski Juliet memohon-mohon untuk berhenti karena gadis itu terlalu letih untuk melayani hasratnya.
"Mmmh... memangnya kenapa kalau sudah jam tiga sore?" Tanya Matthew yang masih mengendus kulit Juliet di bagian tulang selangkanya yang menyembul dengan cantik.
"Uung... tidak. Aku hanya asal berucap saja," sahut Juliet yang kembali mengalihkan tatapannya kepada lelaki itu.
Matthew mendengus pelan, ia benci sekali ketika Juliet menyebutkan waktu. Seolah-olah gadis itu berusaha untuk segera menyudahi keintiman di antara mereka.
"Uh, Matthew?! Mau kemana??" Juliet terkejut ketika lelaki itu tiba-tiba saja menggendongnya dan beranjak dari ranjang.
"Mandi," ucap lelaki itu lagi dengan ayunan langkah menuju kamar mandi.
"Aku bisa jalan sendiri," tukas Juliet yang merasa rikuh karena dari tadi lelaki itu selalu saja menggendongnya kemana-mana.
"Tapi aku ingin melakukannya," cetus Matthew santai. "Seharusnya kamu senang karena aku memperlakukanmu dengan lembut, Juliet. Atau jangan-jangan kamu lebih suka diperlakukan dengan kasar, hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...