19 : The Epic Arrival

139 4 0
                                    

Suara deru mobil yang baru memasuki gerbang depan kediaman Matthew membuat Juliet cepat-cepat menyimpan ponselnya ke dalam saku.

Yang barusan tiba adalah salah satu mobil milik Matthew, yang artinya lelaki itu tadi sedang keluar ketika Oma dan Karina menyambangi rumahnya.

Juliet berdecak kecil. Bukankah itu terlalu pas untuk dibilang kebetulan? Ia sangat yakin Oma sengaja datang ke rumah ini ketika cucu kesayangannya itu sedang pergi, agar puas melontarkan hinaan kepada Juliet. Hah, sangat mudah ditebak.

Juliet masih tak bergeming di sofa ruang tamu, sama sekali tidak ada keinginan untuk menyambut Matthew meskipun ia bisa. Dari balik jendela kaca besar bertirai tipis, Juliet bisa melihat Matthew turun dari mobil yang ia kemudikan sendiri.

Seorang pelayan berjalan cepat ke arahnya, memberi anggukan hormat, lalu mengatakan sesuatu kepada Matthew entah apa. Yang pasti hal itulah yang membuat Matthew segera melangkah lebar memasuki rumahnya dengan terburu-buru.

Manik coklat pasirnya sedikit terpaku ketika tanpa sengaja bersirobok pandang dengan seorang gadis yang duduk dengan sikap tenang di sofa ruang tamu.

"Juliet? Kamu ada di sini?" Matthew segera menghampiri untuk mengecup bibir calon istrinya, lalu mengambil posisi duduk berhadapan di sofa single di depan gadis itu.

Ekspresi cemas tergurat jelas di wajahnya yang tampan, dengan sorotnya yang lekat selalu tertuju hanya kepada Juliet.

"Apa barusan Oma kemari?" Tanya lelaki itu.

Juliet mengangguk. "Uh-hum. Bersama Karina juga, mantan tunangan kamu."

Suara gumanan pelan namun tajam yang terdengar seperti sebuah makian pun keluar dari bibir Matthew, saat mendengar perkataan Juliet.

"Apa yang sudah mereka katakan padamu, Muffin?" 

Juliet menarik napas pelan dengan bibir penuhnya yang mencebik. "Karina membanggakan bahwa dulu kamu sangat mencintainya," adu Juliet manja sambil mengelus pipi Matthew. "Membuatku cemburu saja, huh! Menyebalkan."

Matthew sedikit mengerutkan keningnya, namun senyum tipis tak pelak terkulum di bibirnya. "Kamu cemburu? Benarkah?"

"Ya, Matthew. Apalagi Oma juga bilang kalau kalian berdua sudah saling mengenal sejak kecil, dan dulu kamu selalu bersama Karina kemana-mana."

Juliet melepaskan tangannya dari pipi Matthew, dan bersidekap di dada dengan manik yang menyipit curiga. "Apa kamu masih mencintainya?"

Tawa pelan yang menguar dari Matthew membuat bibir Juliet semakin maju mencebik. "Aku baru tahu sisi seorang Juliet Amanda yang cemburu begini. Ternyata sangat menggemaskan sekali."

Matthew pun lalu menarik tengkuk Juliet dan mengecup bibir merah ranum mengundang itu dengan sepenuh hasrat.

"Tunggu, Matthew!" Juliet berusaha mengelak dengan menahan dada Matthew, membuat lelaki itu sejenak menghentikan perbuatannya.

"Apa kamu sengaja tidak menjawab pertanyaanku??"

"Hm? Pertanyaan yang mana?" Sahut Matthew, yang pikirannya sudah tidak bisa fokus pada hal lain, selain bibir merekah Juliet yang rasanya sangat nikmat.

"Apa kamu masih mencintai Karina, Matthew? Kalian kan saling mengenal sejak kecil, bahkan juga sempat bertunangan."

Matthew menggeleng. "Tidak, aku sudah tidak mencintainya lagi karena aku hanya mencintaimu, Muffin. Sekarang apa boleh aku melanjutkan ciuman yang tadi?"

Juliet bahkan belum sempat menjawab, karena Matthew kembali memagut bibirnya tanpa aba-aba. Serangan lelaki itu yang beringas penuh gelora membuat Juliet sedikit gelagapan, meskipun pada akhirnya ia pun berhasil untuk mengimbanginya.

"Ternyata rasanya sangat menyenangkan menjadi seseorang yang dicemburui olehmu, alih-alih selalu menjadi pihak yang cemburu," bisik Matthew di telinga Juliet, ketika sejenak ia menjeda pagutannya untuk memberikan kesempatan bernapas kepada gadis itu.

Juliet hanya bisa menjawabnya dengan desahan lirih, karena Matthew kini telah menyerang sisi lehernya yang sensitif. Kedua tangannya telah mengalung di leher lelaki itu dengan erat.

"Aku menginginkanmu. Sekarang," geram Matthew yang lepas kendali dan tak lagi bisa menahan diri, sembari mengangkat Juliet dari atas sofa lalu menggendong tubuhnya menuju ke arah tangga.

Juliet menggelengkan kepala. "Jangan, Matthew. Kita telah melakukannya berkali-kali tadi sore, dan aku takut akan membahayakan kandunganku jika kita melakukannya lagi hari ini."

Matthew yang sama sekali tidak menggubris perkataannya membuat Juliet sedikit cemas. Apa Matthew benar-benar akan menjamahnya lagi?

Dengan tubuhnya yang bugar, Matthew menggendong Juliet menaiki tangga lebar menuju ke kamarnya tanpa terlihat kesulitan sama sekali, seakan bobot tubuh Juliet hanya seringan bunga.

Lelaki bersurai coat itu pun langsung membaringkan Juliet di atas ranjangnya sesampainya mereka di kamar. Namun alih-alih menaiki tubuh gadis itu untuk berada di atasnya, Matthew malah memposisikan kaki Juliet berada di pinggir ranjang, dengan dirinya yang berlutut di lantai berhadapan dengan kaki Juliet yang telah ia rentangkan dengan lebar.

Juliet mengenakan gaun longgar selutut dengan bagian bawahnya yang agak mengembang, hingga memudahkan Matthew untuk melakukan apa saja.

"Jangan khawatir. Aku hanya akan mencicipi kudapan faforitku saja, Muffin," gumannya seduktif, sembari menatap penuh arti pada secarik kain tipis yang berada di antara kedua kaki jenjang Juliet.

Matthew mengangkat kaki Juliet hingga kini betis rampingnya bertumpu di kedua pundak lelaki itu. Matthew mengelus paha mulus berkulit seputih salju itu dengan gerakan perlahan, memberikan efek merinding sekaligus geli bagi Juliet.

Hingga akhirnya kepala lelaki itu telah tenggelam sepenuhnya di sana untuk memberikan godaan-godaan yang membuat Juliet mendesaukan suara-suara lembut tanpa kata, namun penuh makna kenikmatan di dalamnya.

***

Suara bel yang terdengar di udara membuat gadis yang sedang sibuk membereskan peralatan melukisnya itu tak pelak menoleh ke arah pintu apartemennya dengan perasaan bingung.

Rasanya ia tidak menunggu tamu sama sekali, lagipula tak ada satu pun orang yang mengetahui tempat tinggal sederhananya ini setelah pulang ke Indonesia. Lalu siapa yang mengunjunginya di pagi hari begini?

Kakinya kemudian melangkah ke arah pintu yang tak begitu jauh dari tempatnya sekarang berada. Apartemen yang tidak terlalu luas ini membuat memang membuat pergerakannya jauh lebih mudah, dibandingkan rumah mewah di Kanada yang dulu dimiliki oleh keluarganya.

Rumah yang telah disita oleh Bank Pemerintah karena kebangkrutan bisnis orang tuanya hingga berada di titik yang teramat sangat parah, hingga menguras habis seluruh harta keluarganya.

Kaki gadis itu pun melangkah cepat menuju ke arah pintu. Ia benar-benar waspada sekaligus penasaran siapa yang datang.

Suara kesiap pelan pun lolos dari bibirnya, saat melihat sosok yang berdiri dari balik sana melalui lubang intip.

"Juliet? Sial. Kenapa ia bisa tahu tempat tinggalku??" Gumannya pelan dengan napas tertahan. Sejenak ia ragu untuk membukakan pintu untuk seseorang yang sama sekali tidak ia sukai, namun sebuah suara pun tiba-tiba terdengar.

"Buka pintunya, Karina. Aku tahu sekarang kamu pasti sedang berada di balik pintu dan mengintipku kan?"

'Double sial. Tebakannya tepat sekali,' pikir Karina kesal dan akhirnya membuka kunci geser serta rantai, lalu menarik handle-nya dengan kasar.

Senyum di wajah Juliet pun merekah dengan sempurna, ketika melihat bagaimana gusarnya wajah Karina saat melihat dirinya datang.

"Halo, Karina," sapa riang Juliet sembari mengamati wujud gadis itu yang belepotan cat di kausnya.

"Ck. Ck. Tak kusangka putri seorang bankir terkenal harus susah payah melukis hanya untuk mencari uang receh," tukasnya meledek. "Apa kamu tidak ingin mengajakku masuk? Aku bisa membuatmu kaya raya lagi seperti dulu hanya dalam sekejap, Karina. Sekaligus mendapatkan apa yang kamu inginkan... yaitu mendapatkan Matthew kembali."

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang