Juliet memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur meskipun setiap senti yang ia rasa tak lebih dari sakit luar biasa di sekujur tubuhnya.
Dengan gerakan yang teramat sangat perlahan, gadis itu berusaha berjalan meski tertatih, dengan memegangi setiap perabotan di kamar Matthew yang ia lewati sebagai tumpuan.
Tujuannya adalah meja rias dengan kaca yang menampilkan sepanjang badan.
Gadis itu menatap sedih pada bayangan dirinya sendiri. Yang memantulkan keputus-asaan dan ketidakberdayaan, seakan setiap pori-pori kulitnya meneriakkan rasa sakit dalam keterdiaman lisannya.
Kaki dan tangannya dipenuhi bilur-bilur lebam kebiruan bercampur merah tua, sebuah perpaduan mengerikan yang terpampang dengan begitu kontras di atas kulitnya yang sepucat salju.
Dengan tangan gemetar, gadis itu pun menarik tali pengikat bath robe yang ia kenakan.
Satu cairan bening pun luruh, diikuti oleh beberapa yang ikut jatuh membasahi pipinya, saat bath robe putih itu akhirnya ia lepaskan dan jatuh di bawah kakinya.
Juliet pun seketika menangis lirih.
Tubuhnya yang semula tertutup jubah mandi itu pun kini terpampang begitu jelas melalui cermin yang memantulkan bayangan kesedihan.
Matthew membuat begitu banyak kiss mark yang membabi-buta, lebih menyebabkan rasa sakit dibandingkan rasa nikmat. Lebih banyak menyebabkan lebam membiru daripada merah tua. Bahkan ada beberapa bagian yang pecah dan berdarah.
Juliet tak sanggup berdiri lagi. Tubuhnya luruh ke lantai dalam isak tangis yang makin memburai.
Apakah dosanya begitu besar hingga harus menanggung cobaan seberat ini?
Apakah kesalahannya selama di dunia begitu tak termaafkan hingga harus mendapatkan penyiksaan sekeji ini??
Apakah... apakah...
Apakah sebuah kata maaf yang terucap sanggup menebus semua kesakitan fisik dan guncangan jiwanya, meskipun diucapkan dengan tulus serta ribuan kali?
Apakah dia masih dianggap manusia, jika tak mampu memaafkan?
"Muffin..."
Seketika Juliet merasakan seseorang menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut, seiring dengan suara yang memanggilnya dengan nada lembut.
Juliet menoleh ke belakang, dan maniknya pun bertemu dengan bola mata coklat pasir Matthew ikut berlutut di belakangnya.
"Aku tahu mungkin sudah sangat terlambat, tapi aku tidak akan pernah lelah mengucapkan kata maaf," ucap lelaki itu dengan wajah sendu serta sorot mata yang bergetar.
"Maafkan aku, Muffin. Maafkan aku..."
Air mata Juliet yang semula mengucur dengan deras, seketika berhenti. Seiring dengan hatinya yang juga telah mati untuk Matthew.
"Katakan padaku, Matthew. Jika kamu menjadi diriku, apakah kamu sanggup untuk memaafkan?"
Matthew seketika terdiam dalam naungan manik bening tak berdasar yang menatapnya dengan sorot hampa dan kegetiran yang kental mewarnainya.
Seketika Matthew pun sadar, bahwa Juliet sangat kesakitan dan terluka begitu dalam bukan hanya pada fisiknya, namun juga jiwanya.
Dan itu karena Matthew-lah penyebabnya.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Muffin?" Ucap Matthew akhirnya dengan suara parau penuh penyesalan dan permohonan. "Katakan. Apa yang harus kulakukan agar kamu bisa memaafkanku?"
Juliet tertawa pelan dan membuang pandangannya ke arah depan. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku."
Matthew kembali terdiam. Merutuki kebodohannya dalam hati, dan memahami bahwa Juliet memang memang pantas untuk membencinya karena apa yang telah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...