"Kamu mau makan malam sekarang? Kalau begitu biar aku re-heat lagi steak-nya ya?"
Juliet terkesiap ketika Matthew tiba-tiba menarik pinggangnya, saat ia baru saja hendak mengambil piring steak untuk dibawa ke dapur agar dipanaskan.
Gadis itu pun terdiam tak bergerak saat Matthew mulai menghidu rambut dan wajahnya, hal yang sangat sering lelaki itu lakukan.
"Aku candu pada aroma tubuhmu, Muffin." Suara serak itu seakan mengumumkan sebuah alarm untuk Juliet. "Aku candu pada semua yang ada di dirimu."
"Stop. Nanti kita tidak akan makan malam kalau kamu terus melakukannya." Juliet menjauhkan bibirnya yang hendak dipagut oleh Matthew, dan sedikit mendorong tubuh kekar itu. Dalam hati ia mendesah lega karena Matthew akhirnya melepaskan dirinya.
"Aku yang akan panggil pelayan untuk memanaskan steaknya. Kamu diam di situ saja, Muffin. Jangan terlalu banyak bergerak," perintah Matthew sebelum ia merampas piring steak dari tangan Juliet dan berlalu pergi.
Senyum yang semula merekah di wajah Juliet pun sontak menghilang tanpa bekas, seiring dengan sosok Matthew yang juga telah tak terlihat.
Pandangannya beralih ke lantai, tepat dimana serpihan kaca dan cairan berwarna kuning dan oranye cerah berada.
Hempasan napas pelan pun menguar dari bibir Juliet melihat kekacauan itu, tapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Tak lama kemudian, Matthew pun kembali bersama seorang pelayan yang datang untuk membersihkan lantai bekas pecahan gelas dan fruit punch.
Sembari menunggu steak yang sedang dipanaskan, kedua insan itu pun mengobrol santai di meja makan. Situasi sekitar yang temaram disinari lampu balkon dan lilin, membuat suasananya menjadi hangat dan romantis.
Sekitar lima belas menit kemudian, steak yang ditunggu akhirnya datang.
"Ah, akhirnya. Aku lapar sekali," tukas Juliet sembari menatap steak-nya dengan penuh damba, membuat Matthew tertawa kecil.
"Kamu boleh memakan bagianku juga, Muffin. Ibu yang sedang hamil harus lebih banyak makan, bukan?"
"Noo... aku memang sedang hamil, tapi tidak mau rakus dan membuat bentuk tubuhku jadi tidak karuan," cetus Juliet sedikit cenberut. "Lagipula, ini adalah masakanku sendiri. Masa kamu tidak mau mencobanya?"
Tanpa menunggu lama, Matthew pun langsung melahap steak yang telah ia potong karena tidak ingin mengecewakan Juliet.
"Tekstur dagingnya jadi agak kering karena dipanaskan ulang," guman Juliet sembari menghela napas kecewa.
"Rasanya enak kok," sanggah Matthew dengan mulut penuh. Ia tidak berbohong, karena rasanya memang enak. Memang agak sedikit kering, tapi bumbu dan rasa dagingnya yang mendominasi menutupi kekurangannya.
Mereka pun melanjutkan makan sambil sesekali berbincang ringan. Matthew meraih gelas fruit punch milik Juliet, dan bibirnya menyunggingkan senyum samar saat melihat Juliet yang membuang muka dan terlihat kesal.
Entahlah, untuk kali ini Matthew tidak bisa marah atau pun kesal pada gadis itu. Meskipun Juliet berniat untuk meracuni atau entah apa, tapi di matanya kelakuan Juliet itu mirip seperti seorang anak kecil yang nakal saja, alih-alih seorang gadis berbahaya dengan dendam yang memenuhi dadanya.
Matthew benar-benar telah dibutakan oleh cintanya serta rasa bersalahnya yang begitu besar kepada Juliet. Otaknya seperti dicuci, bahkan Matthew merasa kalau sikap Juliet itu sangatlah wajar selama ia masih bisa memegang kendali.
"Jangan dijatuhkan lagi," cetus Juliet setengah menyindir setengah mengingatkan. "Sekedar info, Fruit punch itu juga aku yang meracik sendiri."
"Oh ya? Hm... rasanya manis dan segar," komentar Matthew setelah mencoba beberapa teguk. "Kamu semakin pintar memasak, Muffin. Semuanya lezat," puji Matthew tulus.
"Benarkah? Kalau begitu aku boleh memasak setiap hari untukmu ya?" Pinta Juliet antusias.
"Boleh. Asalkan hal itu tidak membuatmu kelelahan," sahut lelaki yang tersenyum menggoda, sengaja menggiring opini Juliet ke arah lainnya.
Juliet memutar kedua bola matanya yang indah sembari mendengus sebal. "Satu-satunya yang membuatku kelelahan hanya kamu dan hasratmu yang tak berujung itu, Matthew!" Sungutnya, yang menimbulkan tawa kecil dari bibir Matthew.
Namun lelaki itu seketika terdiam, saat merasakan keanehan di dalam dirinya. Dadanya tiba-tiba serasa sesak seolah oksigen telah dirampas dari muka bumi. Kepalanya pusing, dan napasnya berat dan memburu.
"M-Muffin?" Guman Matthew pelan, sembari menjulurkan tangannya yang merayap pelan di atas permukaan meja, untuk meraih tangan Juliet.
Matthew sadar kalau kali ini ia telah tertipu entah karena Juliet yang bermain peran terlalu baik, ataukah dirinya saja yang begitu bodoh.
Tapi satu yang pasti, Matthew tak bisa kehilangan gadisnya yang cantik sempurna. Ia tak bisa kehilangan Juliet, karena itu akan sama artinya dengan kehilangan napasnya, dan seluruh arti dalam hidupnya.
"Jangan... pergi. Kumohon... tinggallah di sisiku..."
Juliet menatap penuh kemenangan kepada kepala bersurai coklat gelap yang telah terkulai lemas dan rebah di atas meja. Kedua manik lelaki itu telah terpejam erat, menandakan bahwa sang empunya tubuh yang telah kehilangan kesadarannya.
Lalu pandangan gadis itu pun beralih kepada jemari Matthew yang mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat, seakan alam bawah sadar lelaki itu pun berusaha untuk menahan Juliet.
Senyum pun terlukis di wajah cantik namun penuh dendam itu, yang tak lama kemudian perlahan berubah menjadi tawa kecil yang sinis.
Juliet meraih gelas berisi air putih yang tadi dibawakan pelayan untuknya, lalu mengangkat gelas itu lebih tinggi, seolah sedang bersulang dengan seseorang.
Tepat ke arah dimana kamera tersembunyi itu berada.
"Thanks, Darren. Sungguh, aku sangat berhutang budi padamu," ucap Juliet sembari kembali tertawa kecil, dan meneguk minumannya dengan santai hingga tak ada setetes pun yang kini tersisa.
***
Mimpi yang aneh.
Matthew seakan sedang dikejar oleh bayangan hitam yang sangat besar dan menakutkan, dan ia berlari hingga masuk ke dalam hutan belantara yang lebat.
Di sana, tiba-tiba saja ada ular besar yang datang menyergap lalu membelit tubuhnya hingga ia sulit bernapas. Ketika ia mengira kematian akan segera ia jelang kedatangannya, Matthew mendengar sebuah suara lembut yang memanggil-manggil namanya.
Suara tawa renyah itu... Juliet. Itu suara Juliet yang memanggilnya disertai tawa kecil yang sangat manis.
Dan tiba-tiba saja, ular besar yang membelitnya pun menghilang, pun juga hutan belantara yang gelap itu.
"JULIET!!"
Matthew terbangun dan terduduk di atas tempat tidur dengan peluh yang penuh bercucuran di sekujur tubuhnya. Napasnya sesak dan menderu dengan ribut, seakan sebuah batu besar telah menutup saluran pernapasannya.
Sengatan nyeri yang begitu hebat menyerang setiap pori-pori pembuluh darah di kepalanya, membuat satu erangan panjang penuh kesakitan menguar dari bibirnya.
Sembari mengurut kening dan memejamkan mata, Matthew pun merebahkan diri lagi di atas ranjang.
"Juliet...," gumannya pelan, menyuarakan isi hatinya yang pedih. Mungkin gadis itu telah terlepas dari sisinya dan entah dimana dia saat ini, tapi Matthew tahu bahwa Juliet tidak akan jauh. Dan Matthew akan menemukannya kembali.
Namun lelaki itu tersentak kaget saat merasakan sebuah tangan halus yang memeluknya dari samping. Seketika wajah muram itu pun berubah bahagia. Ternyata Juliet tidak meninggalkannya!
"Muf... fin??" Dan wajah bahagia itu pun kembali berubah, namun kali ini penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan yang nyata terlihat.
Bukan Juliet yang memeluknya!
"Halo, Matthew. Tadi itu sangat luar biasa, Sayang. Aku menyukainya. Ayo kita ulangi bercinta sekali lagi," ucap Karina yang langsung menaiki tubuhnya sambil tersenyum menggoda.
Seketika Matthew pun sadar, bahwa baik dirinya maupun Karina... sama-sama tanpa busana satu pun yang melekat di tubuh mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...