Juliet sedang menunggu di luar ruangan praktek pribadi Dokter Kevin, menunggu Matthew yang berada di dalam sana. Julietlah yang lebih dulu masuk untuk berkonsultasi, bergantian dengan Matthew.
Tujuan Dokter Kevin adalah agar dapat mengetahui permasalahan dari setiap sisi, itu sebabnya ia memisahkan kedua pasiennya itu.
Suara pintu yang terbuka, membuat Juliet mengalihkan tatapannya ke arah sosok lelaki yang keluar dari sana.
Juliet pun berdiri dengan senyuman yang terkembang, ketika melihat bahwa Matthew telah keluar dari ruang konsultasi dan langsung melangkah menghampirinya.
"Apa sudah selesai?" Tanya Juliet.
Matthew mengangguk sembari mengagumi seraut wajah cantik yang semakin bertambah cantik akhir-akhir ini. Kehamilan ini membuat wajah dan kulit Juliet terlihat bersinar alami.
"Lalu apa yang dikatakan dokter?" Tanya Juliet lagi penasaran.
"Hm. Dia bilang kamu hebat sekali, sangat kooperatif dan fokus," sahut Matthew sambil meraih jemari lentik Juliet dan mengecupnya sekilas sebelum menggenggamnya erat.
Manik hitam Juliet terlihat meredup mendengarnya. "Itu karena aku ingin cepat sembuh," ucapnya pelan. Ia ingin melepas beban berat yang terasa menggantung di dadanya. Menghapus semua kenangan akan rasa sakit dan benci. Memberi ruang lebih untuk hal-hal baik yang akan diberikan oleh hidup selanjutnya.
"Kevin sangat optimis kalau kamu akan segera sembuh dalam waktu singkat, Muffin."
"Semoga saja, karena sangat melelahkan menjadi diriku bahkan hanya untuk semenit saja," ucap Juliet muram, yang langsung dihadiahi sebuah pelukan hangat dari Matthew.
"Kamu tidak akan pernah sendirian karena ada aku yang akan selalu di sini untuk menggenggam tanganmu. Aku akan terus di sampingmu dan berjalan bersamamu, Muffin. Bahkan malam yang tergelap sekali pun tak kan pernah merasa kesepian, karena ia tahu bahwa di suatu sudut sana, ada ribuan bintang yang menemaninya. Entah terlihat ataukah tidak, tapi kehadiran mereka ada dan nyata."
Matthew terdiam sesaat, sebelum kemudian ia kembali berucap dengan nada yang jauh lebih lembut. "Tak peduli segelap apa pun malammu, biarkan aku yang menjadi bintang untukmu, Muffin. Biarkan aku hadir meski terkadang cahayaku mungkin tak mampu untuk menerangimu. Tapi satu hal yang pasti, bahwa aku akan selalu ada dan nyata. Hanya untukmu."
Juliet menatap Matthew dengan maniknya yang telah berkaca-kaca. Ia menatap wajah tampan yang masih biru lebam terluka karena pukulannya yang membabi-buta.
Sebutir air mata yang tak mampu ia tahan pun luruh, diikuti oleh butiran-butian lain yang mengalir membasahi wajahnya. Setiap kalimat Matthew bagaikan air hujan dingin yang mengguyur jiwanya yang kering kerontang bagai hutan meranggas di musim panas.
Ia ingin sekali mengucapkan selamat tinggal pada dirinya yang lama, namun kenapa rasanya begitu berat? Juliet merasa dirinya seolah bagai terbelah dua.
Satu sisi ingin melangkah maju tanpa pernah lagi melihat ke belakang, namun satu sisi lagi merasa berdosa jika melupakan masa lalu. Seakan ia telah mengkhianati bagian dirinya yang paling kesakitan dan yang paling menderita.
Gadis itu pun mulai terisak pelan dan sesenggrukan di dada Matthew. Kedua tangannya memeluk leher lelaki itu erat. Sungguh ia pasrah untuk saat ini, karena merasa tak mampu untuk berbuat apa pun.
"Ssh... jangan menangis, Muffin," bisik Matthew pelan di telinga Juliet. "Hari ini aku ingin sekali mengajakmu berkencan. Sebutkan keinginanmu untuk tujuan kencan kita, dan akan kukabulkan itu apa pun juga."
***
"Matthew, lihat!" Juliet memekik gembira ketika ia melihat perahu yang sedang tertambat di pinggir danau buatan. Ada beberapa perahu kosong yang tertambat di sana, yang bisa digunakan dengan bebas oleh pengunjung tempat wisata.
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...