29 : The Funeral

129 4 0
                                    

"Morning, Muffin."

Juliet tersenyum ketika merasakan kecupan bertubi-tubi yang mendarat di ubun-ubun kepalanya, menyertai sebuah pernyataan sebelumnya.

Ia sedang terlelap berada di dalam pelukan hangat Matthew, saat lelaki itu tiba-tiba saja membangunkannya dengan memberikan hujan kecupan di wajah.

"Ayo kita turun untuk sarapan. Hari ini aku mengambil cuti tiga hari menjelang pernikahan kita," bisik Matthew di telinga Juliet.

"Aku masih mengantuk," desah Juliet manja dan semakin menyurukkan wajahnya di dada Matthew tanpa mau membuka mata, membuat Matthew gemas dan menggigit lembut daun telinganya.

"Jangan terlalu menggemaskan, Muffin. Aku bisa khilaf dan menyantapmu hingga lima ronde pagi ini."

Juliet pun sontak membuka kedua matanya yang terbelalak ngeri menatap Matthew, namun berdecak sebal saat mendengar tawa lelaki itu.

Matthew yang mengatakan akan menyantapnya hingga lima ronde membuat gadis itu ketakutan, mengira lelaki itu serius di balik alunan suaranya yang terdengar dingin.

Juliet membiarkan Matthew menghidu kulit lehernya sembari sesekali menyesap. Ia tahu lelaki itu sedang menahan diri karena tidak ingin membuat Juliet kelelahan dan membahayakan kandungannya.

"Hari ini kamu mau jalan-jalan?"

Juliet berpikir sebentar, dan beberapa saat kemudian ia pun menggeleng. "Aku ingin di rumah saja," sahutnya yakin.

"Kamu tidak ingin berbelanja? Atau mungkin berwisata?" Tanya Matthew lagi penuh harap. Hari ini dia sedang mood untuk jalan-jalan dengan Juliet, dan berharap kalau calon istrinya itu mau berubah pikiran.

"Sebenarnya ada satu tempat yang ingin sekali aku kunjungi," ucap gadis itu, namun terlihat ragu untuk mengungkapkan keinginannya.

"Kalau begitu ayo kita ke sana," cetus Matthew langsung.

"Tapi aku belum mengatakan nama tempatnya," sanggah Juliet.

Matthew tertawa singkat tanpa suara dan mendaratkan sebuah kecupan di kening calon istrinya. "Kalau begitu katakan."

Juliet mengerjap ragu, namun kemudian memutuskan untuk mengatakannya juga.

"Ke makam ayah dan ibu. Aku ingin menjenguk mereka berdua sebelum menikah. Juga mengunjungi makam kedua orang tuamu," ungkap Juliet yang membuat Matthew sangat terkejut dan terpaku.

"Apa kamu bersedia untuk pergi bersamaku, Matthew?"

***

"Halo, ayah. Halo, ibu."

Gadis bergaun hitam itu menaruh dua buket mawar putih pada dua batu nisan masing-masing dengan posisi yang saling berdampingan.

Maniknya yang besar mulai berkilau karena cahaya matahari pagi yang bersinar, memantulkan cairan bening yang tengah mengembun di sana.

"Maaf aku baru sempat datang setelah sekian lama," ucapnya lagi dengan nada pelan. Gadis itu kemudian menoleh kepada lelaki yang berdiri diam di sampingnya, lalu Juliet pun menggenggam tangannya.

"Aku berkunjung kemari sekaligus ingin memperkenalkan lelaki ini, dia adalah calon suamiku. Ayah sangat mengenalnya, kan?" Ucap Juliet lagi sembari tertawa kecil. "Dulu ayah sering sekali bercerita segala hal tentang Tuan Muda Matthew juga."

Matthew, lelaki yang sedang berdiri di samping Juliet itu pun sontak menatap calon istrinya dengan kening berkerut penuh tanya.

"Dulu ayah juga pernah bilang, jika kelak aku mencari suami, maka carilah yang tak terlalu jauh berbeda dari Tuan Muda Matthew. Lihatlah, ayah. Orang yang ayah jadikan tolok ukur untuk kriteria suamiku sekarang malah berdiri di sini, sebagai calon suamiku. Seandainya saja ayah masih hidup, pastilah saat ini ayah sangat bangga kan?"

Matthew hanya mendengarkan semua perkataan Juliet masih dalam keterdiaman lisannya. Lelaki itu bahkan tidak tahu apa yang dirasakan oleh hatinya saat ini.

Sebuah kemarahankah seperti masa lalu? Atau jangan-jangan ia malah sudah memberikan maaf ketika jatuh cinta dengan begitu dalam kepada Juliet?

Tapi Matthew tidak berusaha untuk mencari tahu, dan memilih untuk membiarkan setiap lembar kisah di masa lalu terbang dan menghilang tertiup oleh angin waktu.

Babak baru kehidupannya akan segera dimulai bersama Juliet Amanda, gadis yang tak pernah ia sangka telah mengisi relung kosong di dalam hatinya.

Pak Bayu.

Dulu yang Matthew ingat, lelaki itu sangat ramah dan selalu tersenyum. Juliet pun mewarisi senyum lelaki itu, yang dulu membuat Matthew begitu membencinya dan selalu melarang gadis itu tersenyum di depannya.

Tapi sekarang, Matthew justru tak akan sanggup menghirup udara tanpa senyuman secerah mentari dan secantik bidadari milik Juliet.

"Ayo, Matthew. Ucapkanlah sesuatu pada ayah dan ibu mertuamu," pinta Juliet dengan suara lembutnya yang membuat lamunan Matthew seketika terhempas.

Lelaki itu pun seketika mendehem pelan. "Halo, Pak Bayu dan Bu Dahlia," ucapnya mulai membuka kata untuk kedua orang tua Juliet. "Namaku Matthew Wiratama, calon suami dari putri kalian, Juliet."

"Aku hanya ingin berterima kasih untuk membawa calon istriku ini ke dunia, agar aku temukan dan sayangi sepenuh hati. Dan aku juga ingin meminta maaf untuk semua tindakan semena-mena serta tak manusiawi yang telah kulakukan kepada Juliet sebelumnya. Maafkan aku. Mulai sekarang, aku akan menjaga baik-baik putri kalian serta buah hati kami yang berada di dalam rahimnya."

Juliet tersenyum simpul dan mengecup pipi Matthew. Perbuatan tiba-tiba gadis itu pun tak pelak membuat Matthew sejenak tertegun dan menoleh ke arah Juliet.

"Ucapanmu manis sekali. Terima kasih, Matthew," ucap Juliet dengan kegembiraan yang terpantul di dalam maniknya yang legam.

"Sama-sama, Muffin," sahut Matthew sambil tersenyum dan mengusap rambut panjang Juliet penuh rasa sayang.

"Kamu sudah selesai, atau mau lebih lama di sini?" Tanya Matthew kemudian.

"Uhm... sepertinya sudah selesai. Rasa kangenku sudah cukup terobati sekarang." Juliet menyahut sembari tak melepaskan tatapannya dari kedua nisan tersebut.

Kedua insan berwajah rupawan itu pun kemudian berjalan keluar dari kompleks pemakaman sederhana, dengan saling bergandengan tangan menuju parkiran mobil.

"Sekarang kamu mau kemana lagi, Muffin?" Matthew bertanya kepada Juliet sembari menghidupkan mesin mobilnya. "Ini sudah hampir masuk jam makan siang. Bagaimana jika kita mencari resto yang enak dan nyaman? Kamu mau makan apa, hm?"

"Bagaimana jika sebelumnya kita mengunjungi makam kedua orang tuamu terlebih dahulu?" Usul Juliet tiba-tiba.

Perkataan Juliet sontak membuat kedua tangan Matthew mencengkram setir kuat-kuat, seakan ingin meremukkan benda itu. Kenangan masa lalu pun seketika menerjang masuk ke dalam pikirannya, membuat napas Matthew terasa sesak.

Bagaimana pun, sedewasa apa pun usianya ketika ia mendengar pengakuan tidak tahu malu ibunya yang telah berselingkuh dengan ayah Juliet... batin seorang anak di dalam dirinya akan selalu hancur jika mengingatnya.

"Tidak perlu," sanggah dingin Matthew untuk pertanyaan dari Juliet barusan. "Kapan-kapan saja kita ke makam mereka, Muffin. Sekarang sebaiknya--"

"Kenapa? Apa kamu malu memperkenalkan aku sebagai calon istrimu?"

"Tidak. Bukan begitu, Muffin. Aku tidak akan pernah merasa malu memperkenalkanmu pada siapa pun. Aku bahkan sangat bangga memiliki calon istri secantik dan seanggun kamu. Hanya saja..."

"Apa? Hanya saja apa?" Tanya Juliet lagi.

Matthew mendesah pelan. "Hanya saja, ada satu masalah yang hingga saat ini belum kutemukan solusinya, yang berkaitan dengan kedua orang tuaku," ucap lelaki itu akhirnya.

"Hm. Apa itu ada hubungannya dengan perselingkuhan antara ayahku dan Nyonya Kayana Wiratama, ibumu?" Ucap Juliet yang membuat Matthew terkejut dan refleks menekan pedal rem di mobilnya.

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang