55 : The Apology

80 2 0
                                    

"Halo, Oma."

Pergerakan dari tangan berkeriput yang lincah memotongi tangkai bunga itu pun terhenti, ketika mendengar sebuah suara yang memasuki area kebun tengah menyapanya.

Wajah wanita tua itu pun menengadah, dan mengernyit saat menyadari bahwa yang datang adalah seseorang yang paling ia tidak sukai.

"Maaf jika mengganggu waktu santai Oma. Tapi, bisakah kita bicara?" Ucap suara itu lagi, yang kali ini terdengar sarat akan permohonan.

Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Oma Anita. Hanya sebuah tatapan tajam dan menusuk yang ia berikan untuk sosok wanita yang berdiri di depannya.

"Siapa yang mengijinkanmu untuk berdiri di depanku dan mengajukan pertanyaan tak tahu malu seperti itu?" Sentak Oma Anita kesal. Ia mengacungkan gunting untuk memotong bunga. "Pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyakitimu!"

"Oma, kumohon. Beri waktu untukku mengungkapkan apa yang ingin kukatakan," ucap wanita itu lagi dengan manik beningnya yang berkaca-kaca.

BRAKK!!

Wanita tua itu membanting gunting di tangannya dengan kasar ke atas meja. Sebuah dengusan keras menyatakan bahwa dirinya murka, tapi tampaknya wanita yang tengah mengandung anak dari Matthew ini tak kalah keras kepala dengannya.

Oma Anita bahkan dengan tegas menolak untuk hadir di acara pernikahan cucunya itu dengan wanita ini beberapa hari yang lalu. Ia benci sekali dengan Juliet Amanda, wanita yang kini juga ikut menyandang nama Wiratama.

Juliet telah membuat hubungannya merenggang dengan Matthew. Lalu dengan seenaknya datang ke rumahnya dan meminta waktunya?

"Keluar," geram Oma Anita gusar. "Jangan membuatku menyakitimu secara fisik, Juliet! Keluar!"

Suara bentakan keras itu membuat dua orang pelayan yang bekerja di kediaman Oma Anita pun tersentak kaget, dan berlari ke arah kebun belakang untuk melihat apa yang tengah terjadi dengan majikannya.

Namun mereka pun terkesima dan tak bergeming dengan pemandangan yang dilihat ketika telah sampai di area kebun, menyadari bahwa sesuatu yang serius tengah terjadi.

Nyonya Muda Wiratama yang baru saja datang itu saat ini sedang duduk bersimpuh di lantai di hadapan Nyonya Besar Wiratama!

"Oma, aku minta maaf jika kemarin-kemarin sikapku keterlaluan dan membuatmu gusar. Maafkan aku, Oma. Oma boleh menghukumku dengan apa pun, tapi jangan kucilkan Matthew. Dia sangat menyayangi dan terluka karena Oma tak lagi mengganggapnya seorang cucu." Juliet berhenti sebentar untuk menyeka air mata yang luruh ke pipinya.

"Oma boleh membenciku, tapi tolong jangan benci Matthew. Hanya Oma yang dia miliki sekarang, tolong jangan sia-siakan hal yang berharga lebih dari apa pun di dunia ini yaitu keluarga."

Juliet tak bergeming dari posisinya sekarang, bertekad kuat untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Hatinya ikut sakit ketika beberapa kali menangkap lamunan Matthew, dan kesedihan suaminya itu saat acara pernikahan mereka yang tidak dihadiri oleh Oma, meskipun Matthew sudah mencoba untuk menutupinya.

"Kami sudah menikah Oma, apakah... apakah hal itu begitu sulit untuk diterima?" Ucap Juliet pelan.

"Selama ini Matthew selalu menuruti semua ucapanku, bahkan lebih menurut dibandingkan kepada ibunya," ucap Oma Anita. "Sebelum ibunya berselingkuh dengan ayahmu, dan mereka semua tewas dengan membawa serta Ibram!" Jerit Oma Anita, kala mengingat kejadian naas yang merenggut nyawa putranya.

Juliet pun tercenung, menyadari bahwa bukan saja Matthew dan dirinya yang remuk hatinya, tapi juga Oma. Ia telah kehilangan putranya, buah hatinya, Ibram Wiratama.

Bahwa Matthew, Oma dan dirinya adalah orang yang sama-sama terluka dan hancur.

Setelah kejadian itu, Matthew menarik Juliet ke dalam kehidupannya. Menuntaskan dendam berbalut luka yang berkecamuk di hatinya kepada Juliet.

Sebuah dendam yang gelap dan kelam, namun tanpa disadari telah menautkan pita merah di tangannya yang tersambung dengan tangan Juliet.

Pita merah yang telah menghubungkan dua jiwa yang sama-sama hancur dan rusak, untuk sama-sama saling mengobati dan pelan-pelan menyusun kembali kepingan-kepingan hati mereka satu demi satu.

Pita merah itu, yang dinamakan takdir.

Bahkan Juliet pun tak pernah menyangka bahwa ia akan sampai di taraf ini. Berlutut dan memohon demi Matthew. Merendahkan diri demi ayah dari anak yang ia kandung.

Kini Juliet sadar, bahwa cinta ternyata yang telah tumbuh untuk Matthew di atas semua penderitaan dan kebencian yang ia rasakan.

Tak ada yang mengatakan bahwa Matthew benar atas sikapnya di masa lalu. Tapi Juliet begitu buta saat melihat bagaimana lelaki itu memohon maaf dengan begitu tulusnya.

Dirinya kembali terbayang saat Matthew bahkan rela menelan air yang dikira beracun, hanya karena Juliet yang memintanya.

Sebuah pernyataan yang begitu jelas tanpa kata, bahwa Matthew sangat, sangat menyesali atas semua perbuatannya. Bahwa nyawa pun rela ia berikan jika memang Juliet menginginkannya.

Hati Juliet kini begitu lapang dan lega setelah memaafkan. Kebencian bagai batu karang keras itu telah terkikis oleh gelombang air yang datang. Keangkuhan hati yang dipenuhi dendam itu sedikit demi sedikit telah memudar karena bantuan dari waktu yang terus berjalan.

Sangat sulit menjadi seseorang yang pemaaf, tapi dunia pun seketika berada di perspektif yang berbeda ketika dirimu telah sampai di taraf itu.

"Anakku, putraku... dia telah disakiti oleh perselingkuhan istrinya dan ayahmu! Dan dia pun harus ikut meregang nyawa dalam kecelakaan itu! Kenapa tidak istri dan selingkuhannya saja yang mati?! Kenapa Ibram juga harus tiada?!! Dia tidak bersalah! Anakku adalah korban!"

Oma Anita menjerit histeris sembari melempar semua bunga yang telah ia rangkai dengan membabi-buta, hingga beberapa tangkainya mengiris kulit wajah Juliet.

Namun rasa perih itu tak ia rasa karena perih di hati Juliet yang lebih meraja, melihat bagaima Oma terisak lirih setelahnya.

Tanpa berkata apa-apa, Juliet pun berdiri dan berlari ke arah wanita tua yang biasanya selalu kokoh dan tangguh itu, kini terlihat lemah dan rapuh.

Juliet telah kehilangan papanya, Matthew kehilangan kedua orang tuanya, dan Oma kehilangan putra tercintanya.

Sebuah kenyataan pahit dan entah kapan semua luka itu akan benar-benar sembuh. Mungkin tidak akan pernah, entahlah.

Dan entah bagaimana sekarang bentuk serta rupa hati mereka yang didera tajamnya ribuan duri-duri yang menusuk.

Tapi kondisi Matthew dan Juliet sekarang telah ikhlas dan saling memaafkan, dan Juliet pun ingin menarik tangan Oma agar mereka semua berada di ruang yang sama.

Tanpa ragu, Juliet memeluk tubuh tua berbalut gaun elegan itu dengan erat. Mencoba untuk memberikan sepotong hatinya agar gersangnya jiwa yang dingin Oma menjadi sedikit hangat.

Karena sejatinya setiap manusia memiliki pergolakan batinnya masing-masing, memiliki perjuangannya sendiri, kesedihannya sendiri.

Karena sebenarnya setiap jiwa adalah susunan dari perasaan yang rapuh dan mencoba untuk menguatkan diri agar tidak luruh dan terserak.

Oma masih menangis di dalam pelukan Juliet, untuk kali ini ia tak mampu membendung derasnya air mata yang berjatuhan bagai hujan besar yang turun dari langit.

Akankah tembok keangkuhan itu telah runtuh? Akankah permintaan maaf Juliet pada akhirnya mampu menyentuh?

Kedua wanita berbeda usia yang saling berpelukan dan menangis itu pun sama-sama tak tahu jawabannya. Semua diserahkan kepada takdir, pemegang kendali untuk segala upaya dan usaha.

Satu yang pasti, kehidupan ini tak kan lepas dari segala tempaan dan kesedihan yang akan merobek batinmu. Tapi selama masih ada cinta dan hati yang tulus memaafkan serta merelakan, maka rasa sakit itu selayaknya akan perlahan menghilang.

Semoga.

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang