"Sebagai penyebab utama dari semua rumitnya masalah kejiwaan yang dialami Juliet, sudah seharusnya kamu sangat bersyukur karena gadis itu masih mau berusaha untuk memaafkanmu, Matthew."
Sindiran telak itu membuat Matthew memejamkan kedua manik coklat pasirnya. Penyesalan yang teramat dalam seolah menghujam ke dalam rongga dadanya, merobek setiap senti dinding-dinding hatinya, serta melemahkan seluruh tulang dan ototnya hingga tak berdaya.
"Aku tahu, Vin." Helaan napas yang berat menguar dari bibir Matthew. "Aku memang si brengsek yang sangat beruntung."
Dokter Kevin, yang juga merupakan sepupu jauh Matthew dan kebetulan adalah Dokter Ahli Jiwa atau Psikiater itu menatap Matthew lurus-lurus.
"Aku bisa melihat refleksi penyesalanmu, dan itu bagus. Juliet itu... dia bukan hanya hancur, tapi juga sudah kehilangan inti jati dirinya. Mood-nya yang naik turun adalah disebabkan ledakan hormon kehamilan sekaligus trauma mendalam atas ketidakberdayaan dan siksaan yang setiap hari ia terima selama bertahun-tahun."
Matthew mendengarkan semua penuturan Dokter Kevin dengan hati yang patah. Betapa melihat orang yang kita cintai sedang menderita adalah siksaan nyata yang juga tak kalah beratnya. Apalagi jika diri kita sendirilah penyebabnya.
Dokter Kevin kemudian menulis beberapa kalimat di atas kertas kecil. "Aku akan meresepkan obat antidepresan yang aman untuk ibu hamil. Aku pun ikut bersyukur karena Juliet sangat mudah untuk diajak bekerja sama. Biasanya pasien dengan gangguan jiwa jarang sekali yang sekooperatif itu."
"Lalu aku harus bagaimana, Vin?" Tanya Matthew. "Apa yang harus aku lakukan untuk Juliet?"
Dokter Kevin menepuk pundak Matthew pelan penuh simpati. "Sebenarnya kamu tidak perlu melakukan apa pun, aku sangat optimis Juliet bisa sembuh. Kamu hanya perlu menjadi support system terbaik dan selalu bisa diandalkan untuknya," ucap Kevin.
"Dan jangan biarkan dia memukulimu lagi, mengerti?!" Kevin berdecak tak habis pikir melihat wajah babak belur Matthew.
Matthew menggeleng pelan. "Aku pantas mendapatkannya dan dia pantas untuk membalas semua kesakitan yang kusebabkan."
"Itu salah, Matthew! Dengan begitu Juliet akan semakin sulit untuk memaafkan. Dia akan selalu melampiaskan kegusarannya dengan kekerasan, dan itu salah!" Tandas lelaki itu lagi.
"Lalu aku harus apa untuk meringankan rasa sakit yang diderita Juliet?" Tanya Matthew lirih. "Aku merasa tidak berguna, Kevin. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya."
"Baiklah. Kalau begitu bagaimana jika kamu perlahan mengembalikan apa yang sebelumnya kamu rampas dari Juliet?" Tukas Kevin mencoba memberi solusi.
"Dengan apa?" Cetus Matthew hampa. "Seandainya saja bisa, tapi semua yang kurampas darinya tak bisa dikembalikan."
"Ck. Tentu saja tidak semuanya, Matthew. Juliet berada di dalam kekuasaanmu di usianya ke 16 tahun bukan? Cobalah untuk mengembalikan usia 16 tahun itu kepadanya."
"Lalu bagaimana caranya?" Tanya Matthew dengan kening yang mengernyit dan alis lebatnya yang saling bertaut, menggambarkan kebingungan lelaki itu.
Kevin mengedikkan bahunya ringan. "Remaja berusia 16 tahun itu biasanya sedang masa-masanya dekat dengan lawan jenis, atau berpacaran... kurang lebih begitu. Bawa masa-masa itu kembali. Ajak dia berkencan lebih sering lagi," usulnya.
"Aku hanya pernah sekali mengajak Juliet berkencan," ungkap Matthew sendu.
"Oh ya? Lalu bagaimana kencan kalian berdua waktu itu?"
"Aku mengajaknya naik helikopter ke sebuah pulau pribadi," cetus Matthew yang seketika teringat saat kencan pertamanya, saat ia mulai merasakan perasaan yang berbeda untuk Juliet.
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...