"HUEEKKKH!!"
Rasanya seperti ada yang meninju ulu hatinya, dan membuat isi perutnya menyembur keluar tanpa menyisakan sedikit pun.
Juliet hanya bisa pasrah ketika sejak beberapa jam yang lalu serangan emesis atau mual-mual di awal kehamilan melandanya dengan tiba-tiba, padahal sudah cukup lama ia sudah tidak merasakannya lagi.
Juliet hanya bisa pasrah ketika yang keluar dari perutnya kini hanyalah cairan kental kekuningan yang merupakan cairan lambungnya, menandakan bahwa tak ada lagi yang bisa ia muntahkan karena isi perutnya telah terkuras.
Juliet meletakkan satu tangannya yang gemetar kelelahan di atas perutnya yang sejak tadi bergejolak tanpa henti.
"Bertahanlah, Sayang. Kita pasti bisa melalui ini semua... Mama di sini, anakku..." ucapnya dengan bibir kering dan sepucat kertas dan pandangan nanar karena berkunang-kunang.
Kelopak matanya hampir menutup, karena sekedar untuk membuka sedikit saja rasanya begitu berat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri.
Juliet terduduk di atas lantai kamar mandi yang dingin, dengan wajah menumpu lemas di atas dudukan kloset. Ia seharusnya meminta bantuan kepada seseorang, namun di apartemen ini dia hanya seorang diri.
"Virgo...," ucapnya menyebut sebuah nama dengan nada pelan. Hanya Virgo satu-satunya yang ia kenal di negara ini dan yang bisa diandalkan. Tapi masalahnya, Virgo tidak ada di sini.
Juliet memutuskan untuk bergerak keluar dari kamar mandi. Ia harus mencari ponselnya untuk menelepon Virgo segera. Namun alih-alih bergerak, Juliet malah kembali memuntahkan cairan kekuningan itu lagi, dan lagi, dan lagi.
Rasa sakitnya kini sudah terasa di luar batas tubuhnya dapat menerima, hingga akhirnya tabir kegelapan pun mengambil alih kesadarannya yang memang telah menipis.
***
"Maaf, Pak Matthew Wiratama. Tapi Anda dilarang masuk ke lingkungan bandara."
Matthew mengernyit menatap petugas bandara yang mendatangi mobilnya di gerbang masuk kompleks bandara. Lelaki berseragam itu menunduk penuh hormat dengan sikap yang sopan kepada Matthew, namun sayangnya perkataannya membuat semua sikap hormatnya menjadi tak berarti di mata Matthew.
"Apa maksudmu?!" Sergah Matthew antara kaget dan gusar lewat kaca jendela mobilnya yang terbuka. Ia membuka kaca mata hitamnya, hingga manik coklat pasir itu menyorot tajam dan dingin ke arah petugas yang yang terlihat mengkeret takut.
"Maaf, tapi saya hanya menjalankan perintah, Pak Matthew."
"Siapa yang memerintahkan?!!"
"Saya kurang tahu, karena ini langsung dari atasan," sahut petugas itu lagi dengan nada meminta maaf.
"Oma," desis geram Matthew sembari mengumpat pelan. "Pasti ini semua perbuatan Oma!"
Matthew mulai memutar mobilnya menjauhi pintu masuk bandara setelah sebelumnya ia menggebrak setir mobil untuk melampiaskan rasa frustasinya.
Lelaki itu tidak menyangka jika seorang Anita Wiratama masih memiliki kekuasaan yang cukup besar, hingga bisa mempengaruhi otoritas bandara.
Matthew segera menghubungi beberapa orang untuk mengatur sebuah rencana baru dalam rangka untuk menemukan keberadaan Juliet serta mengatasi restriksi akses bandara oleh Oma.
Alih-alih saling adu kekuatan dengan Oma agar ia dapat menggunakan transportasi udara, Matthew memiliki rencana lain dengan transportasi yang lain.
Untuk saat ini, ia akan membiarkan Oma merasa menang dalam adu kekuatan dan kekuasaan ini. Fokus Matthew hanyalah menemukan Juliet dalam waktu yang singkat, untuk masalah lain tidak akan ia pikirkan dulu.
Matthew pun kemudian memutar kemudinya ke arah jalanan menuju ke lokasi pelabuhan. Ia tahu kalau Oma tidak memiliki koneksi dengan otoritas laut, dan hal itu bisa menjadi poin penting bagi Matthew.
Beberapa jam kemudian, Matthew kini telah berada di sebuah kapal pesiar mewah yang sedang membelah lautan lepas yang sangat luas.
Lelaki itu menatap laut di kejauhan sepanjang mata memandang. Manik coklat pasirnya menerawang jauh, lalu sejenak mengerjap. Ia sedang berpikir, sedang apakah Muffin-nya sekarang? Jarak yang terbentang di antara mereka terasa begitu menyakitkan baginya.
Matthew mengangkat satu tangannya yang tanpa ia sadari tengah terkepal dengan kuat, lalu perlahan membukanya.
Apakah selama ini ia telah menggenggam terlalu erat? Apakah Juliet akan suka rela berada di sisinya jika tangan ini tidak memegang dengan cara paksa?
Tapi masalahnya, Matthew tidak ingin kembali kehilangan. Ia tidak suka dan benci ditinggalkan. Tanpa Juliet di sisinya, semuanya tak bermakna.
Karena arti seorang Juliet telah merasuk ke dalam sukma, sebuah penderitaan yang sangat besar jika Matthew tidak bisa melihat senyum di wajah cantik itu lagi.
Ia baru tahu bahwa seseorang bisa gila karena cinta, ia baru merasakannya. Semua perasaannya kepada Juliet seakan memakan dirinya hidup-hidup, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.
Ia rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan Juliet kembali.
Suara getar dari ponsel membuat pikiran Matthew terlontar dari lamunannya. Dengan segera, ia pun meraih benda yang berada di sakunya itu lalu melihat sekilas sebuah nama yang tertera di layar. Sebuah pesan telah masuk, dan Matthew pun buru-buru membukanya.
Secarik senyum puas telah terukir di bibirnya, ketika lelaki itu baru saja mendapatkan informasi tentang keberadaan Juliet setelah mengerahkan seluruh sumber daya yang ia miliki.
"Akhirnya sebuah kabar baik datang juga. Ternyata kamu berada di sana ya? Baik. Tunggulah aku, Muffin. Aku akan segera mendekap tubuhmu tak lama lagi."
***
"Juliet? Apa kamu bisa mendengar suaraku?"
Suara itu seakan terucap dari kejauhan untuk ditangkap oleh telinga Juliet. Seakan Virgo berada begitu jauh darinya, namun anehnya juga terasa begitu dekat.
Juliet berusaha membuka kedua kelopak matanya yang berat seperti ditimpa batu. Sejenak, ia berusaha memfokuskan pandangannya yang blur tidak jelas. Serangan nyeri hebat di kepalanya membuat bibirnya merintihkan sebuah gumanan lirih.
"Jangan memaksakan diri, Juliet. Perlahan saja," ucap suara itu kembali.
"A-anakku?" Dengan masih menutup mata, Juliet berusaha untuk mengeluarkan suara meski terbata, demi menanyakan hal yang mencemaskannya.
"Anakmu baik-baik saja, Juliet. Jangan khawatir. Bahkan kondisinya sangat sehat, berbanding terbalik dengan ibunya," sergah suara itu lagi disertai sebuah tawa kecil penuh kelegaan.
"Kamu mengalami GERD," ucap suara itu lagi. "Kondisi yang bisa terjadi pada kehamilan karena peningkatan hormon estrogen dan progesteron di dalam tubuh."
"Mulai sekarang, kamu tidak bisa tinggal sendirian lagi. Aku akan menemanimu di apartemen."
Suara-suara itu merasuk ke dalam alam pikiran Juliet, membuatnya kembali berusaha untuk membuka mata dan memfokuskan diri pada sosok lelaki di depannya.
Meskipun lagi-lagi nyeri membuatnya napasnya terasa sesak, namun Juliet merasa bersyukur bahwa dirinya kini telah berada di rumah sakit. Pasti Virgo yang menemukan dirinya yang tergeletak pingsan di lantai kamar mandi.
"Virgo... terima kasih..." akhirnya bibir pucat itu bergerak dengan pelan dan gemetar untuk berucap. Rasa syukur yang teramat sangat membuat maniknya mulai berkaca-kaca. Entah apa yang terjadi jika Virgo tidak menemukannya.
"Tidak masalah, aku senang bisa membantumu," ucap Virgo sambil menggeleng pelan dan tersenyum. Namun sebuah suara denting pelan membuat senyumnya perlahan menghilang.
Lelaki itu meraih ponsel yang baru saja berbunyi dari sakunya, lalu membaca sekilas pesan yang tertera di sana dengan kening yang berkerut. Helaan napas pelan yang keluar dari bibirnya serta merta membuat Juliet merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi.
"Maaf karena harus mengabari hal ini kepadamu di saat kondisimu masih lemah, Juliet. Tapi aku mendapat kabar bahwa Matthew telah mengetahui keberadaanmu," ucap Virgo mengejutkan.
"Orang-orangku akan sebisa mungkin menahannya. Tapi... kita juga harus segera pergi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...