"Kamu sangat pemberani."
Juliet tersenyum tipis mendengar pujian dari sahabatnya, Sienna. Meskipun memang terlihat sangat tulus, namun Juliet sama sekali tidak merasa bahwa "pemberani" adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok dirinya serta semua sikap yang telah ia ambil.
Mungkin "gila" lebih tepatnya.
"Terima kasih, Sienna. Tapi ini semua tidak akan berhasil jika tanpa bantuan dari banyak pihak."
Sienna berdecak kecil dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Gadis berkaca-mata itu sungguh heran dengan keputusan Juliet untuk pergi dari Matthew, padahal lelaki itu telah bersikap sangat baik akhir-akhir ini.
"Jadi, apa sekarang kamu sudah merasa bebas?" Tanya Sienna lagi.
Juliet pun menghela napas pelan. "Entahlah. Kebebasan yang kuimpikan adalah lepas dari bayang-bayang Matthew. Dan saat ini aku seakan berada di persimpangan, Sienna. Tanpa tahu arah mana yang harus kupilih, arah yang akan membuat Matthew benar-benar tidak mampu menemukan jejakku lagi untuk selamanya," ucapnya muram, sembari menatap orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Saat ini mereka berdua sedang berada di Bandara Internasional, sedang menunggu pesawat menuju ke suatu tempat.
Tempat dimana Juliet menaruh harapan untuk menata sebuah kehidupan baru, hanya berdua saja bersama buah hati yang berada di dalam rahimnya.
"Ada hal yang sedikit mengganjal di benakku dan ingin sekali kutanyakan kepadamu, tapi aku ragu. Aku tidak ingin membuatmu marah atau tersinggung."
Juliet berdecak sembari memeluk bahu Sienna dari samping. "Kamu adalah satu-satunya sahabatku, mana mungkin aku bisa marah padamu? Buat saja aku tersinggung, Sienna. Bagaimana pun aku tidak akan pernah bisa marah padamu" Goda Juliet.
"Kenapa kamu tidak memaafkannya saja, Juliet? Sebegitu besarkah amarah dan dendammu?" Akhirnya Sienna pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Memaafkan?" Satu sudut bibir gadis itu pun melekuk naik. "Kenapa aku harus memaafkan Matthew? Apa karena ia sudah menyesal?" Sergahnya seraya tertawa kecil.
"Oke. Katakanlah jika aku sudah memaafkannya, Sienna. Lalu apa? Melupakan semua kekejian perbuatannya kepadaku begitu saja? Bertahun-tahun aku harus menanggung perihnya siksaan fisik dan batin dari dia, dan semua pengorbananku dianggap tidak ada?"
"Hanya karena dia tampan, kaya, berkuasa dan sudah menyesal, maka aku harus memaafkan dan melupakan diriku yang sangat menderita di masa lalu begitu saja?"
Sienna pun terdiam, ketika melihat kilat kemarahan Juliet yang begitu kental menguar dari raut wajah dan ucapannya.
"Ingin mati," lanjut Juliet tiba-tiba.
"Itulah yang dulu kurasakan setiap kali Matthew menyetubuhiku dengan kasar, Sienna. Sakit sekali. Setiap hari, dan berkali-kali. Karena tidak tahan, maka suatu hari... aku meminta Matthew untuk membunuhku saja. Aku menyerah pada rasa sakitnya..."
Setetes cairan bening yang luruh membasahi pipi seputih salju itu pun diikuti oleh tetes lainnya yang ikut berjatuhan.
Sienna segera memeluk tubuh Juliet yang mulai gemetar. Gadis itu terlihat menderita, dan kesepian. "Maafkan aku, Juliet. Maaf... aku tidak memahami betapa besarnya penderitaanmu karena pelecehan itu. Padahal aku seharusnya paham, karena aku juga wanita sepertimu," gumannya sembari mengeratkan pelukan di tubuh sahabatnya.
"Bukankah dengan menculik, menyiksa dan melecehkan itu adalah tindakan kriminal? Seharusnya Matthew sudah dipenjara selama puluhan tahun! Hanya saja karena dia berkuasa, maka aku harus menerima maafnya dan melupakan masa lalu, begitu? Coba tanyakan kepada terpidana yang berada di dalam dipenjara, Sienna. Apa mereka juga menyesal dan bertobat? Aku yakin banyak dari mereka juga menyesali perbuatannya! Lalu kenapa mereka tetap harus dipenjara jika Matthew bisa hidup bebas merdeka? Kenapa?? Apa karena dia tampan, maka dia bisa dimaafkan begitu mudahnya? Atau karena dia kaya dan berkuasa? Kenapa dunia hanya memihak kepada orang-orang seperti Matthew, dan malah menganggap akulah yang bersalah karena membalas dendam? Kenapa mereka tidak memihak kepadaku sebagai korban yang sesungguhnya??"
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...