15 : The Georgeous Devil

174 5 0
                                    

**Flashback 3 tahun yang lalu**

Juliet lelah sekali setelah menangis hampir seharian penuh di acara pemakaman ayahnya. Tenaganya seperti telah tersedot habis karena kesedihan mendalam yang mengeringkan batin serta jiwanya.

Luka yang belum sembuh karena kehilangan ibunda tercinta beberapa tahun yang lalu, kini semakin berdarah dan menganga terbuka karena satu-satunya orang terkasih yang ia miliki kini telah dirampas dari kehidupannya.

Malam gelap yang dipenuhi dengan milyaran tetesan hujan yang begitu deras telah tiba, dan Juliet hanya bisa memeluk tubuh mungilnya yang kurus di dalam kamar ayahnya yang kosong, sekosong hatinya.

"Ayaah... kenapa ayah tega meninggalkanku seorang diri?" bisiknya dalam derai air mata yang kembali mengalir deras membasahi wajahnya.

Ia kesepian. Takut. Kesunyian di malam ini sangat mengerikan bagi anak remaja seusia 16 tahun seperti dirinya. Juliet benar-benar menyesal menolak tawaran dari salah satu teman sekelasnya untuk menginap di rumahnya.

Ia hanya tidak suka merepotkan orang lain, dan juga... ia takut menjadi ketergantungan dan tidak mampu mandiri di saat dirinya sudah tidak memiliki siapa pun untuk bergantung.

"Kamu harus kuat, Juliet! Kuat!!" Ucapnya mengafirmasi diri sendiri. Toh, dia masih memiliki tetangga yang baik hati di samping kiri dan kanan rumahnya yang akan membantunya dengan suka rela jika membutuhkan.

Tapi masalahnya, apa yang harus ia lakukan di malam sepi seperti ini?

Manik legamnya menatap kasur keras tempat ayahnya biasa selalu merebahkan diri untuk beristirahat, dan pikirannya pun mulai membayangkan apa yang akan dikatakan ayah pada malam hari begini.

"Kamu semakin pintar memasak, Juliet. Ayah jadi kekenyangan makan terus!" 

"Anak ayah memang pintar, selalu belajar keras setiap malam. Pasti kamu berhasil mendapatkan beasiswa yang kamu inginkan." 

"Sudah mengerjakan PR-nya? Ayo sini, duduk. Temani ayah menonton olahraga." 

Juliet pun tercenung. Ia bahkan masih bisa mendengar suara maskulin yang menenangkan itu, membuatnya semakin terhanyut dalam rasa rindu.

Ia merindukan senyuman ayahnya yang meneduhkan. Merindukan pujian-pujiannya untuk masakan sederhana yang ia buat. Merindukan tatapan penuh kebangaan melihat putrinya belajar dan selalu meraih peringkat pertama di sekolah.

"Ini bahkan belum satu hari ayah pergi, tapi rasanya sudah tak tertahankan. Bisakah ayah membawaku pergi juga? Ini terlalu menyakitkan..."

Juliet mengubur wajahnya di antara kedua lututnya yang dilipat. Hanya hujan yang menemaninya melewati malam yang mungkin tak kan sanggup ia lewati sendirian. Entah bagaimana ia mengarungi kesepian ini malam besok. Semoga saja hujan turun seperti malam ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu rumahnya, membuat Juliet terlonjak kaget di tempatnya. Siapa yang menggedor pintunya di malam hari dengan hujan selebat ini?

Suara gedoran itu membuat Juliet menelan ludah. Haruskah ia buka? Ataukah didiamkan saja?

Dengan berjingkat-jingkat, Juliet pun memutuskan untuk mengintip dari jendela, berharap kalau yang datang adalah Ibu baik hati di sebelah rumah yang sering datang untuk mengirim makanan.

Namun gadis itu sangat terkejut ketika menemukan tiga orang lelaki yang berdiri di depan rumahnya. Siapa mereka? Tak ada satu pun yang Juliet kenal.

Tapi... tunggu.

Lelaki yang berada di tengah itu sepertinya familier. Wajah blasteran yang tampan meski tanpa ekspresi itu rasanya pernah Juliet lihat di suatu tempat...

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang