Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."
Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu.
"Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut.
"Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.
Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana.
"Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."
Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak percaya. "Matthew, apa kamu sengaja tidak mengenakan pengaman saat bercinta karena... karena..."
"Jujur aku tidak bermaksud apa pun... pada awalnya," ungkap lelaki itu. "Aku hanya ingin tidak ada penghalang antara kamu dan aku. That's it, Juliet. Dan tentu saja aku tahu apa konsekuensinya jika bercinta tanpa mengenakan pengaman sama sekali. Tapi sekali lagi, aku tidak merasa keberatan."
Juliet terdiam cukup lama untuk memberikan waktu kepada logikanya memproses semuanya.
"Apa kamu mengharapkan seorang anak, Matthew?" Tanya Juliet akhirnya, setelah mengambil kesimpulan dari kecurigaannya.
Satu sudut bibir lelaki itu melekuk naik, berbarengan dengan kedua tangannya yang menangkup pipi selembut dan seputih salju milik Juliet.
"Tidak, jika dari wanita lain," ucap Matthew dengan sorot penuh keseriusan yang tertuju pada manik segelap malam milik Juliet.
"Dan ya, jika berasal dari rahimmu."
***
"Sienna. Aku butuh bantuanmu."
"Apa? Aku tidak akan merekomendasikan kepadamu racun yang tidak terlalu berbahaya, Juliet. Sudah kukatakan kalau aku tidak setuju dengan rencana yang melibatkan racun apa pun, kan?"
Juliet mendengus tajam mendengar perkataan temannya itu yang to the point. Ia langsung menelepon Sienna sesampainya di rumah, setelah memastikan Matthew telah berangkat untuk kembali bekerja ke kantornya.
"Lupakan soal racun! Rencana itu telah batal karena ada sesuatu yang terjadi, Sienna. Rencanaku telah berubah karena aku sedang dalam sebuah kondisi yang tak mungkin menggunakan racun."
Di seberang sambungan sana, Sienna pun mengernyit bingung. "Kondisi? Apa maksudmu? Apa kamu sedang sakit?"
Helaan napas pelan pun terdengar dari Juliet yang seakan sedang memikul beban yang teramat berat. Maniknya terpaku pada sebuah kertas hasil USG yang berada di tangan kirinya yang tidak memegang gagang telepon.
"Tolong jangan kaget, karena... saat ini aku sedang mengandung anak Matthew, Sienna. Dengan usia kandungan sekitar 3 minggu. Sepertinya ada faktor kesengajaan dari Matthew yang tidak pernah menggunakan pengaman agar hal ini terjadi, meskipun aku tidak begitu yakin dengan apa maksud dibaliknya," cetus Juliet panjang lebar.
Tak ada yang berbicara selama beberapa detik setelah Juliet mengungkapkan kondisinya kepada Sienna, membuat kesunyian yang rikuh pun sontak terwujud.
Beberapa saat kemudian, barulah terdengar suara-suara yang serupa seperti makian pelan dari mulut Sienna.
"Ini di luar rencanamu, bukan?" Gadis berkaca mata itu pun berucap pada akhirnya.
"Lalu sekarang bagaimana? Kuharap walaupun sangat sulit, kamu bisa melupakan dendammu, Juliet. Matthew terlihat tulus padamu. Tidak lelahkah selalu menggenggam bara di tanganmu yang disembunyikan di belakang tubuhmu?"
Juliet memejamkan kedua matanya segera setelah mendengar perkataan Sienna yang terasa menohok. Apakah ia lelah? Ya, mungkin ia lelah. Tapi kemarahan telah mengakar begitu kuat dan membakar dadanya.
Dendam yang terpendam selama ini takkan bisa hilang begitu saja, karena dia butuh sebuah penebusan. Tiga tahun yang lalu, Matthew bisa seenaknya menculik dan melecehkan dirinya yang tidak merasa punya salah apa pun pada lelaki itu.
Dan kini, Juliet akan melupakannya begitu saja? Melupakan semua rasa sakit dan hina yang ia rasakan?
"Aku masih ingin membawa bara itu, Sienna," sahut Juliet akhirnya. "Bahkan jika pada akhirnya diriku pun terbakar karenanya, tidak mengapa. Selama Matthew ikut terbakar juga."
***
Pagi itu, Juliet terbangun tanpa Matthew di sisinya. Huuft. Entah mengapa, ia merasa sedikit lega. Berpura-pura jatuh cinta di saat dirimu baru terjaga dari mimpi itu sangat melelahkan.
Apalagi semenjak mereka memiliki hubungan, Matthew selalu bercengkrama dan mengajaknya berbincang santai di pagi hari ketika mereka telah terbangun dari tidur.
Juliet meregangkan tubuhnya sejenak, sebelum merasakan ada sesuatu yang aneh di salah satu bagian tubuhnya. Dan tak butuh waktu yang lama untuk segera menyadari apa sesuatu itu.
Sebuah cincin berlian telah tersemat di jemari manisnya. Pasti Matthew memasangkannya semalam, ketika Juliet lelah sehabis bercinta dan tertidur dengan pulas.
Juliet mengangkat tangannya untuk menatap lebih jelas berlian yang sangat besar itu. Kilaunya begitu memukau, namun tak memiliki arti sama sekali bagi Juliet selain sebongkah batu tak berharga, sama seperti kerikil yang berserakan di jalanan.
Gadis itu hanya memberikan tatapan datar tanpa setitik pun emosi di dalamnya. Berkat Matthew, yang telah merampas seluruh jati diri dan keinginan bebasnya sebagai manusia.
"Tipikal Matthew sekali," guman Juliet akhirnya. "Mengklaim tanpa bertanya. Apa yang ia inginkan, harus ia miliki detik itu juga."
Tangannya kemudian turun untuk mengelus perutnya yang masih datar. "Jadi kamu menginginkan seorang anak yang tumbuh dari rahimku, begitukah Matthew?" Bisiknya pelan.
"Hanya dariku, dan tidak dari wanita lain?" Tambahnya lagi, kali ini dengan seuntai senyum yang terukir di bibirnya, dan tawa kecil yang mulai menggema.
"Menarik sekali."
Setelah puas memandangi cincinnya serta bermonolog kepada diri sendiri, Juliet pun segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta turun ke lantai bawah untuk sarapan.
"Matthew?" Juliet mengira lelaki itu telah berangkat ke kantor, namun rupanya ia salah. Matthew ternyata masih berada di ruang makan, menunggu dirinya.
"Pagi, Muffin." Matthew tersenyum simpul ketika melihat seraut wajah cantik yang akhirnya muncul setelah ia tunggu-tunggu sejak tadi. Ia berdiri dari kursinya untuk menghampiri Juliet, dan mengecup bibir serta jemari gadis itu dimana sebuah cincin telah tersemat di sana.
"Syukurlah cincin ini tidak kamu lepas dan lempar jauh-jauh," ucap Matthew sembari tertawa kecil. "Itu artinya aku masih memiliki harapan."
"Harapan? Untuk?" Tanya Juliet dengan manik beningnya yang membulat polos penuh tanya.
Tiba-tiba saja Matthew melepaskan jemarinya yang semula menggenggam jemari Juliet. Ia berlutut dengan satu kaki yang menumpu di atas lantai, merendahkan diri di depan seorang gadis untuk pertama kali dalam hidupnya.
Gadis muda yang usianya berjarak 11 tahun darinya. Yang semula tak pernah ia sangka akan memiliki seluruh hatinya. Yang telah mengandung keturunannya di dalam rahimnya.
Manik coklat pasir lelaki itu menatap dalam-dalam bola mata sekelam malam yang berkilau cantik sejernih embun milik Juliet, dan ia selalu saja tersesat di sana.
"Juliet Amanda, Muffin-ku, maukah kamu menikah denganku, menjadi istriku serta kelak menjadi ibu untuk anak-anak kita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SERVE ME
RomanceJuliet Amanda, 19 tahun, adalah seorang gadis yatim piatu dan mahasiswi yang pintar namun sangat pendiam dan tidak memiliki teman. Bukannya ia tidak mau, tapi Matthew Wiratama, walinya, yang tidak mengijinkan gadis itu untuk memiliki teman. Matthew...