48 : The Real Danger

98 3 0
                                    

"AAGGHHH!!"

Teriakan Leon yang terdengar keras penuh kesakitan membuat Juliet terkejut. Maniknya mengerjap kaget saat melihat Matthew yang tiba-tiba saja sudah berada di sini, sedang memiting tangan lelaki yang hendak menampar wajahnya tadi.

"Mungkin tanganmu sekalian kupatahkan saja, hm?! Beraninya bajingan sepertimu menyentuh calon istriku!" Geram Matthew dengan manik coklat pasirnga yang menyala-nyala dan raut wajahnya kelam seakan kabut gelap menggantung di wajahnya.

Juliet terkesiap ketika mendengar suara derak mengerikan yang menguar di udara, dibarengi dengan jeritan melengking Leon.

Gadis bersurai panjang itu pun melirik ke arah Giska yang bersembunyi di belakangnya dengan tubuh gemetar. Ia pasti masih shock, dan sekarang dalam dilema serta ketakutan.

"Matthew," panggil Juliet. "Cukup, jangan diteruskan lagi," tegurnya, saat Leon telah jatuh berlutut dengan satu lengannya yang terpuntir dalam posisi janggal. Matthew terlihat belum puas melampiaskan amarahnya dan hendak bersiap mematahkan satu tangan Leon yang lain, sebelum Juliet melarangnya.

Matthew mengangkat wajahnya untuk menatap kekasihnya, lalu kakinya pun serta merta bergerak mendekati Juliet. Matthew menangkup wajah cantik itu, mengurungnya dalam dekapan telapak tangannya yang hangat.

"Kamu baik-baik saja? Apa bajingan itu menyakitimu, Muffin?"

Juliet menggeleng dan tersenyum. Kedua tangannya ikut terangkat ke pipinya untuk memegang tangan Matthew yang berada di sana. "Matthew, kita harus menolong Giska. Selama ini Leon itu terus menyakitinya," ungkap Juliet sembari mengenalkan Giska kepada Matthew.

Matthew mengangguk mengerti. "Akan kutunjuk pengacara untuk menggugat si brengsek itu. Kamu tidak perlu cemas, Muffin. Tapi Giska harus mau memberikan kesaksian jujur," sahutnya menatap Giska.

Juliet bisa melihat bayang-bayang keraguan dan kekhawatiran menghiasi wajah gadis itu. Ia bisa mengerti posisi Giska, yang telah terlalu lama berada di dalam hubungan toxic.

Bukan terbiasa, namun terpaksa. Karena pelaku kekerasan dalam hubungan asmara biasanya memang sangat pintar membuat korbannya menjadi ketergantungan padanya.

"Matthew, apa boleh aku bicara dulu dengan Giska?" Tanya Juliet, meminta ijin kepada lelaki yang sejak tadi sibuk memeriksa tanda luka di tubuh kekasihnya. Kulit Juliet yang sepucat salju membuatnya tak bisa menyembunyikan bukti. Bahkan hanya sekedar dicubit pelan saja, akan menimbulkan rona merah yang ketara.

"Baiklah. Tapi jangan jauh-jauh, oke?" Matthew mengusap bibir lembut Juliet dengan ibu jarinya, biasanya itu adalah pertanda bahwa lelaki itu akan mengecupnya.

"Aku akan menelepon orang untuk membawa Leon ke rumah sakit, juga pengacara," lanjut Matthew, sebelum benar-benar memberikan kecupan ringan di bibir Juliet.

Giska dibawa ke sebuah cafe tak jauh dari taman dimana tadi Juliet menemukannya bersama Leon. Tangan gadis itu terlihat masih gemetar, hingga tak pelak membuat Juliet jatuh kasihan.

Juliet memesankan Giska eskrim coklat dan strawberry di dalam gelas besar, setelah menanyakan rasa eskrim faforitnya.

"Ayo, dimakan dulu eskrimnya," ucap Juliet sambil tersenyum.

Giska meraih sendok kecil, lalu menyuapkan cemilan lembut dan dingin itu ke dalam mulutnya. "Rasanya enak...," ucap Giska sembari menatap Juliet dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Juliet. Ini... sangat enak..." ulangnya lagi, dan Juliet sadar bahwa rasa terima kasih Giska bukanlah hanya karena eskrim, tapi karena telah membebaskannya dari hubungan yang toxic.

Juliet memeluk Giska yang kini telah mulai menangis lirih. "Kamu pasti akan baik-baik saja, Giska. Kamu kuat, tapi tidak masalah jika sekali-sekali merasa lemah dan meminta pertolongan."

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang