61 : The Twins

133 4 0
                                    

"Nyonya Muda, apa yang Anda lakukan?!"

"Ssshh... jangan berisik, Tiana. Cepat masuk ke sini dan kunci pintunya!"

Pelayan yang bernama Tiana itu pun mengangguk pelan, lalu bergegas melakukan apa yang dititahkan oleh majikannya, Nyonya Muda Wiratama.

Setelah mengunci rapat ruang kerja milik mendiang Tuan Besar Ibram Wiratama, Tiana segera berjalan mendekati Nyonya Muda Juliet yang asyik membongkar sebuah lemari buku.

Sejak resmi menikah dengan Matthew, Juliet diam-diam sering mengunjungi rumah utama keluarga Wiratama. Terutama ketika suaminya sedang berada di kantor.

Selama ini Matthew selalu enggan jika ia mengajak untuk mengunjungi rumah besar yang kini kosong tak pernah ditinggali kecuali oleh para pelayan yang selalu membersihkannya secara berkala.

Matthew seolah tak ingin menginjakkan kakinya di rumah ini lagi, namun tak juga ingin menyingkirkan dengan menjualnya misalnya. Ia tetap mempertahankan rumah keluarga dimana dirinya dibesarkan.

Meskipun antara Juliet, Matthew dan Oma Anita telah sama-sama saling memaafkan dan memutuskan untuk melupakan masa lalu yang menyakitkan serta membuka lembaran baru kehidupan, namun Juliet benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu.

Benarkah ayahnya memiliki hubungan yang tak semestinya dengan Kayana Wiratama, ibu Matthew?

Sejauh ini, Juliet memang belum menemukan bukti apa pun selain perkataan dari Matthew serta Oma Anita.

Juliet hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan jika ternyata semua yang ia dengar adalah benar, maka atas nama ayahnya ia akan kembali meminta maaf dengan tulus kepada Matthew juga Oma.

Mungkin memang ayahnya yang bersalah karena telah mengganggu rumah tangga majikannya sendiri, namun Juliet hanya ingin membuktikannya sendiri

"Tolong rapikan sisi sebelah sini," ucap wanita bersurai panjang itu kepada pelayannya. Ya, Juliet memang sengaja membawa serta Tiana, pelayan dari rumahnya yang paling bisa ia percaya.

Tiana sudah mengenal Juliet dari pertama karena Tiana adalah pelayan dari rumah kedua Matthew, tempat Juliet tinggal selama ini.

Tiana mengangguk patuh dan segera merapikan buku-buku yang berantakan di lantai untuk disusun kembali di dalam rak paling bawah.

"Sebenarnya apa yang Nyonya cari?" Tanya Tiana penasaran menatap Nyonya Muda majikannya, sembari merapikan semuanya yang tadi diperintahkan.

"Sebuah bukti," sahut Juliet muram. "Tapi entahlah. Sepertinya apa yang kucari itu memang tidak akan pernah ada," ucapnya sembari menghela napas pelan setengah putus asa.

Juliet berharap bahwa mungkin saja ada kesalahan informasi, bahwa perselingkuhan antara ayahnya dan ibu Matthew adalah sebuah kebohongan. Bahwa di balik itu semua, ada sebuah alasan yang disembunyikan.

Wanita bersurai panjang itu pun menghela napas pelan sembari memijat pangkal hidungnya. Ia merasa lelah, dan sepertinya sekarang ia pun harus menyerah.

Juliet memutuskan untuk duduk di sofa melepas penatnya. Tatapannya menerawang ke balik jendela kaca, sebelum maniknya kembali terarah kepada Tiana yang masih sibuk membereskan buku-buku milik mendiang Tuan Besar Ibram.

Namun keningnya sontak berkerut, saat melihat secarik kertas yang terbang jatuh ke lantai, berasal dari salah satu buku yang disusun oleh Tiana.

Juliet segera berdiri dan buru-buru mengambil benda itu sebelum Tiana melihatnya, yang ternyata adalah sebuah foto.

Wanita itu segera membawa foto itu menjauh dari pelayannya untuk melihat dengan lebih jelas. Jantungnya pun berdegup kencang ketika sekilas tadi ia melihat apa yang terlukis di sana.

Juliet buru-buru masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya rapat-rapat. Ia mendekap kertas foto itu di dadanya yang berdebar, lalu perlahan sekali mulai melihatnya.

Foto itu sepertinya foto lama, yang memotret dua bayi merah yang baru lahir dan ditaruh dalam boks bayi yang sama. Bayi yang satu terbungkus selimut berwarna biru, dan yang satu lagi berselimut pink.

Jadi ini bayi kembar? Namun sepertinya mereka berbeda jenis kelamin.

Juliet pun kemudian membaca tulisan tangan yang tertera di sana dalam hati.

((30 Januari 1993, hari lahirnya putra-putriku tercinta, Matthew dan Mathilda))

***

"Bagus sekali. Kamu ternyata cukup berbakat juga jadi model."

Karina mengalihkan pandangannya dari mengamati foto-foto hasil tangkapan Jeremy, ke arah sang fotografernya.

"Aku memang pernah menjadi model waktu berusia 18 tahun, tapi tidak diteruskan secara profesional karena tidak diijinkan orang tua," sahut Karina sedikit bercerita. "Hasil fotomu juga lumayan, meskipun diambil dari kamera yang dibeli sepuluh tahun yang lalu."

Jeremy menyeringai tipis sembari menatap kembali kamera DSLR-nya. "Aku membelinya di usia 13 tahun. Tapi ternyata tidak terlalu mengecewakan juga," terang lelaki itu.

"Aku bahkan ingat bagaimana bahagianya perasaanku saat membelinya. Dan bagaimana tidak sabarnya untuk segera menggunakannya."

Ucapan Jeremy barusan membuat Karina pun sontak teringat akan perbincangan antara Dokter Dharmawan dan Virgo yang sempat ia curi dengar.

Bahwa di usia Virgo yang ke 13, Jeremy tiba-tiba saja menghilang. Lalu baru sebulan kemarin adalah kemunculan pertamanya setelah bertahun-tahun, dan saat ini adalah kemunculan keduanya.

Jujur saja, Karina benar-benar surprise ketika Jeremy benar-benar profesional saat memotret dirinya. Ia yang tadinya mengira kalau kepribadian lain dari Virgo itu akan melecehkannya melalui bidikan lensanya, ternyata pikiran negatifnya itu tidak terbukti sama sekali.

"Kenapa kamu tiba-tiba menghilang di usia 13 tahun?" Tanya Karina, yang sama sekali tak tahu kejadian mengerikan apa yang terjadi sebelum Jeremy menghilang.

Jeremy menyeringai miring menatap wajah cantik yang bertanya dengan polosnya. Ia pun kembali membidikkan kamera ke wajah Karina dan memotret gadis itu.

"Aku suka wajahmu yang penuh rasa ingin tahu begini. Manis sekali," cetus Jeremy seraya melihat hasil potretnya di layar kecil kameranya. "Seperti... Alice. Alice in Wonderland."

Karina pun sontak berjengit ketika dirinya disamakan dengan tokoh khayalan yang tersesat di dunia ajaib. "Aku tidak sepolos itu, Jeremy. Yang benar saja. Dan aku juga tidak suka kelinci, by the way. Kucing juga. Sebenarnya, semua hewan pun aku tidak suka."

"Tapi kamu sama tersesatnya dan terjebaknya dengan Alice," kilah Jeremy sambil terkekeh pelan. "Kamu tidak merasa ya? Kamu terjebak di antara kami, Karina. Aku dan Virgo," ucapnya blak-blakan.

"Ouch. Benar juga," sergah Karina sembari meringis. "Sepertinya Alice tidak buruk juga. Ya kan? Bukankah endingnya bahagia? Dia berhasil kembali ke dunianya kan?" Jujur saja Karina tidak terlalu suka cerita dongeng, jadi dia memang tidak tahu akhir dari cerita itu.

"Alice kembali bertualang ke tempat yang baru, itulah endingnya," sahut Jeremy dengan senyum penuh arti.

"See, Karina? Alice tidak akan pernah pulang ke rumah, karena menyadari bahwa petualangan ternyata jauh lebih mengasyikkan."

Lelaki itu lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Karina dan berbisik pelan. "Dan kamu adalah seorang petualang, Karina. Aku benar kan? Maka bersamaku adalah petualangan yang sebenarnya, dibandingkan bersama Virgo yang datar dan membosankan. Jadilah Alice-ku, Karina. Bertualanglah bersamaku, maka kamu akan menemukan kehidupan yang berada di luar batas imajinasimu."

COME AND SERVE ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang