Bab. 3

640 23 0
                                    

"Kasihan sekali Noza, Kalau begitu bawa ke dokter sekalian, tolong antar, Tang." Pinta bu Lisa membuat Lintang terdiam sesaat. 

"Nggak bisa, ma, Lintang sudah di tungguin teman-teman, atau gini aja, mama bawa mobil Lintang dulu, nggak apa-apa?" Tolak pria itu cepat.

"Kamu ini kenapa sih, mama minta tolong apa susahnya." Bu Lisa merasa putranya menyebalkan. 

Duh.. mama apaan sih! Sial banget!

Perempuan dengan penampilan nan modis itu langsung masuk ke rumah kecil untuk Bu Maryam dan anaknya itu. Ia mengetuk pintu kamar Noza sekaligus menekan handle pintunya.

"Noza, kamu sakit?" Bu Lisa mendekati ranjangnya. 

"Eh, Bu Lisa, i-iya bu." Noza berusaha bangkit setengah berbaring dan tersenyum tipis. 

"Sampai pucet gini, sudah minum obat? Ke dokter saja ya?" Bu Lisa mengamati dengan seksama. 

"Tidak usah bu, sudah minum obat, sebentar lagi InsyaAllah sembuh." Sungkannya. Noza terlalu takut orang-orang mengetahui keadaannya saat ini yang begitu menyedihkan. 

"Sebenarnya hari ini saya mau ngajak kamu ke klinik, tapi ya sudahlah besok-besok saja. Nungu kamu sembuh dulu." Perempuan itu mengusap puncak kepalanya dengan sayang. 

Sementara Lintang yang mendengar percakapan ibunya dari luar kamar merasa lega. Ia tidak harus menjelaskan apa pun selagi memang tidak ada yang perlu di jelaskan. 

"Sudah, ma? Kok nggak jadi?" Memastikan dengan benar tanpa curiga. 

"Dia tidak mau ke rumah sakit, sudah minum obat katanya, kasihan, biar dia istirahat." Ujar perempuan itu sembari melangkah keluar.

"Ya sudah, baguslah.. Buang-buang waktu saja." Pira itu melenggang damai. 

"Mama jadi mau bareng nggak?" Tanya Lintang merasa lega. 

"Iya, antar mama sampai klinik." Ujar bu Lisa berlalu. 

Sementara Noza di kamarnya masih terlihat sangat terpukul. Rasanya ingin sekali memekik dan menumpahkan risalah hatinya. Ia hanya mampu terpejam berdoa agar waktu yang terasa sulit ini segera berlalu. 

'Aku harus gimana, bu?' Batin Noza menangis dalam diam. Ia menolak untuk makan malam walau berkali-kali ibunya membujuk. 

***

Tiga hari berlalu, Noza absen dari bangku kuliah. Sengaja menenangkan diri dan pikirannya. 

'Jangan menangis, tolong jangan menangi, hari ini kamu harus masuk Noza. Kamu pasti bisa.' Batin gadis itu menyemangati diri sendiri.

Hidup terus berlanjut, berjalan dinamis sesuai apa yang mereka tebar. 

Seperti biasa, gadis itu akan memesan ojol untuk mengantarnya ke kampus. Saat berjalan melewati gerbang rumah, saat itu pula seseorang yang telah membuat hidupnya hancur melewati dirinya. Entah mengapa kali ini ia begitu sanga membenci melihat pria itu. 

Sepasang netra hazelnya beradu tatap dalam diam, sebelum akhirnya Lintang melajukan motornya begitu saja tanpa menyapa. Tidak mengapa, karena hanya mendengar suaranya saja tak sudi bagi Noza. 

Sampai di kampus, gadis itu langsung menuju kelasnya. Kelas yang selalu ramai dengan sambutan teman-temannya. 

"Za, sudah sembuh?" Tanya Mega girang. Sahabatnya itu masuk juga setelah dua hari absen. 

"Iya." Noza menempati kursi di sebelah Mega. 

Usai mata kuliah terakhir, Noza tidak langsung pulang, ia lebih dulu menghabiskan waktunya di musholla kampus setelah menunaikan empat rakaat ashar. 

Noza baru beranjak menjelang petang, rasanya tidak minat untuk pulang. Ia pun sedikit tidak peduli jika sore ini terlambat sampai rumah. 

"Ayo naik! Kita perlu bicara!" Seorang ptia menghentikan motornya tepat di samping Noza. 

Gadis itu hanya menatap dingin, lalu kembali berjalan mengabaikan Lintang yang jelas-jelas mengajaknya bicara. Lintang menghadangnya dan turun dari motornya agar gadis itu mau mengikutinya. 

"Aku tidak suka basa basi, ini soal kemarin, kita perlu bicara." Nada songong seolah tidak pernah melakukan kesalahan apapun. 

"Pergi, jangan berbicara padaku." Noza menatap muak. Hilang sudah rasa hormat Noza pada putra majikan ibu-nya ini. 

Noza berjalan dengan cepat menghindarinya, begitupula dengan Lintang yang terus mengekor untuk mengutarakan pernyataan dirinya. 

"Aku tidak sengaja, tapi jangan khawatir, aku akan membayar konpensasi atas apa yang terjadi padamu. Berapa harga keperawananmu?" Pria itu berucap seolah enteng menanyakan hal itu. 

Mendengar itu semua, rasanya Noza begitu muak. Dia adalah pria yang tidak punya akhlak. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang