Noza yang baru saja membuka mata setelah merasakan ketenangan sesaat menyisir pandangannya. DIa langsung bangkit dari pembaringan dan kaget luar biasa saat menemukan Lintang ada di tempat yang sama.
"Astaghfirullah.." Batin Noza tergeragap.
"Bangun kek dari tadi nyusahin saja, Gue mau tidur, sana balik ke kamar lo!" Sentak pria itu berdiri sambil bersedakap dada.
Perempuan itu tentu saja tidak minat untuk tidur di ranjang yang pernah menyisakan kepiluan mendalam untuk dirinya. Ia langusng beranjak turun tanpa repot-repot Lintang meminta sekalipun.
Pergerakan spontan dan terlalu cepat Noza membuat perutnya merasa sakit. Langkah Noza terhenti sejenak sambil membungkukan badannya.
"Aww..." Desis Noza itu memejam. Berjalan pelan keluar dari kamar pria itu.
Lintang sendiri nampak tidak peduli, hanya menatap acuh sembari menempati ranjang. Merasa bebas saat Noza benar-benar terusir dari kamarnya.
"Za, kenapa sayang?" Tanya bu Lisa yang melihat menantunya.
"Nggak pa-pa ma, perutku keram." Ujar perempuan itu mencoba biasa saja.
"Kamu duduk dulu disini sebentar." Ujar perempuan paruh baya itu lalu beranjak ke kamar Lintang.
"Mama Kenapa?" Tanya Lintang kaget.
"Kenapa? Suami macam apa kamu Lintang, tidak lihat Noza kesakitan, lalu kamu biarkan dia keluar begitu saja. Kamu boleh abai dengan dia, tapi ingat, dia sedang mengandung anak kamu!" Sentak bu Lisa geram.
"Dia yang memilih pergi sendiri dari kamar Linang, salahku dimana?"
"Astaghfirullah... Ya Allah.." Bu Lisa beristighfar banyak-banyak mendapati tingkah putranya yang teramat menjengkelkan.
"Maaf sayang, Lintang sudah keterlaluan." Bu Lisa kembali menghampiri Noza.
"Nggak pa-pa bu, Noza seharusnya memang tidak kamar di kamar Mas Lintang. Noza tidak mau." Jawab Noza susai kesepakatan awal.
"Kalian itu sekarang suami istri, sah-sah saja kalau satu kamar. Tapi kalau kamu nggak nyaman, mama tidak akan maksa, kamu boleh menempati kamar yang lainnya dulu. Mama antar ya kekamar." Ujar bu Lisa begitu perhatian.
"Noza mau kamar Noza saja, bu. Noza mau pulang." Jawab Noza ingin kembali ke rumah.
"Panggilnya mama aja sayang, kamu mau pulang? Ya sudah biar mama antar."
"Nggak usah, Noza sendiri saja, bisa, ini sudah malam, sebaiknya mama istirahat." Tolak Noza merasa lebih baik.
Sedari awal, dia memang tidak mau seatap. Apalagi sekamar. Noza masih mempunyai trauma didekat pria itu. Apalagi hanya berdua. Bayangan mencekam mengerikan itu sering muncul kembali menghantui otaknya.
***
Keesokan paginya di kamar Lintang terbangun sebelum subuh menyapa. Pria itu merasa tidak nyaman sama sekali dengan tubuhnya. Persis seperti pagi-pagi kemarin yang membuat Lintang jengkel.
"Ini kenapa mual gini lagi sih." Gumam pria itu uring-uringan sendiri.
Lintang mabok parah pagi-pagi. Bahkan tidak berdaya keluar dari kamar. Sudah minum obat pun hasilnya masih sama. Membuat pria itu hampir frustasi karena setiap pagi menemui masalah kronis yang sama.
"Kenapa Tang? Mual?" Tanya bu Lisa santai sembari menyiapkan sarapan.
Pria itu hanya mengangguk saat meminta mbok Maryam menyiapkan bubur hangat untuknya.
"Percuma bolak-balik minum obat, itu nggak ada obatnya, kalau beruntung paling sebulan. Ada juga yang tiga bulan, bahkan sampai sembilan bulan bayi itu lahir." Ucap bu Lisa sangat paham dengan penyakit yang diderita putranya.
"Jangan menakuti, ma." Kata Lintang tak banyak menyala.
"Itu hanya sebuah informasi, selebihnya percaya atau tidak itu hal nyata, bahkan papamu sendiri mengalaminya."
"Benar begitu, pa?" Tanya Lintang mengarah pada pak Rangga yang tnagah fokus bersantap pagi.
"Hmmm, benar yang dikatakan mamamu." Jawab pak Rangga datar.
"Jadi setiap pagi papa begini? Sakit parah, mual, muntah, pusing-pusing tak karuan."
"Tepat sekali Lintang, dan obatnya hanya satu, ingin dekat-dekat dengan ibumu." Jawab pak Rangga benar adanya.
Uhuks!
Lintang tersedak mendengar pernyataan ayahnya. Apa katanya? Dekat dengan ibunya? Mungkin untuk pasangan normal. Tetapi untuk Lintang, tentu saja tidak mungkin.
"Lintang ke kamar dulu, ma, kenyang." Pamit pria itu meninggalkan meja makan.
Pria itu memilih tidur-tiduran di kamarnya sampai merasa lebih baik. Beruntung hari ini tidak ada jadwal ke kampus.
"Benarkah yang dikatakan mama, horor sekali, masa tiga bulan? Bahkan sembilan bulan. Tidak! Tidak! Semiga tidak setelah ini." Gumam Lintang benar-benar bosan.
Ia pun menjadi penasaran, apakah Noza tidak mengalami keluhan yang sama saat dirinya mual dan pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya sembilan bulan
General FictionAku bernama Nozafitri Utami yang sering di panggil Noza. Kehidupan Normal yang aku jalani harus menjadi jungkir balik karena mendapatkan pelecehan dari seorang pria yang aku segani dan hormati. Banyak mimpi dan tujuan yang aku layangkan tinggi seaka...