"Lintang, papa masuk ya!" Seru pak Rangga sembari menekan handle pintu.
"Iya pa, kenapa?" Sahut Lintang diatas ranjang. Berbaring setengah badan sembari memangku laptopnya.
"Kamu sibuk? Memang sudah mendingan?" Tanya pak Rangga melihat putranya tengah mengerjakan sesuatu di laptop.
"Ini pa, benerin bab sebentar. Besok ada ketemu sama dosen." Jawab Lintang benar adanya.
"Maaf kalau papa ganggu, sebenarnya ada yang mau papa omongin, tapi kalau kamu sibuk nanti saja."
"Sekarang juga nggak apa-apa pa, Lintang udah selesai kok." Sahutnya sambil menutup laptop.
"Ada apa pa?" Tanya Lintang merasa heran.
"Sebenarnya papa tidak ingin ngomong banyak. Kamu sudah dewasa dan tahu mana yang baik, mana yang harusnya dikerjakan lebih dulu, dan mana yang seharusnya menjadi prioritas dalam hidupmu." Ujar pak Rangga sebagai pembuka.
"Ini tentang kamu Lintang. Papa tahu perasaan itu tidak bisa dirubah dengan mudah. Apalagi didalamnya terukir kisah lain. Tapi, dilihat dari konteks yang menimpamu, papa memaksa untuk kamu menjadi orang yang bertenggung jawab." Sambung pak Rangga serius.
"Kamu punya pacar?" Tanya pak Rangga spontan.
Lintang menelan saliva gugup, jakunnya naik turun. Lalu mengangguk pasti sebagai jawaban.
"Iya, maaf, pa, tapi perasaan itu sulit untuk aku tepis begitu saja dengan status Lintang sekarang."
"Papa tidak akan meminta kamu untuk putus, perasaanmu mutlak menjadi kendalimu sendiri. Tapi kamu punya tanggung jawab Lintang, tolong pikirkan itu. Kamu bertanggung jawab pada istri, dan juga calon anakmu. Istri Lintang, bukan pacar. Terserah ada cinta ataupun tidak, tapi kamu berhak bertenggung jawab untuk itu." Ucap pak Rangga penuh penekanan.
"Terus Lintang harus bagaimana, Pa? Lintang bingung." Jawab pemuda itu tertundung gamang.
"Kamu datang pada Noza dengan jalan yang salah. Coba kamu pikirkan sedikit saja mengenai perasaan. Bukan hanya logikamu saja yang berperan. Kamu meerenggut paksa seorang gadis, kemudian dia hamil. Pasti perasaan gadis itu hancur saat itu juga. Apa dia punya cinta? Noza hancur, tapi dia masih legowo menerima, tidak mengakhiri hidupnya saja sudah syukur Alhamdulillah. Disini kamu harusnya berperan, bukan masalah cinta lagi yang berbicara, tapi naluri hati kamu dan sebuah tanggung jawab." Pak Rangga berbicara sebagai sesama lelaki sekaligus ayah.
"Lintang paham, Lintang akan berusaha untuk menerima keadaan ini dan pernikahan ini."
"Serius sedikit, kamu punya tanggung jawab yang besar. Kamu calon ayah dari anak yang kamu tabur sendiri. Masalah perasaanmu, kamu sendiri yang bisa mengelolanya. Namun, jika mamamu sampai tahu, papa yakin, mama tidak akan tinggal diam untuk ini, dan kamu harus siap dengan segala apa yang kamu pilih sebagai jalan hidupmu."
Lintang terdiam, papanya berbicara lembut, tetapi jelas sangat menusuk. Tahu betul begaimana seharusnya Lintang bersikap.
"Cuma itu yang ingin papa sampaikan, semoga menjadi perenungan. Selebihnya kamu yang akan memutuskan sendiri jalan yang seharusnya kamu prioritaskan." Ucap pak Rangga berlalu keluar.
"Maafkan aku Noza." Batin Lintang memjam. Ia menyesali kejadian malam itu kenapa harus terjadi. Andai saja dirinya tidak main ke cl*b malam waktu itu. Mungkin dirinya tidak akan berakhir dengan anak asisten rumah tangganya itu.
***
"Ya ampun.. Ukhti mana ini? Aku lihat, gamismu makin longgar, hijabmu makin lebar." Ucap Mega begitu Noza muncul dikelasnya
Tampilan Noza agak sedikit berbeda, tentu saja demi menutupi perutnya yang makin berisi.
"Jelek ya, mungkin kamu akan menjumpai keseharian aku kayak gini." Jawab Noza tenang.
"MasyaAllah... Mana ada jelek, cantik banget neng, gue aja pengen kaya gitu, tapi belum kesampaian."
Noza tersenyum tipis, dirinya juga belum bisa sebenarnya. Agak sedih kala melakukan itu lantaran untuk menutupi jati dirinya yang belum siap terlihat. Sebelum akhirnya nanti mengambil cuti, Noza tidak ingin ada orang yang tahu.
Aktifitas perkuliahannya hari itu ia lalui dengan baik. Noza sangat bersyukur kandungannya tidak banyak masalah dan bayi di dalam perutnya sangat pengertian. Ia selalu menjalani harinya dengan tenang.
***
Noza sedikit terkejut saat membuka kunci kamar kosannya ternyata sudah dibuka. Lalu, siapa yang ada didalam? Apakah sudah ada yang masuk, atau dirinya lupan mengunci.
"Sudah pulang?" Sapa seseorang begitu pintu dibuka. Noza terperanjat melihat Lintang sudah tiduran dikamar kostnya.
"Kamu, kenapa bisa ada disini?" Tanya Noza kaget.
"Sorry, langusng masuk tanpa permisi, tadi udah telpon kok, walaupun nggak diangakt sih. Kamu lupa ya, aku kan masih bawa kunci kamar kamu, jadi tentu saja bisa masuk." Jawabnya enteng tanpa dosa.
Perempuan itu menghela napas sepenuh dada. Mencoba tenang walau hatinya tidak baik-baik saja.
"Ada apa? Lain kali jangan masuk rumah orang sembarangan, tidak sopan!" Kata Noza masam.
"Aku bawa ini, keperluan untuk kamu. Bener kan rasa ini yang sering kamu minum?" Tunjuk Lintang pada beberapa kotak susu yang berada di tas kresek.
"Terimakasih, tolong sampaikan ke mamamu. Kalau sudah tidak ada urusan, tolong pergi!" Usir Noza dingin tidak ingin banyak pembicaraan lagi.
"Bukan dari mama kok, tapi ini aku yang beli. Biar ana itu sehat, dan kamu juga." Ujarnya santai.
Noza tertegun sejenak, lalu kembali bersikap biasa saja. Sebanyak apapun pria itu lakukan, dirinya tidak tertarik untuk berdamai dengannya.
"Owh.. Terimakasih." Jawabnya datar.
"Za, aku mau mintan maaf." Ucap Lintang tiba-tiba.
Noza terdiam, walaupun lahiriahnya sudah memaafkan, tetapi hatinya sulit untuk mengikhlaskan.
"Aku tahu aku salah, tapi peristiwa itu benar-benar di luar kendaliku. ku dalam pengaruh obat malam itu, susah buat aku untuk meredamnya. Kebetulan malam itu kamu datang, seperti membawa air dalah dahaga."
Sesak sekali dada Noza kala teringat malam itu. Sesak dadanya untuk berucap tidak apa-apa. Karena pada kenyataannya, Noza hancur sejak malam itu.
"Pulanglah... Aku tidak ingin mengingatnya. Tinggalkan tempat ini." Ucap Noza dingin.
"Aku minta maaf." Ujar Lintang sekali lagi.
"Kapan jadwal check up lagi? Nanti biar aku jemput." Tanya Lintang ingin tahu.
"Masih lama." Jawab Noza enggan menatap mata pria itu.
"Oke, beritahu aku jika harinya. Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?"
"Iya," Jawab Noza jelas.
"Apa? Mungkin aku bisa mengabulkan." Ujar Lintang siap mendengarkan permintaan dari Noza.
"Jangan datang lagi ke sini." Jawab Noza membuat Lintang tertegun.
"Anggap saja aku datang untuk anak itu. Kamu boleh untuk pura-pura tidak peduli."
"Tidak menampakkan diri lebih baik. Kamu bisa menitipkan saja untuk anak ini." Kata Noza tetap tak ingin banyak berinteraksi dengan Lintang.
"Oke, aku paham. Semoga kamu dan janinnya selalu sehat." Ucap Lintang beranjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya sembilan bulan
Ficção GeralAku bernama Nozafitri Utami yang sering di panggil Noza. Kehidupan Normal yang aku jalani harus menjadi jungkir balik karena mendapatkan pelecehan dari seorang pria yang aku segani dan hormati. Banyak mimpi dan tujuan yang aku layangkan tinggi seaka...