Bab. 47

291 9 0
                                    

Noza telah diantar bersama keluarga besar menuju tempat persinggahannya yang baru. Pesantren Al-Ikhlas, dimana putra bungsu bu Lisa dan pak Rangga juga belajar disana. 

Kedatangan mereka juga untuk menjenguk Raka. Adik Lintang yang tidak begitu tahu persoalan dirumahnya. Namun, ia cukup senang ketika sore itu melihat sosoknya datang menjenguk. 

"Papa, mama, kenapa kak Noza tinggal disini? Apa bang Lintang boleh?" Tanya Raka heran. 

"Boleh nak, abangmu harus belajar banyak hal untuk kehidupan rumah tangganya. Ikut pantau kakakmu, Noza ya, kabari papa dan mama jika ada apapun." Pak Rangga berpesan pada putra bungsunya. 

Raka hanya mengangguk, tetapi ia merasakan aura kesedihan dimata kedua orangtuanya. Membuat pemuda itu bertanya-tanya. 

Bu Lisa dan rombongan bertemu dengan abah Kyai dan juga bu Nyai untuk menyerahkan Noza yang tinggal disana. Mereka juga berbincang banyak hal dengan keluarganya disana. 

"Titip menantuku mbak, akan aku ambil nanti jika Noza merasa sudah siap untuk pulang." Ucap bu Lisa pada iparnya. 

"Tenangkan dirimu, mbak, InsyaAllah disini Noza di temapat yang tepat." Jawab Shelly yakin. 

Perpisahan sementara itu begitu mengharu biru. 

"Baik-baik disini. Tempat ini menjadi pilihanmu. Kabari ibu secara berkala." Ucap bu Maryam begitu sedih. 

"Noza akan baik-baik saja, buk." Noza mengangguk dengan kesungguhan hatinya. 

***

"Tang, Lintang! Kamu tuh kenapa sih dari tadi ngelamun terus. Aku lagi ngomong loh." Tegur Anzel merasa diabaikan.

"Maaf Zel, aku dengar kok." Kata Lintang tetap tidak fokus. 

Setiap pagi memang Lintang tidak merasa mual luar bisa lagi, tetapi merasa hatinya tidak tenang. Apakah ini yang dinamakan didera rasa bersalah yang dalam. 

Anzel menatap kekasihnya yang terlihat aneh belakangan ini, tidak seperti Lintang yang selalu memanjakannya. Bahkan tidak pernah mengabaikan dirinya sekalipun. 

"Tang, kamu ada masalah? Belakangan ini aku perhatikan kamu beda?" Tanya Anzel penuh selidik. 

"Perasaan kamu saja." JawabLintang dingin. 

Bagi Anzel sikap Lintang itu sungguh sangat mencurigakan. Sejak dari pagi Lintang terlihat melamun dan tidak fokus. Gadis mana yang tidak gerah melihat sikapnya yang abu-abu. 

"Zal, andai aku berbuat satu kesalahan pada hubungan kita, apakah kamu mau memaafkan aku?" Tanya Lintang tiba-tiba. 

Gadis yang tengah galau itu tersentak. Menatap serius dengan rasa ingin tahu. 

"Kesalahan seperti apa dulu? Emangnya kamu negelakuin apa?" Tanya Anzel tak sabar Lintang mengatakan kerisauan hatinya. 

Pria itu bukannya menjawab malah diam kebali, benar-benar memancing huru-hara. 

"Tang, ya ampun... kamu tuh nggak asyik banget. Kita ketemunya nanti aja dech kalau otak kamu udah beneran dikit. Bikin kesal aja!" 

Anzel merajuk. Gadis itu bangkit dari kursi lalu beranjak. Merajuk adalah senjata ampuh untuk membuat Lintang kelimpungan kalau sudah begini. Namun, jangankan mengejar dan membujuk Anzel untuk tetap duduk tenang. Bangkit dari kursi pun tidak. Ada apa dengan Lintang. 

"Dasar, jadi cowok nggak peka. Ngeselin banget sih! Maunya apa coba!" Gerutu gadis itu berlalu smebari menghentakkan kakinya. 

Perempuan itu berlalu meninggalkan kafe dengan hati begitu dongkol. Ia menghubungi Nuna hanya untuk sekedar berbagi cerita. Kesal sekali rasanya. 

***

Anzel membawa Nuna kerumah Lintang, karena rasa penasaran dengan apa yang ia pikirkan selama ini tentang Lintang dan Noza. Meskipun selama ini Anzel terus menepis perasaan curiga itu. 

Mereka tidak benar-benar masuk, hanya memantau dari jarak aman dari dalam mobilnya. Diluar pagar sembari mengintai keberadaan didalam. 

"Eh Zel, ada yang keluar, siapa dia?" Seru Nuna memperhatikan pagar yang terbuka. 

"Tunggu disini Na, gue mau turun." Ujar Anzel langsung membuka pintu mobilnya. 

"Buk, permisi, bener nggak Noza tinggal disini?" Sapa Anzel ramah. 

Bu Maryam menghentikan langkahanya, mendengar nama putrinya disebut, ia menatap waspada. 

"Eh ya, kenalin buk, saya Anzel, saya temannya Noza. Belakangan ini menghubungi Noza tidak pernah ditanggapi. Apa Noza baik-baik saja? Kami khawatir." Ujar Anzel memperkenalkan diri. 

"Owh... teman kuliahnya ya. Noza baik-baik saja, tapi memang sekarang sedang ada kesibukan lain mungkin belum sempat berkabar." Jawab bu Maryam hati-hati. 

"Iya buk, syukurlah kalau Noza baik. Apa saya boleh bertemu? Ada tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama. Kami harus ketemu Noza." Anzel mengiyakan saja ucapan bu Maryam, disempurnakan dengan kebohongan demi rasa penasran yang mendera. 

"Noza sedang tidak tinggal disini. Noza di pesantren. Maaf ya nak, ibu masuk dulu." Pamit bu Maryam tak ingin ngobrol banyak dengan orang yang belum dikenalnya. 

"Di pesantren?" Tanya Anzel terkejut. 

"Iya." Jawab bu Maryam irit kata. 

"Buk! Tungu bu! Di pesantren mana ya?" Tanya Anzel sungguh keheranan. 

"Al-Ikhlas." Jawab bu Maryam.

Anzel kembali ke mobilnya dengan dipenuhi banyak pertanyaan. Membuat Nuna yang sedari tadi mengamati dari dalam mobil tak sadar mengetahui pembicaraan mereka. 

"Gimana? Dia siapa?" Tanya Nuna tak sabar. 

"Nggak tahu, mungkin pembantu dirumah ini. Tapi yang gue heran, ngapain ya Noza dipesantren? Apa ini ada hubungannya dengan Lintang?"

"Ya positif thinking aja, mungkin mendalami ilmu agama. Secara dia kan kamu syar'i gitu." 

"Iya juga sih. Astaga... mobil Lintang Na!" Seru Anzel melihat mobil Lintang memamsuki halaman rumahnya. 

"Dia dari mana? Apa dari tadi baru pulang? Benar-benar mencurigakan si Lintang ini."

Lintang memang baru pulang sejak bertemu dengan Anzel tadi. Ia merasa malas untuk dirumah. Lintang merasa tidak ada tujuan berada dirumah. Sengaja ia baru sampai rumah setelah mengitari kawasan komplek Al-Ikhlas. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang