Bab. 32

327 10 0
                                    

 Lintang berlari cepat ke IGD rumah sakit. Dia mendapat kabar kalau kekasih hatinya baru saja mengalami musibah. 

"Anzel!" Panggil Lintang nada khawatir. 

"Kamu sendirian?" Tanya pria itu tak melihat siapapun disana. 

"Iya, tadi sama Nuna, tapi udah aku suruh pulang. Cepat banget datangnya." Anzel kaget bagitu mendapati kekasihnya sampai dalam hitungan menit. 

"Iya, kebetulan tadi lagi di jalan dekat sini." Jawab Lintang jelas berbohong. 

"Mana yang luka. Kok bisa gini?" Tany pria itu memperhatikan pergelangan kaki sang kekasih. 

"Namanya juga apes. Ya bisa saja." Jawab Anzel sekenanya. 

"Sabar ya, sakit benget?" Tanya Lintang penuh perhatian.

"Udah mendingan, tapi kayaknya nggak bisa jalan kalau kayak gini." 

"Tenang sayang, ada aku yang bisa kamu andalkan." Ucap Lintang manis.

Tak berselang lama dokter yang bertugas kembali masuk ke bilik pemeriksaan pasien. Dokter tersebut sempat tertegun melihat Lintang disana. Dia tadi begitu terburu-buru, dan ternyata ada disini. 

Keduanya saling tatap, sebelum akhirnya Lintang kembali seprofesional mungkin. 

"Saudara Anzel, luka dikakinya tidak harus rawat inap. Setelah diberikan obat dan diperiksa tidak ada luka yang serius. Baik tulang maupun ligamennya aman. Jadi, dalam beberapa hari bengkaknya akan segera kempes. Obatnya diminum, untuk penghilang rasa nyeri tidak usah diminum lagi jika sudah membaik." Jelas Raga memperbolehkan pasien pulang.

"Jadi, saya langsung boleh pulang Dok?" Tanya Anzel senang.

"Iya, silahkan urus administrasinya dulu sekalian mengambil obat." Ucap Dokter Raga memberikan resep.

"Aku urus ini dulu ya." Ucap Lintang yang diangguki Anzel. 

"Jangan lama-lama sayang." Sahut Anzel manja. 

Lintang langsung bergegas menyelesaikan administrasi dan mengambil obat. Kegiatan keduanya tak lekang oleh pandangan Raga. Mereka terlihat sangat dekat satu sama lain. Bahkan Raga dibuat gagal fokus. 

Setelah menyelesaikan pembayaran, Lintang menggendong Anzel menuju mobilnya. Pria itu akan mengantarnya pulang. 

***

Sementara Noza sudah hampir satu jam menunggu ojol pesanannya tak kunjung datang. Padahal tadi sudah jelas di apply dan dalam perjalanan. Kenapa tidak sampai-sampai. 

"Duh.. Ini kenapa lama sekali. Semoga mang ojolnya nggak apa-apa." Gumam Noza sedikit tak sabar. 

Perempuan itu tengah fokus menatap layar ponselnya tetiba sebuah mobil berhenti di dekatnya. 

"Noza, kok belum pulang?" Suatu kebetulan Raga yang sudah selesai bertugas dan hendak pulang langsung menghentikan mobilnya melihat Noza yang berdiri di pinggir jalan. 

"Eh, kak Raga. Iya, kak." Jawabnya tersenyum canggung. 

"Taksinya belum datang? Cancel aja, ayo naik! Biar aku antar!" Raga langsung membukakan pintu mobil untuk Noza. 

"Tapi kak, emang nggak ngerepotin? Kak Raga kan baru saja selesai, pasti capek pengen cepat sampai rumah."

"Nggak apa-apa, aku antar kamu dulu." Ujarnya santai. 

Raga melirik Noza yang tengah kerepotan memasang seatbeltnya. 

"Biar aku bantu ya." Ujar pria itu mendekat untuk memasangkan. 

"Udah aman." Ujarnya kembali memberi jarak.

"Daritadi berarti nungguin?"

"Iya." Jawab Noza menjadi kurang enak dan malu.

Lintang melirik gadis di sampingnya yang nampak begitu tenang. Semenjak bertemu untuk pertama kalinya. Raga merasa Noza adalah perempuan yang berbeda dari biasanya. Seketika ia merasa kasihan mengingat tadi, Lintang malah sibuk dengan perempuan lain. 

"Eh iya kak, aku udah nggak tinggal dirumah bu Lisa." Jelas Noza begitu mobil mengarah jalanan rumah mertuanya.

"Loh, kok bisa. Bukannya kamu udah nikah sama Lintang? Maksudnya kalian tinggal rumah baru gitu?" Tanya Raga memperjelas.

"Kami memang menikah." Jawab Noza sendu. 

"Hanya sebatas kontrak." Sambung Noza pada akhitnya. 

"Astaghfirullah... Kenapa begitu. Dari niatnya saja sudah tidak benar. Maaf, bukannya aku mau ikut campur, tapi seharusnya niat tidak boleh demikian."

"Kamu benar kak, biarlah dosa ini terputus sampai waktunya tiba. Aku tidak punya pilihan lain selain mengiyakan."

"Terus sekarang kamu tinggal dimana?" Tanya Raga mendadak tidak tenang. 

"Didekat kampus? Biar aku lebih tenang juga."

"Apa Lintang memperlakukan kamu  dengan baik?" 

Noza terdiam sejenak dan air matanya luruh, miris rasanya mengingat tentang pernikahan keduanya yang jauh dari kata pasangan. 

"Sekarang aku paham, kamu yang sabar." Ujar Raga menarik beberapa tisu dan menyodorkan pada Noza. 

"Maaf kak, aku malah nangis." Ucap Noza terbawa suasana. 

"Tidak masalah, itu malah bagus agar mentoxic tekanan yang ada didalam diri kamu. Menangis itu perlu karena kadanga manusia super juga butuh air mata." 

"Jadi kamu tinggal sendirian di kost?" Tanya Raga merasa kasihan. 

"Iya, tapi aku jauh lebih tenang daripada masih disana. Bu Lisa sanga baik, begitupun pak Rangga, tapi-" Noza terdiam.

"Aku paham. Yang sabar ya, kasihan anak itu, ibu hamil itu harus bahagia. Masih banyak orang yang disekitar kamu."

"Terimakasih kak, semoga aku bisa kuat sampai anak ini lahir nanti."

Raga mengantar Noza sampai ke kosan. Noza sengaja turun belum terlalu dekat. Mengingat tadi sempat sedikit heboh di kosannya. Takut menjadi bahan gunjingan jika diantar pria yang berbeda.  

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang