Bab. 33

528 22 0
                                        

Subuh-subuh saat lintang terjaga, ia langsung lari ke kamar mandi lantaran tak tahan ingin muntah. Lintang kembali mual-mual, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Lintang kembali terlihat menyedihkan dan uring-uringan pagi itu. 

"Ma, aku nggak kuat kalau gini. Masa setiap pagi gini sih. Tidak enak sekali." Lintang hampir putus asa. 

"Sabar Lintang, namanya syndrom cauvade itu ilang dengan sendirinya. Kita nggak bisa bantu. Kamu banyak-banyak berdoa saja semoga cepat berlalu."

"Kapan sembuhnya ya Allah... Aku nggak kuat." Keluh Lintang lemas. 

Bu Lisa membuatkan susu jahe dan makanan diantar kekemar Lintang. 

"Minum selagi hangat, Tang. Nanti kalau sudah lebih baik, makan juga biar kamu ada tenaga." Ucap bu Lisa merasa kasihan juga. 

Lintang merasa pagi ini semakin parah. Bahkan dia tidak bernajak dari kamar, padahal pagi kemarin benar-benar sudah merasa segar bugar dan sehat. Bu Lisa pun agak khawatir dengan keadaan putranya pagi ini. 

"Lintang kumat lagi?" Tanya pak Rangga pada istrinya. 

"Iya, dia pagi banget sudah muntah-muntah. Sampai lemas gitu. Ksihan." Jawab bu Lisa kasihan. 

"Panggilkan dokter saja." Ujar pak Rangga.

"Bagaimana aku jemput Noza, siapa tahu keadaan Lintang menjadi lebih baik setelah dekat dengan istri dan anaknya. Kamu kan dulu begitu. Memang terdengar aneh, tapi kamu juga dulu merasa lebih nyaman saat di samping aku terus." Ujar bu Lisa mendapatkan solusi berdasarkan pengalaman pribadinya. 

"Iya, sepertinya itu lebih baik." Jawab pak Rangga mengingat kronologis dulu yang cukup aneh tapi nyata. 

***

Siang harinya, ibu mertua Noza menunggu di kampus. Perempuan paruh baya itu rela menunggu menantunya sampai jam kuliah hari ini selesai. Jangankan mengelak, menepun seakan Noza terus dikejar. 

"Ayo sayang, hari ini kita pulang ke rumah, kamu sudah selesai kan?" Ajak bu Lisa mempersilahakn Noza masuk ke mobilnya. Perempuan itu telah menghubungi Noza akan menjemputnya untuk pulang ke rumah karena keadaan Lintang. 

"Iya ma, aku tadinya bisa pulang sendiri, jadi merepotkan sampai dijemput segala." Ujar Noza sungkan. 

Sampai di rumah yang telah membesarkan dirinya. Noza lebih dulu izin menemui ibuya . Sebenarnya dia sangat rindu walaupun setiap hari berkabar lewat telpon. 

"Assalamu'alaikum... Buk!" Sapa Noza tersenyum. 

"Waalaikumsalam... Noza, kamu disini sayang." Ucap bu Maryam haru. Keduanya berhambur dalam pelukan. Ibu dan anak itu terlihat sangat merindu. 

"Kamu pulang kenapa tidak memberi kabar, nak. Kamu sehat? Ada apa, sayang?" Tanya bu Maryam mengurai pelukan itu.

"Kangen sama ibuk, Noza sehat, tadi bu Lisa yang jemput." Jawab Noza tersenyum tipis. 

"Owh..." Jawab bu Maryam agak ragu kenapa tiba-tiba putrinya dijemput. 

"Seharusnya kamu bisa menolak kalau merasa tidak nyaman. Ibu tidak mau kamu banyak pikiran." Bisik bu Maryam khawatir. 

"Noza baik-baik saja buk, jangan khawatir, hanya sebentar, nanti Noza pulang." Katanya menenangkan. 

"Noza mau istirahat dulu, atau mau ngobrol dulu juga nggak apa-apa, kalau butuh istirahat kamar sebelah Lintang saja, Za, mari mama antar." Ujar bu Lisa harus membuat menantunya betah dan nyaman. 

"Nanti saja ma, Noza tidak capek. Noza masih kangen sama ibuk." Ujar perempuan itu membuat bu Lisa paham. 

"Mama tinggal dulu, nanti kalau sudah merasa nyaman, mama antar ke kamar Lintang." Ujar bu Lisa beranjak. 

Noza memilih istirahat di paviliun belakang, tepatnya dikamar yang belum lama ditinggalkannya. Masih sama seperti minggu-minggu lalu. Rapih, bersih, dan juga nyaman. Perempuan itupun merebah di ranjang yang sudah beberapa hari ditinggalkan. 

***

Setelah menunaikan sholat, perempuan itu manfi dan santai sejenak. Tak berselang lama bu Lisa mendatangi ke belakang. 

"Noza, kamu sudah bangun? Ayo sayang, jenguk Lintang, dia sudah menunggu." Ujar bu Lisa menjemput menantunya. 

Noza sebelumnya sudah menyiapkan hati. Mengangguk mengikuti langkat mertuanya. Gadis berhijab itu masuk dengan batin bismillah. Jujur, selalu tidak nyaman dan merasa takut setiap masuk kekamar Lintang. 

Begitu pintu kamar dibuka, Noza tertegun melihat Lintang tengah berbaring lemas di ranjangnya dengan mata terpejam. Ia mendekat seiring langkah bu Lisa membimbingnya. 

"Tang, bangun, ada Noza sayang." Kata bu Lisa meraba lengan yang berhias selang infus. 

Lintang membuka matanya, kenapa ibunya membawa Noza kekamarnya. Lintang serasa ingin protes, tetapi apa daya tak benyak tenaga. Sejenak mendadak kesal, tetapi kenapa tubuhnya terasa lebih baik dan nyaman. Ada apa sebenarnya, kenapa ia serasa lebik baik dan bisa bertenaga untuk bangkit dari ranjang.

"Cepat sembuh mas." Kata Noza sopan. Bertingkah seperti dulu, saat belum terjadi apapun. 

"Terimakasih." Jawab Lintang sembari mengambil sikap duduk.

"Noza disini dulu ya, temani Lintang, dia belum makan dari pagi. Siapa tahu kedatangan kamu membuat Lintang berselera." Kata bu Lisa memberikan ruang untuk keduanya. 

Terdengar tidak mungkin, tetapi benar, Lintang merasa lapar dan rasanya ingin makan. Lidahnya mendadak menginginkan sesuatu. 

"Za, bisa minta tolong ambilkan bubur di meja, masih hangat, sepertinya enak." Pinta Lintang untuk pertama kalinya berkata lembut. 

Noza mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduknya. Menyambar mangkuk untuk diberikan pada Lintang. 

"Terimakasih." Jawab pria itu sembari menerima dari tangan Noza. 

Pria itu tergerak untuk makan, padahal sebelumnya malas hanya untuk sekedar bangkit dari pembaringan. Apakah kehadiran Noza cukup berpengaruh? Lintang benar-benar tidak paham, pasalnya hati Lintang kadatang merasa kesal. 

Lintang menyendok suapan demi suapan. Noza sendiri masih duduk disana, sesekali memperhatikan pria itu yang nampak khusuk menekuni isi mangkuknya. 

"Mmm.. Cepat sembuh Tang, sudah sore, aku pamit dulu." Kata Noza pamit. Merasa sudah harus kembali. 

Lintang menghentikan tangannya yang hampir menyuap sendok. Kenapa mendadak ada sesuatu yang ingin menahan agar tetap tinggal. Apakah itu sebuah ikatan bapak dan anak. Ada sesuatu yang sangat tidak nyaman saat Noza beranjak. 

Lintang tercenung, menatap punggung gadis itu sampai menghilang dibalik pintu. Ia langsung menghentikan makannya lalu menepikan mangkuk dinakas. Turun dari ranjang begitu saja, berusaha melepas infusnya. 

"Tang, mau kemana? Kamu sudah enakan? Kok dilepas?" Tanya bu Lisa mendekat. 

"Lebih baik Ma." Jawab Lintang fokus dengan punggung tangannya yang dibantu bu Lisa. 

"Syukurlah kalau sudah lebih baik, mama bila apa, penyakitmu akan sembuh jika dekat dengan anak dan istrimu." Bu Lisa mendengungkan kata-kata serupa.

"Noza sudah pulang ya ma." Tanya Lintang refleks mencari sosok itu. 

"Iya, padahal kalau kamu mau menahannya untuk tetap tinggal, pasti tubuh kamu lebih baik. Tidak mau kan pagi-pagi muali lagi." Ucap bu Lisa terdengar sebuah petuah. 

"Jangan menakuti ma." Jawab Lintang. 

"Mama tidak menakuti, Lintang, kamu bisa merasakan sendiri. Sejatinya, kamu mempunyai ikatan kuat dengan anakmu sendiri. Mulailah berdamai dengan keadaanmu, minta maaflah yang tulus. Mama yakin Noza juga akan memaafkan, kalau kamu bersungguh-sungguh berubah."

Lintang terdiam sejenak, apakah selama ini dia sudah sangat keterlaluan. Tapi kenapa seperti masih banyak hati yang mengganjal. Cinta dan kehidupannya tidak bisa dipaksakan. Mungkin dia bisa mencobanya, tetapi terasa mustahil mengingat keduanya tidak ada chemistry apa-apa.

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang