Bab. 7

759 25 0
                                        

"Semua pekerjaan halal itu mulia, apalagi tujuannya untuk keluarga. Jadi, apapun profesinya harus di syukuri." Ucap Raga bijak.

Ekhem!

Seketika Lintang merasa tertampar dengan jawaban saudara sepupunya itu. Sejauh ini juga dia tidak pernah berniat meremehkan profesi orang. Hanya saja tidak suka segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu. 

Suasana nampak hening beberapa detik. Semua sibuk menekuri menu di depannya. 

"Dengar-dengar kamu lagi koas Ga? Wah.. Calon dokter." Bu Lisa merasa bangga. 

"InsyaAllah stase terakhir bude, tinggal nyiapin ujiannya lagi." Jawab Raga yang sebenarnya sangat sibuk.

"Semangat, kamu pasti bisa. Harus berguru sama abinya."

"Hahaha. Beliau pakem bude, tapi Raga banyak belajar juga dari abi."

"Salam ya buat ummi sama abi kamu." Ucap Bu Lisa mengakhiri obrolan.

Lintang dan Noza hanya jadi pendengar setia. Pria itu tidak begitu tertarik dengan dunia kedokteran seperti ayah dan ibunya. Ia lebih mencintai bisnis dan dunia fashion. 

"Terimakasi traktirannya bude, kapan-kapan lagi. Hehehe. Maaf ini aku duluan masih ada jadwal soalnya." Raga baru saja mendapat panggilan di ponselnya. 

"Iya, hati-hati di jalan." Bu Lisa mengangguk dengan senyuman. 

"Ayo bro! Duluan Ya!" Raga adu kepalan tangan dengan Lintang. 

"Za, duluan, Assalamualaikum..." Ia tersenyum pada gadis berhijab yang sedari tadi diam.

"Waalaikumsalam.. Hati-hati kak." Noza balas dengan senyuman. 

Lintang melirik dengan jengah. Pria itu pun ikut berdiri dan pamit juga. 

"Kamu langsung pulang, Tang. Jangan keluyuran!" Bu Lisa memperingatkan putranya. 

"Iya ma." Jawab pria itu patuh langsung beranjak menuju parkiran. 

Noza dan Bu Lisa sudah di dalam mobil, perempuan itu berusaha menyalakan masinnya tetapi dari tadi tidak berhasil. 

"Ini mobil kenapa lagi sih, perasaan baru masuk bengkel." Bu Lisa menggerutu. 

"Nggak bisa ya bu, kita naik taksi aja." Ujae Noza. 

Lintang yang masih di area parkir melihat mobil ibunya tidak kunjung  melaju, ia kembali turun dan mendekat. 

"Mobilnya kenapa, ma?" Tanya Lintang.

Noza ikut turun, ia yang tidak tahu hal mesin pun ikut melongok. 

"Telpon bengkel aja ma, kayaknya minta ganti, sudah lama kan mobil ini." Lintang setengah bercanda. 

"Bener deh, baru kemarin masuk bengkel, masa nggak bisa lagi. Mama nebeng kamu Tang!" Bu Lisa tidak ada pilihan. 

"Ya udah ayo!" Ajak Lintang. 

Sementara Noza tengah memikirkan alasan yang tepat untuk tidak semobil dengan Lintang. Ia hanya terdiam bingung. 

"Za, ayo! Ikut mobil Lintang saja, biar nanti telepon bengkel buat benerin." 

"Bu Lisa duluan saja, kebetulan masih ada yang Noza mau beli." 

"Apa Za, ini sudah sore, nanti ibumu nyariin, ya sudah sana beli cepet biar kita tunggu di sini nggak pa-pa." 

"Ma, ngapain sih, biarin aja masih sore juga." Lintang tidak setuju. 

"Jangan Donk! Anak gadis itu nggak boleh jam-jam rawan masih di luar. Sana anterin sebentar!" Bu Lisa menyruh putranya agar mengantar Noza. 

"Nggak usah bu, Kemungkinan lama, jadi ditinggal aja." Ujarnya sungkan. 

"Nah, ayo ma, biarin aja!" Sahut Lintang cepat. 

"Lintang! Kamu kenapa sih, kasihan Noza nanti pulangnya, sudah sana cepetan!" 

Lintang menatap tajam gadis itu, hingga mau tidak mau Noza beralasan lainnya. 

"Beli besok aja bu, sekarang pulang saja." Ucapnya mengalah. 

"Dari tadi kenapa, banyak banget drama!"Bisik Lintang saat berjalan di dekatnya masuk ke mobil. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Noza langsung menuju rumahnya setelah turun. 

"Dari mana saja Za, kok sampai sore gini?" Bu Maryam melihat putrinya baru sampai. 

"Maaf bu, tadi diajak bu Lisa ke kliniknya, terus nemenin belanja juga."

"Owh.. Ya sudah, masuk sana terus makan, pasti lapar kan?"

"Noza sudah makan juga tadi di luar bu, nggak enak mau nolak." 

"Ya sudah, Istirahat saja. Ibu masih ada pekerjaan belum beres." Bu Maryam kembali ke rumah utama. 

***

"Sok jual mahal banget sih, emangnya nggak butuh uang apa?" Gumam Lintang kesal. Sepertinya ia harus mencari cara lain agar Noza tidak menampakkan gelagat yang mencurigakan. 

Keesokan paginya, Lintang merasa sangat ngantuk karena semalam susah tidur. Entah di jam berapa, yang jelas pria itu tidak tenang. 

"Pagi mas, ini sarapannya sesuai pesanan mas Lintang kemarin." Bu Maryam menyiapkan nasi goren spesial. 

"Terimakasih mbok. Mama sama papa sudah berangkat ya, kok sepi?" Tanya Lintang seorang diri di meja makan. 

"Pagi-pagi sekali pak Rangga sudah berangkat, kalau bu Lisa baru saja mas." Jawab Bu Maryam sembari mondar-mandir sibuk sendiri. 

"Owh.. Ya mbok, tolong setrika kemeja hitam aku mbok, lagi pengen pakai itu." Ujar Lintang. 

"Siap mas." Jawab Bu Maryam. 

Di saat Noza sengaja mencari ibunya yang biasa menghuni ruang belakang istana megah majikannya. 

"Za, kebetulan kamu datang, ibu minta tolong sebentat, setrikain kemeja ini sekarang, perut ibu sakit." Bu Maryam melesat pergi. 

"Tapi bu, Noza sudah mau berangkat." Sahut gadis itu yang sudah di tinggal pergi sang ibu pergi ke kamar mandi. 

"Duh.. Ini pasti kemeja orang itu, males banget sih!" Noza menggerutu. Padahal sebelumnya ia sering membantu ibunya. 

Noza tetap melakukan walau mulutnya menggurutu. Sementara Lintang di kamarnya, dia sudah selesai mandi tetapi bu Maryam takkunjung membawakan ganti yang diminta. 

"Mbok! Mbok!" Lintang berjalan mencari art-nya. 

Noza yang mendengar pekikan Lintang jelas menghindar. Gadis itu hendak keluar, tetapi suara Lintang semakin dekat. Membuat Noza mengurungkan niatnya, dan bersembunyi di balik pintu. 

"Mbok kemana sih, masa nyetrika nggak di cabut, ini kan bahaya." Gumam pria itu mepelas setrikaan yang masih di colok. 

Saat hendak memikirkan cara agar keluar, tiba-tiba handphone gadis itu menyala. Sontak saja tertangkap oleh telinga Lintang yang hendak pergi. 

"Ngapain kamu disini?" Tanya Lintang. 

Noza yang kaget plus melihat pria di depannya bertelanjang dada langsung menjerit spontan. 

"Apaan sih! Diem!" Geram Lintang merasa Noza terlalu berlebihan. 

Lintang yang gemas menghimpit tubuh gadis itu membekap mulutnya. Noza yang diperlakukan seperti itu melakukan perlawanan. Tubuhnya bergetar hebat ketakutan. Dengan intuisi yang tersisa, ia spontan menggigit tangan Lintang yang dengan kurang ajar membekap mulutnya. 

"Aww.. Aww.." Desis Lintang mengibaskan tangannya. Sementara Noza sendiri lalu menjatuhkan kemeja di tangannya lalu melesat menjauh pergi.

"Sialan" Umpat Lintang mengibaskan tangannya. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang