Bab. 40

390 14 0
                                    

Noza dan Lintang di dalam satu mobil hanya keheningan yang menemani keduanya. Baik Noza dan juga Lintang tidak ada yang memulai obrolan. Sampai di jalan terjebak macet dan mengharuskan pria itu menanyakan sesuatu. 

"Nanti tidur di kamar aku ya." Kata Lintang mutlak. 

"Aku tidak mau." Jawab Noza membuang muka. 

"Ya sudah nggak apa-apa, tidur dikamar lain yang ada dirumah. Eh, ya besok kamu pindah aja dari kosan. Kita akan tinggal diapartemen." Kata pria itu tiba-tiba. 

"Aku tidak mau." Jawab Noza lagi.

"Harusnya mau, disana sama sekali tidak nyaman. Kasur sempit, bagaimana aku bisa tidur kalau begitu."

"Aku berhak menentukan dimana aku tinggal, bukan kamu." Kata Noza lugas. 

"Ya, tapi kita terikat, mari kita berdamai selama sembilan bulan saja. Bukankah kita sudah sepakat untuk itu." 

"Hanya sebuah status tidka harus tinggal bersama. Aku rasa tidak ada perjanjian apapun yang merujuk itu."

"Tapi aku mau dekat dengan anak itu. Seharusnya kamu paham?"

"Bukankah kamu tidak menginginkan? Bahkan tidak mengakuinya? Kenapa harus dekat?" Tolak Noza sesuai perkataan Lintang tempo lalu. 

"Pada kenyataannya perkataan orang itu bisa berubah, termasuk saat ini yang aku mau, jadi tolong kerjasamanya, mari kita berdamai?" Kata pria itu tenang. 

"Aku sudah cukup berdamai, tolong jangan usik kehidupan aku, Lintang. Biarkan kita seperti ini saja sampai anak ini lahir." 

"Mana bisa begitu, anak ini tuh rewel, aku tidak bisa jauh darinya. Okelah nanti setelah beberapa bulan mungkin bisa, sekarang bahkan aku setiap pagi tersiksa, membosankan sekali harus jadi aku gegara kehamilan simpatik ini? Kamu ngerti nggak sih?!" Sentak Lintang membuat Noza terdiam. 

"Terus, semua salah aku gitu?" Tanya Noza hilang kesabaran. 

"Iya, kalau saja kamu tidak hamil, aku nggak bakalan ngerasain mual muntah setiap pagi. Ini sangat menyiksaku Noza!" Kata pria itu mencengkram pundak Noza gemas. 

"Lepasin! Cukup Lintang! Aku juga tidak mau hamil anakmu! Berengsek kamu!" Noza meronta lalu mendorng tubuh Lintang agar menjauh. 

"Awww... Sshhh." Desis Noza merasakan sakit tiba-tiba menyerang perutnya. 

"Za, Noza! Perutnya sakit?" Tanya Lintang panik. 

"Ssakiitt..." Rintih Noza meratap Lara. 

"Ya ampun... Macet lagi, kita kerumah sakit sekarang." Ujar pria itu kebingungan. 

Noza mengatur napasnya, perutnya tiba-tiba kram dan rasanya sangat tidak nyaman. Berharap malam cepat berlalu, berganti siang penuh kedamaian. 

"Aku minta maaf, tadi nggak ada maksud. Makanya nurut, jangan bikin aku kesal. Apa masih sakit?" Tanya Lintang merasa bersalah. 

"Ini minum dulu, kamu pucet." Pria itu menyodorkan air mineral ke hadapan istrinya. 

Perempuan itu sudah sedikit lebih tenang. Lintang juga kembali melajukan mobilnya setelah terbebas dari kemacetan. Sesekali pria itu menatap samping, memperhatikan Noza yang sedari tadi hanya diam menatap kosong ke arah jendela mobil. 

"Apa perut kamu masih sakit? Jadi ke dokter?" Tanya pria itu membelokkan mobilnya megarah ke sebuah klinik. 

"Nggak usah, aku mau pulang." Tolak Noza merasa lebih baik. 

Noza seperti putus asa kembali. Semangatnya hilang mempertahankan bayi itu. Seandainya tiba-tiba kehamilannya itu bisa hilang, mungkin Noza adalah orang yang paling bahagia saat ini. 

***

"Sudah sampai, ayo turun!" Kata Lintang membuyarkan lamunan Noza yang nampak diam. 

Pria itu lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Noza. 

"Mama pasti senang kalau kamu mau tinggal dirumah. Mulai malam ini kamu tidur di kamarkau ya." Kata lintang saat Noza keluar dari mobil. 

Perempuan itu tidak menjawab, tetapi berjalan ke arah paviliun belakang. Membuat Lintang menghela napas lelah. Mau tidak mau pria itu megekor dengan gemas. 

"Untuk apa kamu mengikuti? Aku butuh istirahat Lintang." Tolak Noza merasa kesal di hati. 

"Ya... Kalau kamu nggak mau tidur dikamar aku, nggak apa-apa biar aku yang ngalah." Jawabnya tanpa merasa berdosa sekali. 

Noza menyorotnya dingin, lalu berbalik melanjutkan langkahnya masuk. Bukan menuju kamar dirinya, melainkan kamar ibunya. Membuat Lintang tertahan di depan pintu. 

Lintang menunggunya dengan tdak sabar. Cukup lama Noza didalam hingga membuat Lintang lelah berdiri. Haruskah dia malam ini pulang dan tidur dirumah. Lintang mendadak galau mondar-mandir didepan pintu. 

***

"Bu, Noza pulang." Sapa perempuan itu mendekati ranjang. 

Bu Maryam yang hampir lelap kaget, langsung membuka matanya begitu mendengat suara yang selalu dirindukan. 

"Noza, beneran kamu, nak? Ibu pikir mimpi, kenapa pulang selarut ini?" Tanya perempuan paruh baya itu bangkit dari pembaringan. 

"Kangen sama ibuk. nggak bisa tidur. Noza boleh kan, tidur disini malam ini?" Pinta gadis itu sembari berhambur dalam pelukan ibunya. 

"Boleh dong sayang, tidurlah disini, kamu terlihat lelah. Apa terjadi sesuatu sama kamu?" Tanya bu Maryam menatap wajah putrinya sendiri. 

"Nggak buk." Jawab Noza menggeleng. 

"Bu, apa di Bandung masih punya rumah? Noza ingin pulang, mau lahiran dikampung saja. Ibu mau kan nemenin Noza?" Kata perempuan itu membuat bu Maryam termangu. 

"Kita bisa mencari tempat singgah yang lain. Biar nanti ibu tanya-tanya saudara di kampung. Terus bagaimana dengan kuliah kamu, Za?" 

"Noza bisa ambil cuti, buk, sampai keadaan ini membaik." Katanya merasa begitu penat. 

"Bersabar sebentar lagi, Noza, ibu akan usahakan." Jawab bu Maryam bingung. 

Noza mengangguk, tak terasa mulai terlelap damai di pelukan ibunya. Tanpa memperhitungkan seseorang yang sedari tadi menunggunya dengan gelisah diruang tengah. 

"Ya ampun... Ditungguin nggak ngerti banget, maunya apa sih tuh perempuan." Gumam Lintang merasa kecewa lalu ia pulang ke kamarnya dirumah utama dengan kesal. 


Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang