Bab. 59

325 11 0
                                    

Rasa lelah membuat Noza tanpa sadar terlelap. Hingga kedatangan Lintang kerumahnya sempat tak terbaca. 

"Bu, Lintang perlu menjelaskan semuanya, mana Noza?" Tanya Lintang menghadap mertuanya. 

"Dia sedang istirahat Lintang, biarkan dia tenang sejenak. Bicara lagi nanti dengannya, ibu sedang banyak tamu." Jawab bu Maryam lirih. 

Dirumah itu banyak tetangga yang baru saja menjenguk Noza, tentu tak enak kalau sampai ada kerubutan sekecil apapun. 

"Apa Lintang boleh ke kamar? Hanya ingin menunggu didalam, Lintang janji tidak akan berbuat macam-macam." Pinta Lintang. 

Bu Maryam mengangguk, lalu kembali menemui tamu yang masih ingin banyak mengobrol. 

Wah... Apa pria yang masuk tadi suaminya Noza? Dia sudah pulang ya merantaunya?" Tanya seorang ibu begitu melihat Lintang tadi langsung masuk kerumahnya. 

"Iya." Jawab bu Maryam singkat. Selama ini beliau selalu bilang pada tetangga kalau suami Noza sibuk bekerja diluar kota.Kebohongan itu tentu saja diciptakan agar tidak ada banyak yang kepo dan Noza menjalani kehamilannya dengan lancar. 

"Mereka pasangan yang sangat serasi. Pasti sangat senang pulang-pulang anaknya sudah lahir." Sahut ibu lainnya. 

Sementara Lintang yang tanpa sengaja mendengar ibu-ibu tetangga berbincang juga menaruh harapan. Lintang masuk kekamar Noza dengan perasaan degdegan. Ia mendekati ranjang, terdiam saat mengamati istri dan anaknya masih sama-sama lelap. 

"Kasihan, kamu pasti salah paham." Kata Lintang duduk di bibir ranjang. 

Sepertinya Noza benar-benar kelelahan. Dia tertidur lelap padahal diluar cukup berisik. Lintang pun ikut merangkak ke atas kasur, merebahkan punggungnya hingga menyender di kepala ranjang. 

Suara rengekan bayi membuat Noza dan Litnang sama-sama terjaga. Ingin marah, melihat Lintang ada disana tapi rengekan Gafi lebih mencuri perhatiannya. Noza harus segera memberikan ASInya.

"Sejak kapan kamu disini?" Tanya Noza sembari menyusui putranya. 

"Sejak kamu tidur. Kita harus bicara Za, kamu salah paham soal Anzel." Ucap Lintang ingin cepat menyelesaikan, jika tidak akan membuatnya tak tenang. 

Noza terdiam, ia berharap Lintang juga tidak sejahat itu. 

"Aku minta maaf, ini tidak seperti yang Anzel katakan. Dulu memang pernah punya rencana itu. Tapi sekarang aku sadar, Gafi butuh kamu, dia juga butuh aku. Jadi, mari kita berdamai mengubur semuanya yang telah lalu." Ucap Lintang panjang lebar. 

Dia sadar, walaupun belum ada cinta yang besar untuk istrinya, tetapi ia mulai sadar perpisahan itu tidak diharapkan. Apalagi ada Gafi ditengah-tengah mereka. 

"Aku sudah memutuskan Anzel, memilih untuk tetap bersama-sama membesarkan Gafi. Bukankah itu keinginan setiap anak pada kedua orangtuanya. Aku yakin Gafi juga begitu jika dia sudah bisa berbicara dan besar nanti. Aku minta maaf, Za. Tapi aku tidak bisa mengiyakan permintaanmu." Ucap Lintang yakin. 

"Kenapa mas? Bukankah ini yang begitu kamu harapakan dan selalu kamu dengung-dengungkan padaku? Jangan lupa itu. Kita masih tetap bisa sama-sama membesarkan Gafi tanpa harus terlibat pernikahan!" Tekan Noza yang sulit untuk percaya. 

"Karena aku peduli, aku inging memperbaiki, aku sayang pada Gafi, aku ingin kita mebesarkan sama-sama." Ada perasaan yang sulit dijelaskan, Ada rasa yang tiba-tiba berat untuk melepaskan.

"Aku ingin memperpanjang kontrak prnikahan kita." Sambung Lintang dengan yakin. 

"Maksud kamu?" Tanya Noza tak ingin main-main lagi dan membuang waktu. 

"Memeperpanjang kontrak kita seumur hidup." Katanya dengan tenang. 

Hati Noza tidak sekuat perempuan lainnya. Ada kalanya dititik rapuh dan jenuh. Dia merasa benar benar lelah dengan semua hidupnya. Memaafkan bukan berarti harus kembali bersama. 

"Anggaplah bersamaku adalah sebuah pelajaran dimana dirimu hanya singgah. Aku minta maaf mas, kalau keputusanku tak sejalan. Bahwasanya setiap pasangan itu butuh diakui dan dihargai. Jika tidak padaku, perlakukan dengan baik wanita yang akan datang di kehidupanmu nanti. Aku baik-baik saja menjadi bagian dari kisahmu. Mari kita akhiri kisah ini sampai disini. Biar aku jelas, kamu juga jelas. Aku tidak akan membatasi pertemuanmu dengan Gafi, asal kamu benar-benar janji tidak akan membawanya dariku." Jelas Noza dengan keputusannya. 

Mendadak seonggok daging bernama hati terasa nyeri. Sesakit ini tertolak saat hatinya ingin memulai semuanya. 

"Beri aku waktu untuk mebuktikan padamu kalau ucapanku serius." Kta pria itu sungguh-sungguh. 

"Jangan berdiri atas nama Gafi, sekuat apapun kita memaksa bersama, hati kita tidak akan menyatu tanpa adanya cinta." Noza tidak ingin terikat hanya karena anak tanpa ada cinta diantara mereka. 

"Bukankah kita bisa mencobanya pelan-pelan, kenapa kamu seperti tak ingin memulainya." Ucap Lintang duduk dengan tenang. 

Nampaknya obrolan mereka sore itu tak mampu memberikan jawaban. Noza dengan keputusannya, dan Lintang juga dengan keputusannya. DI persimpangan dilema yang belum menemukan titik temu. 

Lintang menatap Gafi sendu, rasa sayang itu semakin tumbuh setiap waktu. Bahkan, jika melihatnya hati pria itu menghangat seketika. 

"Apa aku boleh menggendongnya?" Pinta Lintang untuk menghibur hati. 

Noza mengangguk, membiarkan mereka dekat, karena memang Lintang adalah ayah biologisnya. Perempuan itu memindahkan ke pangkuan Lintang dengan hati-hati. 

***

Hingga malam tiba Lintang juga tak  kunjung pulang, membuat Noza sangat tidak nyaman untuk melakukan aktifitasnya. 

"Aku mau istirahat, kapan kamu mau pulang? Ini sudah malam." Usir Noza secara halus. 

"Aku masih ingin bersama Gafi, kamu tidur saja." Sahtu Lintang santai. 

Noza menghela napas lelah. Bagaimana bisa ia tidur tenang sementara dikamar itu ada Lintang yang tengah berbaring di ranjang. 

"Besok bisa datang lagi kan?" Ucapnya setengah putus asa. 

"Besok aku kerja, mungkin siang tidak bisa datang, jadi hari ini aku akan bersamanya sepuasku." 

Jawaban Lintang membuat Noza tak bisa tenang. Bagaimana bisa Lintang sesantai itu dikamar orang. 

Noza mengambil duduk dikursi serba guna. Lalu menjatuhkan kepalanya di meja belajar. 

"Kalau ngantuk, jangan tidur disitu, ranjang kan masih longgar, lagian ada Gafi ditengah, apa yang kamu khawatirkan?" Ucap Lintang melihat kelakuan Noza yang seakan anti dirinya. 

Noza tidak menyahut, dia lelah. Pengen selonjoran, pengen rebahan, tapi ada pria itu semuanya jadai tak nyaman. Membuat hidupnya makin susah saja. 

"Za, pindah, disitu kan tidak nyaman, apa perlu aku gendong?" bisik pria itu mendekat. 

"Aku bisa pindah sendiri." Sahut Noza jutek lalu beranjak merebah kekasur bagiannya. 

Lintang tersenyum kecil melihat muka juteknya. Hanya bisa bersabar, mungkin ini adalah buar dari perbuatannya dulu, hingga membuat Noza begitu anti padanya. 

Sepanjang mata itu tertutup, Lintang mengamati garis wajah Noza lama-lama. Ada perasaan bersalah yang banyak disana. Seketika dalam hatinya bertekad untuk menebusnya satu-satu untuk keluarga kecilnya. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang