Empat hari berlalu sejak kejadian romantis itu. Lintang tidak kunjung ke rumah putranya. Dia rindu, tetapi kesibukan membuatnya belum sempat berkunjung lagi.
Absennya Lintang membuat Gafi rewel dan menanyakan kabar prihal sang papa. Noza yang sedikit bingung tidak enak menghubungi mantan suaminya.
"Ma, kenapa papa tidak pulang?" Tanya Gafi mencari-cari ayahnya.
"Papa sedang sibuk, sayang." Jawab Noza yang ikut galau.
"Kenapa kamu nggak jenguk anakmu, mas, katanya mau datang besoknya. Jangankan menengok, memberi kabar lewat tepon saja tidak. Sesibuk itu atau mungkin karena sudah ada yang baru hingga lupa dan merasa tidak penting dengan kegalauan kami." Noza menggerutu kesal didepan layar ponselnya.
"Ma, ayo telpon papa, kenapa papa belum pulang." Rengek Gafi kembali.
"Iya sayang, mama telpon papa, bentar ya." Bujuk Noza galau meksimal.
Tak tahan melihat putranya yang terus rewel, Noza kahirnya menurunkan kadar gengsi dan malunya untuk menghubungi mantan suaminya lebih dulu. Dengan hati deg-degan tak karuan, Noza mendial nomor ponsel Lintang.
Gelisah, cemas, dan kesal yang dirasakan Noza. Terhubung, tetapi tidak diangkat. Noza menelpon hingga empat kali dan tidak juga ada respon. Membuat perempuan itu menggerutu tak jelas.
"Ini orang kemana sih. Ditelpon nggak diangkat. Nggak ngerti banget anaknya rewel. Ngeselin, kalau datang cuma bua Gafi jadi rewel mending nggak usah datang sekalian." Noza mengomel sendiri di depan layar ponselnya dengan wajah kesal.
Sementara Gafi sudah agak jinak dan tidak begitu rewel. Namun, ia mendadak sendu seharian dan tak bersemangat seperti biasanya.
"Gafi, sayang, ngaji yuk! Nanti pulangnya boleh beli coklat, es krim dan apa ya... permen deh." Bujuk Noza dengan segala jajanan kesukaannya.
"Nggak suka, Gafi nggak mau berangkat." Jawab bozah kecil itu mogok melakukan aktivitasnya siang jelang sore.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan terus beli mainan. Nanti Gafi pilih sendiri mau apa." Bujuk Noza melakukan apapun.
Noza membujuk seraya menggendongnya. Boza kecil itu menggangguk tak bersemangat.
Noza bersiap mengajak putranya keluar. Sebelumnya pamit dulu dengan bu Maryam.
"Buk, Noza mau ajak Gafi keluar bentar, kalau ada orang nyari atau apapun suruh telpon saja ya buk." Pamit Noza beranjak.
"Gafi nggak ngaji? Kenapa Lintang berhari-hari tidak kesini ya?" Bu Maryam menanyaka keberadaan Lintang.
"Rewel buk, ngggak mau berangkat. Sudah izin untuk hari ini. Mungkin mas Lintang sibuk." Jawab Noza datar.
"Owh... semoga saja Lintang sehat. Soalnya tumben tidak mengabari apa-apa." Jawab bu Maryam cukup peka dengan perasaan sang putri.
"Noza pamit, buk." Ucap Noza berlalu dengan hati galau.
Diam-diam Noza juga mengharapkan kedatangan Lintang meskipun demi anaknya. Sayang sekali tidak ada kabar dari laki-laki itu. Telepon balik atau sekedar mengirimkan balasan pesan padanya tidak juga ada dari Lintang.
Noza mengeluarkan motornya yang sedari pagi belum dipanaskan.
"Gafi, ayo sayang!" Seru perempuan itu menginterupsi putranya.
Hening, tak ada sahutan membuat Noza kembali masuk kerumah. Gafi terlihat berbaring di sofa.
"MasyaAllah... anak sholehnya mama malah tidur. Kasihan sekali kamu sayang." Gumam Noza mengelus kepala sang putra.
Noza pun segera memindahkan tubuh Gafi. Pelan menggendong ke kamar.
***
Saat ini Noza sedang memarkirkan motornya di pusat perbelanjaan biasa. Dia sibuk memilih barang. Kebetulan memang harus mencari pernak pernik untuk menghias kue yang dipesan orang.
Usai berbelanja, Noza langsung bergegas menuju pusat toko mainan langganannya. Tempat yang menawarkan harga agak miring tetapi kualitar terjamin.
Barang belanjaan perempuan itu lumayan banyak. Noza menaruhnya di depan dan juga mengemas di belakang. Namun, sepertinya Noza melihat sekelebatan seseorang yang baru saja keluar dari sebuah restoran di seberang jalan. Seseorang yang mengabaikan panggilan teleponnya.
"Mas Lintang." Gumam Noza tercekat.
"Ternyata kamu beneran sibuk, pantesan lupa sama anakmu mas." Mendadak segelumit hati merasa sakit melihat mantan suaminya ada di seberang sana tengah berbincang hangat dengan seorang perempuan dari masa lalu laki-laki itu.
Noza yang awalnya berniat untuk menegur, bahkan menyapa ramah pun mendadak tak mampu. Mendadak hatinya begitu kesal, tapi marah pun ia tak ada hak. Noza sadar diri, ia hanya ibu dari anak Lintang.
"Sudahlah, kenapa juga harus mikirin mantan. Bikin capek hati saja." Gumam Noza menghibur diri.
Noza menghidupakn motornya untuk segera pulang ke rumah. Karena untuk apa lagi dia berlama-lama disana, belanjaannya sudah selesai semua. Jika pun ia menemui Lintang tidak akan ada gunanya juga.
***
Usai menghabiskan hidangan makan malamnya, Noza mencuci piring dan tangannya. Baru beranjak ke kamar hendak membangunkan putranya yang sudah cukup lama tidur. Begitu Noza masuk kamar, ternyata Gafi sudah terbangun tapi masih tiduran.
"Gafi sudah bangun? Ayo sayang, mama punya sesuatu." Ujar perempuan itu antusias perihal mainan yang dibelinya.
Gafi hanya diam saja, baru sata terjaga masih sayu-sayu manja. Noza mendekat lalu menggendong putranya dari ranjang.
"Loh, kok badan kamu panas banget, nggak bener ini sih, kamu panas banget sayang. Kamu demam?" Tanya Noza mendadak khawatir.
"MasyaAllah... kamu sakit, nak. Bentar-bentar, harus minum obat dulu." Ujarnya beranjak menuju kotak obat sembari menggendong Gafi.
"Ya Allah... malah paracetamonya habis." Gumam Noza kesal.
"Gafi panas banget ini, Gafi mau minum? Mama beli obat dulu ya." Ujar Noza yang bergegas cepat.
Noza langsung menitipkan putranya pada sang nenek. Lalu perempuan itu langsung menuju apotik terdekat.
Sementara Lintang, seharian ini begitu sibuk. Dia ada agenda pertemuan dengan client barunya yang ternyata adalah Anzel. Mantan yang pernah bertahta di hatinya selama dua tahun. Anzel secara khusus mengajaknya untuk sekedar ngopi santai berdua.
Pertemuan mereka berkahir hingga sore. Lintang menganggap ajakan ini hanya sebuah keakraban hubungan rekan kerja. Tak ada hubungan yang spesial atau apapun itu.
Jika di fikir-fikir Lintang benar-benar susah move on dari pernikahannya. Tanpa sadar ia telah jatuh, sejatuh-jatuhnya pada sang mantan istri yang memilih jalan yang tak sama lagi.
Pulang dari pertemuan itu Lintang balik ke kantor karena handphone pria itu tertinggal disana. Lintang begitu terkejut ketika memeriksa ponselnya ada banyak sekali panggilan dari Noza.
"Noza, tumben telpon? Ada apa ya?" Gumam Lintang bertanya-tanya.
Mendadak batin Lintang cemas tak karuan. Kenapa tidak diangkat. Namun, pria itu berusaha menahan diri dan mencoba tenang.
Noza sendiri tengah mengantri di kasih apotik. Dia tidak mendengar ponselnya yang terus berdering di dalam tasnya. Sampai ruma, dia baru sadar kalau ada panggilan dari Lintang. Namun, kesibukan mengurus Gafi serta pemandangan sore tadi, mmebuat hatinya seakan abai dengan pria itu.
"Gafi, makan sedikit ya, terus minum ibat." Bujuk Noza telaten. Sayangnya Gafi malah rewel, tidak mau makan apalagi minum obat.
"Za, gimana? Kita bawa ke rumah sakit saja. Ibuk tidak tega melihat Gafi sakit." Ujar bu Maryam yang begitu khawatir.
"Iya buk, ini kalau sampai malam panasnya nggak turun-turun kita bawa Gafi ke rumah sakit." Ujar Noza cemas.
Hampir semalaman perempuan itu tidak tidur. Netranya berat, tetapi tidak bisa terpejam barang sejenak pun. Menunggui Gafi, mengompres dan membalur dengan minyak kayu putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya sembilan bulan
General FictionAku bernama Nozafitri Utami yang sering di panggil Noza. Kehidupan Normal yang aku jalani harus menjadi jungkir balik karena mendapatkan pelecehan dari seorang pria yang aku segani dan hormati. Banyak mimpi dan tujuan yang aku layangkan tinggi seaka...